”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS 2 : 267)
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang menjadi sebuah upaya aktif seorang muslim dalam memberikan bukti kontribusinya dalam upaya memperbaiki kondisi umat dari kemiskinan dan keterpurukan. Betapa tidak, karena merupakan rukun maka tata aturan pelaksanaan, pengelolaan, dan pendayagunaanya juga diatur jelas dalam Islam. Setidaknya sasaran zakat untuk memberikan kemerdekaan bagi penerimanya. Tersurat dalam QS At-Taubah ayat 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dengan kekuatan potensi zakat yang besar serta kekuatan program yang dibuat pengentasan kemiskinan, kebodohan, dan penindasan yang dialami negeri ini.
Konsep Zakat dalam Islam
Konsep zakat merupakan salah satu bukti perhatian Islam dalam segi sosial dan keadilan ekonomi. Rasulullah SAW membuktikannya dengan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat yang diatur oleh negara yang akhirnya diikuti oleh masa-masa kekhalifahan setelahnya. Rasulullah SAW mengajarkan; dalam keberadaaanya, zakat tidak hanya sebagai dimensi ritual. Sebagaimana zakat mensucikan harta dari unsur-unsur haram dari hak-hak kaum fakir dan miskin yang terdapat di dalam harta kita. Namun zakat juga mempunyai dimensi sosial (ijtimaiyyah) sebagai alternatif penyelesaian persoalan ekonomi dan sosial secara menyeluruh guna menanggulangi ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan Taqiuddin Annabhani, dalam bukunya The Economic System in Islam, mengkategorikan zakat kepada dua kategori yaitu sebagai monetary worship, disamping physical worship yang kita temukan dalam sholat, puasa dan bentuk ibadah lainnya. Dengan demikian, zakat mempunyai dua aspek ganda -vertikal dan horisontal- dalam implementasi perintah Allah dan manifestasi pengembangan fitrah sosial. Dalam geraknya, zakat berbeda dengan bentuk pungutan atau iuran lainnya, semisal pajak, bunga, arisan dan lain sebagainya. Zakat dibedakan kepada tiga hal; Pertama, dilihat dari segi pengumpulannya, zakat hanya dibebankan kepada masyarakat muslim yang mampu (mencapai nishab, tidak dililit hutang, dan telah mencukupi kebutuhan pokoknya). Demikian pula pengumpulan zakat yang tidak disesuaikan dengan ada atau tidaknya kebutuhan. Bahkan, andai saja disuatu negara tidak terdapat mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) sekalipun, maka zakat harus tetap dibayarkan. Kedua, dari segi jumlah pengumpulannya, zakat mempunyai takarannya tersendiri. Dimana diantara setiap jenis zakat yang dibayarkan, mempunyai takaran yang berbeda. Takaran zakat fitrah berbeda dengan zakat maal, dan zakat maal dimana didalamnya masih terdapat pembagian zakat, berbeda satu sama lain. Ketiga, dari segi pengeluarannya, dana zakat difokuskan kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Potensi Zakat
Amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah menciptakan kesejahteraan bagi sebesar-besarnya rakyat Indonesia. Pandangan ekonomi paling mutakhir tentang pembangunan sendiri tidak hanya mengukur keberhasilan proses tersebut dari parameter-parameter tradisional seperti pendapatan nasional bruto (gross national income) atau pendapatan perkapita (income percapita), namun telah berkembang menjadi setidaknya tiga hal yakni kecukupan, harga diri, dan kebebasan dari sikap menghamba (Todaro, 2008).
66 tahun, lebih dari setengah abad bangsa Indonesia menghirup kemerdekaan. Kemiskinan dan pengangguran tetap saja menjadi bagian yang belum terpisahkan dari bangsa ini. Ini adalah PR tahunan pemerintah yang belum terpecahkan. Adalah gebrakan-gebrakan alternatif pemecahan amat sangat dibutuhkan. Dan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam usaha pengentasan kemiskinan adalah melalui jalur pemanfaatan dana zakat.
Menilik pada jumlah mayoritas penduduk muslim di Indonesia, pengentasan kemiskinan melalui jalur pengelolaan dana zakat bukanlah hal yang mustahil. Estimasi potensi dana zakat pertahun Indonesia oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mencapai Rp. 19,3 trilyun, merupakan indikasi kuat bahwa dana zakat dapat diproyeksikan sebagai salah satu pilar pembangunan rakyat. Dengan pengelolaan dana zakat yang optimal, diharapkan bangsa Indonesia dapat terbebas dari belitan kemiskinan rakyatnya tanpa harus mencari pinjaman ke luar negeri.
