Perkembangan Sastra Pesantren

0
789

Tradisi Berseni dan Bersastra (Para Pengasuh dan Santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo)

Tradisi berseni atau  bersastra sebagai budaya dilingkungan pondok pesantren bukan hal yang tabu lagi, hal itu merupakan peninggalan para salafunas sholeh. Pada zaman Wali Songo misalnya, karya sastra dan seni mempunyai peran signifikan sebagai alat berdakwah demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin. Sampai saat ini hal itu, masih dipertahankan oleh para seniman, sastrawan, budayawan yang mempunyai latar belakang pesantren. Misalnya MH. Ainun Najib, D. Zawawi Imron, KH. Ach. Mustafa Bisri (Gusmus), Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noer, Abdul Hadi WM dan semacamnya. Karya-karya yang mereka lahirkan bernuansa religius dan nasionalis yang sering diajarkan di pesantren-pesantren. Bahkan karya-karya mereka banyak yang mendapat penghargaan baik bertaraf nasional dan internasional. Selain itu banyak karya mereka juga diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Disamping itu, berseni atau bersastra yang ditradisikan di pesantren sangat  diharapkan sebagai benteng atau filter terhadap sastra dan seni yang sifatnya hanya mengandalkan estetika saja dan menjauhi etika. Sehingga banyak pelaku kesenian hanya karena popularitas meninggalkan atau lupa terhadap identitasnya sebagai mahluk yang beragama. Dengan munculnya para sastrawan dan seniman pesantren,  merupakan konstibusi yang signifikan  terhadap agama maupun bangsa dan negara.
Bagaimana dengan tradisi tersebut di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah? KHR. Syamsul Arifin, sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama, sudah melahirkan karya sastra yang sampai saat ini masih di lestarikan yaitu bacaan Syair Aqoid Lima puluh. Syair tersebut masih Eksis dibaca di Masjid maupun Musholla Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah menjelang sholat isya’ dengan memakai bahasa adat atau Madura bercampur dengan bahasa Arab.  Misalnya salah satu potongan syair yaitu tentang dua kalimat syahadat beliau mengungkapkan
Kaule anyakse’e sobung pangiran anging Allah. Ngratoni  dhek lam sadheje. Dzat settong sifat ben af’al. Kaule anyakse’e Nabi Muhammad utusan allah katurunan Qur’an hadist lerres onggung wajib e toro’  kalau diterjemahkan menjadi “ Saya bersaksi tidak ada tuhan kecuali Allah yang menguasai seluruh alam. Dzat 1 sifat dan af’alnya. Saya bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah yang diturunkan Al Qur’an dan hadist. Baik sungguh wajib diikuti.
KHR. As’ad sebagai pengasuh ke II setelah KHR. Syamsul Arifin , juga banyak melahirkan karya sastra berupa syi’ir dalam bahasa Madura. Dalam syi’ir tersebut KHR. As’ad banyak mengungkap fenomena kehidupan atau realitas sosial.  Ternyata walaupun KHR. As’ad bukan dikenal sebagai seniman dan sastrawan dikancah nasional. Karya-karya KHR. As’ad diapresiasi oleh salah satu budayawan, seniman, sastrawan nasional asal Madura yang kerapkali mendapatkan penghargaan. Baik mapun nasional maupun internasional yaitu KH. D Zawawi Imron.
 Beliau sempat mengulas karya KHR. As’ad dan mengatakan “ Kiai As’ad telah berbuat untuk peradaban kita, dengan sajak-sajaknya yang tajam. Syi’ir atau puisi Kiai As’ad banyak bertema tata krama kehidupan (akhlaqul karimah) yang mengimbau kesejukan dan kedamaian hidup dengan landasan nilai-nilai profetik. Artinya, kalau mau hidup damai sejahtera, bertauladanlah kepada peri hidup Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, menurut penyair yang berjuluk Clurit Emas itu, ada hal yang cukup mengejutkan apabila merenungkan beberapa bait puisinya yang seperti menyoroti secara tajam situasi menjelang sampai era reformasi yang sedang bergulir ini. Padahal, puisi itu ditulis Kiai As’ad Syamsul Arifin lebih dari 30 tahun yang lalu
Zaman samangken raja fitnana
Rakyat sadaja padha sossana
Politik tenggi sulit jalanna
Sanget rumitta raja cobana
 
