Dalam salah satu tulisan Abdurrahman Wahid,[1] bahwa ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah sub kultur. Pertama, pola kepemimipinan pondok pesantren yang mandiri ; Kedua , kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad ; dan yang ketiga, sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Dengan bermodal tiga elemen tadi, siapapun akan menerima jika dikatakan padanya pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat Indonesia.[2] Dan tidak berlebihan jika pondok pesantren disebut sebagai salah satu pilar kehidupan umat islam Indonesia, karena pendidikan keilmuan yang diterapkan sangatlah baik. Kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren banyak memakai karangan ulama-ulama salaf, walaupun demikian buku-buku modern yang dianggap sesuai untuk dipelajari di pesantren juga diajarkan kepada para santri. Pedoman yang dipakai adalah salah satu perkataan ulama yaitu melestarikan warisan-warisan ulama terdahulu yang baikĀ dan mengambil hal-hal yang lebih baik yang ada pada zaman modern ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, pondok pesantren tidak mau ketinggalan. Tidak hanya pendidikan diniyah, pendidikan formalpun ikut diajarkan di pesantren, sehingga jika dibandingkan antara pendidikan pesantren dan non pesantren, maka pesantrenlah yang lebih unggul, Karena ilmu-ilmu yang didapat di pesantren belum tentu bisa di dapatkan di luar pesantren. Para santri yang ada diĀ pondok pesantren diharuskan bisa memahami aqidah, syariah, dan akhlaq. Karena ketiga dimensi ini sangat berhubungan erat. Aqidah dapat mengenalkan manusia kepada tuhannya, sifat sifat keagungan tuhan, serta keyakinan-keyakinan yang benar, dan aqidah harus ditanamkan sejak dini.[3]Dengan syariah manusia dapat mengetahui bagaimana caranya beribadah kepada Tuhannya dan cara bermuamalah dengan sesama manusia. Syariah merupakan dimensi yang terbagi atas dimensi horizontal dan vertikal. Disamping itu manusia diharuskan mampu bertatakrama dengan baik, dengan sesama ataupun dengan Tuhan. Hal semacam ini ada pada dimensi akhlaq. Ketiganya berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki hati, ibadah, dan meluruskan keyakinan.[4]Jebolan pondok pesantren diharapkan mampu menguasai ketiga dimensi ini, karena ketiga dimensi tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.
Pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur āsub kulturā memilili dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[5]
Satu satunya lembaga yang menitikberatkan kajian-kajian keilmuannya pada agama islam adalah pondok pesantren. Setiap hari pelajarnya (santri) diajari kitab kuning karangan para ulama terdahulu dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Disinilah para santri banyak menemukan wawasan baru tentang islam. Diantara kitab-kitab yang diajarkan adalah :
Dibidang fikihĀ : Fathul Qorib, Fathul Mu`in, Sullam Taufik, Kasyifatus Saja, Bughiyatul Musytarsyidin;
Dibidang aqidahĀ :Aqidatul Awam, Kifayatul Awam, Jauharut Tauhid, Nurul Dzalam;
Dibidang akhlaq:Ta`limul Muta`allim, Taisir al-Khallaq, Akhlaqul Banin dan berbagai kitab rujukan lainnya dalam berbagai bidang yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya. Rujukan-rujukan inilah yang dijadikan santri sebagai pedoman hidup dan di dalam memecahkan berbagi permasalahan yang dialami.
Pesantren dalam hal ini dapat dimaknai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia akademis dan intelektual. Pesantren seperti halnya dunia akademik dan memiliki ciri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang dan berdampak negatif pada kelangsungan hidup manusia.
Dalam kaitannya respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan.[6]
Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia.
Kedua, karena pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memeliki orientasai terhadap dinamika kekinian, sehingga masalah masalah kontemporer dapat diselesaikan dengan baik.
Pada saat ini pesantren mendapat tantangan berat. Era reformasi di Indonesia yang diproklamirkan beberapa saat setelah tubangnya rezim orde baru telah membuka kran pada hampir semua lini kehidupan, baik politik, budaya, maupun agama. Pada keadaan seperti ini pesantren perlu melakukan pembenahan internal untuk mengantisipasi menyebarnya virus-virus yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan agama, kran kebebasan tersebut menumbuh suburkan lahirnya berbagai aliran dan pemahaman keagamaan yang baru yang tidak hanya berakibat pro dan kontra, tetapi juga dapat memicu saling menyesatkan dan mengkafirkan satu sama lain dan pada gilirannya berujung kekerasan. Pada keadaan seperti ini pesantren harus bisa mempertahankan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Upaya-upaya pembenahan internal yang mungkin dilakukan oleh pesantren diantaranya adalah :
- 1.Ā Ā Ā Ā Ā Melakukan kajian terhadap kitab-kitab karangan ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
Hal semacam ini telah banyak dilakukan di pesantren-pesantren. Hampir setiap hari para santri diajari ilmu agama lewat pengajian kitab, baik dengan cara sorogan atau yang lainnya. Diantara kitab tauhid yang perlu dipelajari dan didalami adalah : Aqidatul `Awam, Nurul Ad-dlolam, Kifayatul `Awam, Ad-Dasuki, Al-Ibanah `An Ushuli Ad-Diyanah, Maqolat al-Islamiyah, Mafahim Yajibu An-tushohhah, dll.
- 2.Ā Ā Ā Ā Ā Penerbitan buku-buku yang membahas tentang Aswaja serta berisi sanggahan-sanggahan terhadap ideologi-ideologi yang dianut oleh aliran-aliran baru.
Dalam hal ini masih sedikit sekali pesantren yang mengembangkan dakwah agama lewat buku-buku. Padahal aliran-aliran baru di Indonesia lebih memilih untuk menyebarkan dokrin-dokrinnya lewat buku.
- 3.Ā Ā Ā Ā Ā Kaderisasi santri agar menjadi orang yang ahli di bidang Aswaja.
Pesantren diharapkan dapat mendidik santri agar bisa memahami aqidah Aswaja dengan cara regenerasi dan kaderisasi.
- 4.Ā Ā Ā Ā Ā Adanya laboratorium Aswaja.
Dari beberapa upaya diatas, pesantren diharapkan mampu mempertahankan eksistentinya ditengah merebaknya aliran baru. Sehingga ini akan memberikan efek yang sangat baik pada citra pesantren sebagai benteng terakhir pertahanan akidah islam.
[1] Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai sub kultur, (Jakarta: LP3ES, cet 4,1988)
[2] Drs.Amin Haedari,dkk, Panaroma pesantren dalam cakrawala modern, (Jakarta:diva Pustaka,2004),Ā Ā Ā Ā hal. 1
[3] KHR.As`ad Syamsul Arifin, Percik Percik Pemikiran Kiai Salaf, Syamsul A.Hasan,SAg., (penyunting) ,(Situbondo: BPI.PP.Salafiyah syafi`iyah, 2000), hal. 15
[4] Sayyib Abi Bakri, Kifayatul Atqiya`, (Surabaya: Nurul Huda, tt), hal. 23
[5] Drs.Amin Haedari, dkk, Masa depan pesantren dalam modernitas dan tantangan kompleksitas global, (Jakarta: IRD Press, 2006), hal. 76