Hal ini diperkuat oleh sebuah survei yang dilakukan oleh dua lembaga besar, Ford Foundation bekerja sama dengan Universitas Syarif Hidayatullah dan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center / Organisasi Sumber Daya Nirlaba dan Independen) yang menyatakan bahwa potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 20 trilyun per tahun. Maka dari itu dibutuhkan kredibilitas dan profesionalisme badan dan lembaga zakat terkait untuk mengelola potensi ini.
UU No. 38 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU no. 17 tahun 2000 tentang pengelolaan zakat, belum mampu menembus target perolehan potensi dana zakat yang sedemikian besarnya. Undang-undang ini belum mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Ini merupakan PR yang harus segera diselesaikan. Yaitu menyadarkan masyarakat akan efek pentingnya berzakat. Adalah peran ulama, dai, cendekiawan muslim, Badan dan Lembaga Amil Zakat untuk bersama – sama bahu membahu dalam mensosialisasikan potensi zakat di Indonesia. Hal ini penting, di samping untuk mengumpulkan dana zakat, agenda sosialisasi juga menumbuhkan persepsi lurus dan kepercayaan masyarakat mengenai konsep zakat dan pengelolaannya.
Zakat untuk Anak Negeri
Sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab ra mengatakan, “Berilah pendidikan kepada anak-anakmu karena mereka dilahirkan untuk hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu dan pada masa yang berbeda dengan masamu”. Nasihat di atas amat penting direnungkan oleh setiap orang tua mana pun.
Kenyataan dilapangan masih banyak orang tua berdalih kesulitan ekonomi dan keterbatasan biaya, tidak mampu memberikan bekal pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya. Selain memberi bekal pendidikan dalam pengertian ilmu dan keterampilan, anak juga perlu memiliki etos kerja dan semangat kemandirian sesuai perkembangan usianya sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain.
Sampai saat ini, fenomena tingginya angka anak putus sekolah di negara kita masih memprihatinkan. Data pada Kementrian Pendidikan Nasional RI mengungkapkan, siswa putus sekolah yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi mencapai sekitar 1,7 persen per tahun dari 31,05 juta siswa lulusan SD. Penyebab utama tingginya angka putus sekolah adalah keterbatasan ekonomi.
Kondisi semacam ini yang mendorong Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa (LPI-DD) mengembangkan program yang berupaya untuk mengakomodir putra-putri bangsa dari golongan keluarga miskin agar mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas, SMART Ekselensia Indonesia dan Beastudi Etos. Sekolah menengah (SMP-SMA) akselerasi 5 tahun di Parung-Bogor, SMART EI menjadi icon baru di dunia pendidikan Indonesia. Sinergi dengan masyarakat yang dilakukan sekolah ini mampu melejitkan prestasi siswa SMART.
Pada tingkat perguruan tinggi, siswa SMA yang berpotensi namun terkendala ekonomi keluarga “keluarga miskin”, dapat terbantu melalui program Beastudi Etos yang hingga tahun 2012 sudah mengepakan sayapnya di 14 PTN di 12 wilayah seluruh Indonesia, Medan, Padang, Aceh, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, Malang, Samarinda, dan Makassar. Program pendampingan dan pembinaan dari Etos sangat dapat dirasakan manfaatnya, baik langsung maupun tidak. Di etos bagaikan menyemai buah yang tumbuh dari tempat tumbuh yang baik.
Beberapa tahun lalu, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) meluncurkan program Dinnar (Dana Infak Abadi Anak Negeri). Program pemberian dana pendidikan bagi siswa SD sampai SMA tersebut bertujuan untuk membantu kelanjutan pendidikan pelajar tidak mampu dan menjamin ketersediaan dana bagi beasiswa dalam jumlah yang cukup dan jangka panjang. Program Dinnar juga untuk membantu muzakki mendapatkan “amal jariyah” selama dana yang diinfakkan dikelola dan memberikan manfaat/keuntungan.
Bangsa ini belum menjadi bangsa yang bersyukur atas nikmat Allah SWT jika potensi bibit-bibit unggul–anak bangsa belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat dan negara. Untuk itu setiap orang sudah pasti harus berusaha dan berikhtiar pada jalan yang patut dan terhormat. Dalam perspektif di atas, pendidikan dan penumbuhan etos kerja umat merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Program pendayagunaan zakat dalam bentuk beasiswa dan pemberdayaan masyarakat memiliki peran yang strategis untuk mengurangi anak putus sekolah dan pengangguran sebagai problema yang nyata di depan mata kita. Semoga dengan pengelolaan zakat yang notabene dari dana umat, dapat menciptakan calon-calon pemimin masa depan yang akan membawa Indonesia jauh lebih baik dari sekarang. (Img: justgiving)
Oleh : Ahmad Zakaria