Terjemahan bebasnya: Zaman sekarang besarlah fitnah/Seluruh rakyat tertimpa susah/Politik elite melangkah sulit/Besar cobaan rumit berkelit.
Bahkan KHR. As’ad Syamsul Arifin yaitu menginginkan ada salah satu dari santrinya yang menjadi seorang seniman. Itu bisa kita perhatikan dari dawuhnya. “ Saya bercita-cita agar santri saya seperti santrinya Sunan Ampel, ada yan menjadi fuqoha, seniman, negarawan dan waliyullah.  Darisana jelas kepedulian KHR. As’ad terhadap kesenian.
Ketika KHR. As’ad wafat, KHR. Ach. Fawaid As’ad sebagai pengasuh ke III, ternyata sangat antusias terhadap kesenian. Sejak kecilnya, KHR. Ach. Fawaid As’ad sudah menyukai musik diantaranya ciptaan  Rhoma Irama. Bahkan tidak tanggung-tanggung Abah Nyai Hj. Nur Sari As’adiyah tersebut menjadi kolektor lagu Rhoma Irama terlengkap di Dunia. KHR. Ach. Fawaid As’ad juga merintis Gambus Revolusioner Albadar dan sangat antusias  mengawal secara langsung perjalanannya. Mulai pilihan lagu, proses syuting video klip, lokasi syuting, editing, show maupun latihan. Sejak KHR. Ach. Fawaid As’ad memimpin pesantren,  album yang dikelurkan al Badar sudah sampai pada volume 5. Seringkali juga beliau memberikan ruang terhadap santri-santrinya mengembangkan potensinya di bidang seni dengan merekrutnya menjadi personel al Badar maupun melayani kebutuhan-kebutuhannya.  “Seniman bukan orang yang bernyanyi, bukan orang yang bermain alat musik, tapi seniman adalah orang yang berjiwa seni”. Itulah salah satu konsep KHR. Ach. Fawaid As’ad mengenai seniman.
KHR. Ach. Fawaid juga seringkali merekomendasi kegiatan-kegiatan pesantren maupun lembaga dibawah naungan pesantren untuk mengadakan acara seni maupun sastra. Banyak tokoh seniman maupun sastrawan yang diundang ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Misalnya KH. D Zawawi Imron, Habiburrahman El Zirazi, Zastaraw Nagatawi dan semacamnya.
Dimasa kepemimimpinan KHR. Ach. Fawaid, para santri membentuk komunitas seni dan sastra berasal dari daerahnya. Misalnya Alis Anker (Situbondo), Babond Teater (Bondowoso), Kalimosodo ( Jawa Tengah), Gobank (Bangkalan), Bumi Gora (Lombok), Kapass (Sumenep), Adi Rasa (Raas), Bumi Blambangan (Banyuwangi) dan semacamnya. Mengenai prestasi di bidang sastra. Salah satu puisi santri yang berjudul “Nyanyian Sepanjang Jalan “ karya Zainul Walid, S. Ag keluar sebagai pemenang juara 1 tingkat nasional di Kintamani Bali.
Berbagai apresiasi terhadap kesenian santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Misalnya apresiasi langsung dari Ketua Umum LESBUMI PBNU Dr. Al Zastrow Ngatawi seusai menjadi juri lomba baca puisi dan syi’iran dan menikmati pentas seni Drama KHR. As’ad sang Mediator NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah beberapa waktu lalu. Pada tahun 2012 Sanggar Seni Cermin yang merupakan Pusat Sanggar Seni Santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah terpilih menjadi Sanggar Penerima Penghargaan Sastra dari Balai Bahasa Jatim.
Jejak atau tradisi berseni dan bersastra para pengasuh dari pertama sampai ketiga juga berlanjut pada pengasuhke IV  saat ini KHR. Ach. Azaim Ibrahimy. Banyak karya sastra  utamanya puisi yang sudah dihasilkan yang sangat kental dengan nuansa keislaman.Misalnya puisi yang berjudul  Wâjib al-Wujûd
 
Wahai Maha Kekasih
Sungguh, cinta-Mu
tak terdefinisikan logika semesta
Engkaulah Sang Realitas Tertinggi
esensi tak berjenis, tak beragam
tidak pula parsial
Engkaulah subyek setiap cipta,
rasa dan karsa
Bahkan ketika beliau masih menjadi santri, Beliau menyempatkan dirinya membuat antologi puisi yaitu Hirup Hembus. Selain itu, ditengah aktivitasnya menjadi pengasuh pesantren, KHR. Ach. Azaim Ibrahimy juga menjadi nara sumber pada seminar sastra. Pada acara refleksi akhir tahun 2012 bertempat di Masjid Jamik Ibrahimy, Putra KH. Dhafir Munawwar itu membacakan puisi Maqommu Mahmud dan Engkau Muhammad. (Author:NurTaufiq). Image:saungsastraui

Tinggalkan Balasan