[Cerpen] Suatu Petang di Kuningan

0
482

“Udah petang, Ben,” setelah sekian lama kutunggu, tersembul juga suara dari bibirmu.

Kudongakkan kepala. Langit barat yang memayungi Kota Kuningan memang telah bergaun jingga kemerah-merahan. Bebunga di taman kota kuda itu pun seolah telah menguarkan aroma temaram. Sambil ikut mengamati paduan warna yang jelita itu, kuselundupkan doa agar kamu bersedia mewujudkan niatku. Rumit memang – makanya selagi kamu belum jelas memutuskan, aku pun hanya bisa terdiam. Menyediakan luang untuk kamu menimbang-nimbang.

“Lapangkanlah jalan cinta agar ia berproses dengan leluasa. Percayalah, cinta tak akan mempersulit selagi kita memudahkannya…” Kamu menoleh dan menyorotkan binar matamu, mencoba menyudutkanku yang terbisu.

“Karena cinta sedang berproseslah, Firda,” sejenak, kubalas tatapanmu. Kualirkan sinar optimisme ke dalam bola matamu, sayang keduanya telah terlempar ke sembarang arah. Kutahu, gerbang hatimu itu mulai memiliki riak, “Aku… kita – masih punya kesempatan untuk mengubahnya.”

Kuremas punggung tangan kananmu, kuberanikan diri mencegah niatmu untuk beranjak. Tersentak, kamu menggumamkan istighfar lalu melonggarkan cengkramanku atas punggung tanganmu itu. Aku ikut beristighfar dan amat menyesali sentuhan itu.

Kini kulihat kamu seka riak yang telah retak dan pecah, bergulingan di atas pipimu yang tebal. Sebentar kemudian, jemarimu berpindah tangan. Kelimanya telah berada di atas ubun-ubun seorang anak berkaos biru muda. Duhai, nyaman sekali jagoan mungil itu menerima perlakuanmu.

***

Di tempat lahir ibu ini, Kuningan – Jawa Barat, aku sempat menghabiskan masa sekolah sampai kelas X SMA. Hanya setengah tahun. Begitu masuk semester genap, ibu dan ayah memboyongku ke Bandung. Rupanya mereka ingin aku melanjutkan pendidikan dan tumbuh dewasa di kota kelahiranku saja – menyisakan jejak masa kanak-kanak dalam batok kepala Abah dan Emak.

Suatu petang… andai Tuhan tak menggerakkan ragaku untuk pergi ke taman kota Kuningan, mungkin kisahku – dan kamu, tak akan menemukan permulaan. Niat awalku menuju taman kota itu tak lebih dari sekadar memburu kuliner kesukaanku. Usai menepikan motor, beberapa menit lamanya aku mengitari taman sendirian. Dari bagian depan berupa air mancur, taman bunga, patung kuda sebagai landmark kota sampai area olahraga.

Entah apa maksud Tuhan, yang jelas permulaan itu berproses dengan panjang membentang. Puas berkeliling, aku membelot ke tujuan awal yakni mengincar makanan kesukaan.  Petang itu, aku terpapah untuk sampai ke tempat makanan itu dan dengan singkatnya Dia mencuatkan sebuah nama istimewa – ialah kamu, Firda.

“Sebungkus hucap… berapa, Mang?” usai menjinjing plastik yang disodorkan sang pedagang, aku menyerahkan selembar duapuluhribuan.

“Kasih kembaliannya, Da. Sebungkus hucap …” bukannya memberikan sisa uang, pedagang yang sama-sekali tak melirik itu malah memberikan uangku pada seorang gadis, yang sepertinya, anak atau karyawannya sendiri.

Aku berusaha maklum. Pembelinya memang bukan diriku seorang. Ada sekitar lima sampai enam orang yang tengah menunggu pelayanan. Pedagang hucap gerobak itu memang tersohor karena cita-rasanya yang sedap. Aku semakin penasaran, biasanya makanan favoritku itu kubeli dan kusantap di kedai-kedai. Namun mumpung di tamkot, tak afdhol rasanya jika tak melepas penasaran ke pedagang gerobak di pinggiran tamannya.

Seorang gadis berjilbab biru muda membuka laci gerobaknya, mencari-cari sejumlah uang yang sesuai lalu berbalik menyodorkannya padaku. Mata kami bertubrukan beberapa detik. Dia mengamatiku seolah-olah kami pernah bertemu.

“Benny, ya? Benny Hamzah yang sekolah di SMA Kadugede itu?”

“Kamu…?” Aku tersenyum sambil berusaha mengingat-ingat dirinya, siapa tahu dia teman semasa SD, SMP, SMA atau yang se-ekskul. Nihil. Pikiranku polos. Hitam sama-sekali.

“Anggota pramuka yang keren dan beken kayak kamu banyak ngomongin, kamunya aja yang gak nyadar…” Dia berceloteh sambil tetap mematuhi aba-aba ayahnya untuk membungkus hucap atau menghitung kembalian.

