Poligami Yang Menyengsarakan dan Membahagiakan

6
426

Poligami adalah istilah yang diberikan jika seorang lelaki memiliki lebih dari satu istri, dimana setiap perempuan tersebut dinikahi secara sah. Banyak orang yang berpendapat bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Menurut salah satu pendapat yang disampaikan oleh seorang Ahli Fiqih, M. Quraish Shihab, dalam sebuah buku : “Perempuan”, bahwa pendapat mengenai penindasan dari kaum lelaki tidak sepenuhnya benar karena sejarah manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri (memiliki lebih dari satu suami). Salah satu negara yang pada saat itu marak dengan poliandri adalah Tibet. Kalau sudah begini, apakah benar poligami timbul dari penguasaan dan penindasan lelaki? Tidak. Bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan istri kedua, ketiga, justru secara sadar dan sukarela bersedia untuk dimadu? Seandainya, mereka tidak bersedia, sudah pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit.

Islam, membolehkan poligami berdasarkan firman Allah SWT :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka nikahilah yang kamu senangi dari perempuan – perempuan (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(QS. An-Nisa’, 4:3)

Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa yang yakin tidak akan dapat berlaku adil bila berpoligami, maka ia tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin dapat berlaku adil. Kalaupun ada yang ragu, seyogyanya tidak diizinkan. Kemudian, mengenai jumlah istri yang diperbolehkan dimiliki oleh seorang lelaki, Rasulullah saw pernah memerintahkan Gilan Ibnu Ummayyah ats-Tsaqafi yang ketika itu memiliki sepuluh istri agar mencukupkan dengan empat orang dan menceraikan yang lainnya.

Kemudian, bagaimana dengan pendapat yang mengatakan bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan, sedangkan poligami banyak dilakukan oleh mereka yang taat beragama, dan mereka mengetahui bahwa perselingkuhan adalah pengkhianatan. Pengkhianatan adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT.

Untuk menjawab ini, penulis kembali terinspirasi oleh Bapak M. Quraish Shihab ketika membahas mengenai aturan tentang poligami. Pada jaman dahulu, banyak nabi, termasuk Rasullullah saw. dan sebagian sahabat Beliau, berpoligami dengan alasan tertentu. Apakah mereka berkhianat atau berselingkuh sebelumnya? Justru dapat dikatakan bahwa perselingkuhan dapat dikurangi.

Dari penjelasan di atas, dapat kita katakan bahwa sebenar – benarnya poligami adalah yang mengikuti apa yang diajarkan dalam Al Qur’an dan Hadist, bukan berawal dari perselingkuhan. Mungkin kita dapat mengambil contoh kasus mengenai istri yang mengalami sakit parah sehingga tidak mampu untuk melakukan kewajibannya kepada suami atau sebaliknya. Di satu sisi, melarang suami berpoligami dapat mengundang perselingkuhan. Di sisi lainnya, menahan kebutuhan seksnya juga menimbulkan stres. Menceraikan istri yang sakit, juga merupakan penganiayaan. Jalan keluar yang paling tepat, jika memang yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat, adalah menikah lagi secara sah (berpoligami), tetapi dengan syarat adil dan baik-baik serta sepengathuan istrinya. Namun ini bukanlah berarti anjuran, apalagi kewajiban.

Yang banyak terdengar saat ini adalah ungkapan bahwa berpoligami merupakan salah satu sunnah Rasul saw, bahkan perlu diteladani. Ungkapan seperti ini sebenarnya merupakan kekeliruan dalam mempelajari keteladanan Rasullullah saw. Perlu disadari bahwa Rasul saw menikah pertama kali dengan Siti Khadijah ra. pada usia 25 tahun dan menjalani kehidupan bermonogami selama 25 tahun. Kemudian tiga atau empat tahun setelah wafatnya Siti Khadijah ra., baru beliau menikahi Aisyah ra., yakni pada tahun ke-3 H, sedangkan Beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun. Ini berarti Beliau hanya berpoligami selama 8 tahun, jauh lebih pendek daripada kehidupannya bermonogami.

Sedangkan bagi mereka yang beralasan meneladani Rasul saw, wajib dipertanyakan mengapa mereka tidak memilih calon istri yang telah mencapai usia senja. Sebagaimana kita ketahui bahwa selain Aisyah ra, adalah janda-janda berusia di atas 45 tahun dan tidak memiliki daya tarik yang memikat. Lalu, apakah mereka juga berani menyatakan kecintaan dan kesetiaannya di hadapan istri-istri yang lain sebagaimana Rasul saw melakukannya atas  kecintaan Beliau terhadap istrinya yang pertama. Dengan demikian, pada dasarnya semua pernikahan yang Beliau lakukan hanyalah untuk menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suaminya saat berperang atau dalam perantauan.

Hakikatnya, Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, yang didukung oleh perasaan cinta kepada pasangan. Tidak dapat dipungkiri, di hati setiap pasangan, termasuk penulis sendiri, karena rasa cinta itu tentu tidak ingin ada cinta yang lainnya lagi. Seperti ada ungkapan : “Tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan”. Banyak yang dikorbankan demi keutuhan cinta, bahkan jiwa dan raga sekalipun. Dalam hal ini termasuk izin berpoligami, dengan kondisi yang memang membutuhkan hal tersebut untuk dilakukan. Untuk banyak perempuan, perizinan untuk berpoligami bukanlah perkara yang mudah.

Di dalam diri perempuan selalu cenderung bersifat monogami. Dapatkah dibayangkan bagaimana perasaan seorang perempuan ketika menghadapi kenyataan bahwa dia harus rela dipoligami oleh seorang lelaki. Belum lagi rasa ketakutan tidak akan dicintai dan disayangi lagi oleh pasangannya, seakan terus menghantam hati. Keikhlasan dan kerelaan menjadi hal yang berat untuk digapai pada saat itu, meskipun semua dilakukan dengan keridhoan dari Allah SWT. Inilah ujian terberat bagi seorang perempuan. Banyak dari mereka akhirnya memilih jalan perceraian.

Poligami memang terlihat seperti mengistimewakan kaum lelaki. Namun, pada dasarnya, setiap lelaki yang taat beragama ketika mengambil keputusan berpoligami juga menghadapi ujian di dalam hatinya. Apakah mungkin dia dapat berbagi perasaan sayang dan cintanya dengan perempuan lain secara adil dan tidak condong kepada salah satu dari mereka. Sungguh merupakan hal yang sangat sulit. Setiap lelaki diciptakan dengan berbagai kelebihan daripada perempuan. Hal ini dikarenakan kelak lelaki menjadi imam bagi perempuan. Untuk itu, tidak mengherankan jika lelaki akan berusaha untuk melindungi perempuan dari hal apapun, termasuk hal yang dapat menyakiti dan membuat perempuan teraniaya, baik hati maupun fisiknya,Subhanallah.

Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa, poligami belum tentu merugikan pihak perempuan ataupun lelaki, asalkan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadist. Namun kenyataan tidak dapat pula dipungkiri, bahwa sikap adil dalam berpoligami adalah lebih banyak seputar materi, bukan hati. Allah SWT Maha Mengetahui setiap makhluk ciptaan-Nya, termasuk apa yang ada dalam hati.

Oleh: Oky Sovie Saputra

Image: harianislam

Tinggalkan Balasan