“Hahaha. Masa’, sih?” tak kuasa, aku mengaku memang gede rasa, dan kurasa dia itu menyukaiku, “Eh iya, nama kamu itu siapa? terus kelas apa, ya?” kugaruk-garuk kepala yang memang gatal sambil mencari bahasa tubuh untuk mengapresiasi obrolan hangatnya.

“Aku Firda. Bendaharanya Gensixten. Generation of six ten, alias sepuluh enam. Hehehe,” Dia sama-sekali tak menghentikan pekerjaannya untuk sekadar mengulurkan tangan atau menoleh lagi padaku barang sebentar.

“Hehehe. Aku Benny. Ketua Muridnya Aksel alias Anak Kelas Sepuluh Lima!”

“Sudah tau! Hahaha,” renyah sekali caranya tertawa. Membuatku ikut tertawa – tepatnya menertawakan caranya tertawa.

Sesekali kulirik ayahnya. Beliau hanya menggeleng-geleng, lalu fokus melayani pembeli lagi. Mungkin beliau telah mafhum atas sifat gadis tersebut. Obrolan kami pun kembali menggelinding. Terbuka dan hangat. Begitulah, sederhana sekali awal pertemuanku dengan ‘Si jilbab biru muda’ itu. Dan siapa sangka, diam-diam kehangatan yang tercipta itu mengisap ketertarikanku. Setiap datang petang, hatiku seakan terkayuh menuju ke tujuannya di taman kota itu – sebuah hati. Hati kamu, Firda.

Kata teman-teman ditambah kata Abah dan Emak, itu hanya cinta monyet. Baiklah, aku pun menganggapnya demikian. Namun dalam hati, aku tetap tak setuju. Jika dirasa-rasa, baru kali pertama aku menjatuhkan cinta sedalam itu. Jadi, lebih baik aku menyebutnya sebagai cinta pertama. Lebih mengesankan (atau mungkin menyesakkan) jika suatu saat aku mengenangnya. Pendapatku itu bukannya tanpa alasan. Sebagaimana monyet, hewan itu bergelantungan dari pohon satu ke pohon yang lain. Hanya hinggap sejenak, lalu melenggang dan mencari-cari lagi.

Kontras dengan cintaku padamu. Begitu kunyatakan rasa dan kamu menanggapinya, cintaku seperti menetap – kesulitan untuk beranjak. Bahkan aku seperti tak berselera untuk mencari-cari gadis lain. Hatiku seolah memiliki keyakinan bahwa tak akan ada kenyamanan yang sama jika kujatuhkan hati tidak pada hatimu, Firda.

“Kamu itu… udah muka kayak indo, nunggang ninja, beken lagi! Eh, seleranya…” suatu hari, teman SMA-ku pernah berujar demikian.

“Seleranya oke ‘kan, Lur?! cover sama isinya itu sama-sama cantik, gitu!”

“Si Firda teh pake pelet apa sih? sampe-sampe kamu gila gini, Lur!” timpal yang lain, yang sama-sekali tak kutampik.

“Biarin! Gila karena cinta itu justru bikin waras, Lur! Hahaha,” Aku meresponnya, lalu mereka hanya akan memiringkan telunjuk masing-masing di atas jidatnya.

Aku memang sinting. Tetapi kuyakin pasti kamu tak memiliki jimat apa-apa untuk mengail diriku. Tidak dengan badan khas gadis idaman yang proporsional, dengan kekayaan tumpah-ruah ataupun dengan popularitas yang melenakan. Secara fisik – kamu adalah gadis yang lebih pendek dariku, tubuhmu agak gempal, berjilbab dan berkulit kuning langsat. Awalnya aku hanya tahu itu saja. Aku pun sempat bingung. Bagaimana bisa? Syukurlah, lama-lama kebingungan itu mengerucut. Ketiadaan alasan itu kadang menjadi alasan kuat mengapa hatiku terpaut erat.

“Masih banyak cewek lain yang lebih cantik, Lur!” begitu saja tanggapan teman-teman SMA-ku sewaktu aku berceloteh tentang pesonamu.

Aku paham, secara common sense, cewek cantik versi mereka diartikan sebagai gadis berwajah putih bersih, ramping, rambut semampai, pandai memakai make-up dan senyum manisnya bikin kuncup-kuncup di taman hati bermekaran. Aku sempat setuju, namun tak lama. Aku percaya, apa yang merenggut perhatian mata, belum tentu bisa merebut perhatian hati. Dalam hatiku, kemolekan saja tak akan sama kedudukannya dengan cinta, sayang dan kebahagiaan.

“Kamu teh masih melajang gitu, Ben? Aneh!” pertanyaanmu ribuan detik yang lalu itu bagus. Aku tak perlu memancing sesuatu untuk meyakinkanmu bahwa penyesalanku tak main-main. Kini, giliran aku yang tengah sungguh-sungguh menelan rindu. Merasakan getirnya penantian yang panjang.

“Kayaknya… aku teh gak bisa beristrikan gadis kota, deh!” kulengkungkan senyum. Jelas-jelas aku hanya bergurau.

“Kenapa atuh? Orang lain mah justru pengin cewek kota, Ben!” tanyamu sembari ‘merestui’ permintaan seorang anak laki-laki yang memanggilku ‘Om’ untuk berlari-larian di sekitar taman.

“Cewek kota mah perawatannya mahal, Da!” senyumku makin lebar, terlebih ketika kamu bergumam kata dasar! sambil mengerling ke arah pemuda kecil di depan kita, ”Selain rumah, dapur sama pakaian… perawatan tubuh perbulannya pun pasti bikin cekak! Hahaha.”

“Eits! Toh kecantikannya juga buat suaminya sendiri atuh, Ben! Hehehe.”

“Iya sih, tapi seringnya ‘kan diumbar juga ke publik, Da?! Hehehe.”

“Jadi pengin yang kayak gimana atuh, Ben?” malu-malu, kamu menanyakan hal yang kutunggu itu.

“Gadis sederhana…” Aku mengutarakannya seserius mungkin, “Kayak kamu, Da,”

“Iya deh, sederhana. Jadi perawatannya juga gak bakal mahal ‘kan, Ben? Hehehe,” Kamu memutar topik serius itu ke ranah guyonan.

“Jangan salah! dalam kesederhanaan itu tersimpan kemewahan, Da,” terpancing juga aku untuk mencairkan obrolan.

“Nah, makanya perawatan semua wanita teh lebih mahal dari sekadar make-up, Ben!” Kamu menjentikkan jari, cukup berhasil membuatku mematung.

“Lebih mahal apanya?”

“Hatinya atuh, Ben.”

Jawaban yang memaku. Itulah mengapa, aku begitu menderita ketika kamu memadamkan gelora rasa kita saat kuputuskan pindah sekolah ke luar kota. Aku mengira, semua tentangmu akan mudah kulupa. Namun di SMA yang berbeda itu, pacaran dengan beberapa gadis justru membuatku tersiksa. Sebentar jadian, sebentar putus hubungan. Begitupun ketika aku melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Kamu tahu? Aku seperti sedang mempraktikkan cinta monyet sepanjang masa, bergelantungan dari satu hati ke hati yang lain tanpa menemukan kenyamanan.

Kuterima saja cibiran orang yang menganggapku play boy atau laki-laki plin-plan. Aku memang tak bisa bersembunyi dari kenyataan, bahwa pesonamu masih sangat mencengkram. Bisa saja kualihkan pikiranku tentangmu, namun melupakanmu… aku sangat ragu. Terlebih lagi, kemajuan zaman membuatku terus terhubung dengan berita tentang hati kamu. Melalui media sosial dan sahabat-sahabat karibmu, kutahu, kamu masih menancapkan namaku di tahta hatimu.

Firda sangat senang menceritakan segala hal tentang kamu, Ben. Meski dia tak lagi berjualan hucap sama bapaknya, dia masih saja rutin mengunjungi taman kota Kuningan begitu datang petang. Banyak kenangan, katanya.

Sungguh, kabar itu menyemangatiku untuk terus memperbaiki diri demi menjemputmu dengan cara yang suci lagi gentle – pernikahan. Aku sadar benar, waktu melaju mengantarkan kita pada fase kedewasaan. Segala keputusan mesti diambil dengan pertimbangan matang, tak lagi seperti mencomot sebuah undian. Dan niatku untuk menikahimu – bukannya tak pasti, tapi aku memang mesti memupuk modal lahir-bathin. Kita ini satu angkatan. Perlu waktu untuk meredakan ego yang membara. Dan aku selalu melayangkan asa, semoga kamu sabar menunggu masanya tiba.

Naas, usaha panjangku itu berbuntut buruk. Rentetan detik yang kulalui memberiku teguran teramat keras; ketidakpastian dan penantian bagi seorang wanita adalah ujian terberat dalam sebuah perjuangan cinta. Suatu hari, aku mendapat sebuah pembaharuan maha penting mengenai hidupmu,

Kamu terlalu lama menggantungkan Firda, Ben. Dia mau menikah dengan laki-laki pilihan bapaknya…

Informasi ini membuat dinding hatiku seakan gegar. Aku sempat sangat kecewa sebab waktu meruntuhkan benteng kesetiaan kita. Bagaimana mungkin, helaian-helaian rasa yang tersusun dari mulai pertama kali kita bertemu beterbangan begitu saja dengan sekali tiupan? Sekejap saja, sayap-sayap cinta yang siap kuterbangkan itu tercabik-cabik memilukan. Tergolek oleh kenyataan.

Namun, apalah kemarahanku. Lambat-laun, api yang menyala-nyala karena cinta bisa redup bahkan padam karena cinta itu sendiri. Kumuntahkan segenap kekecewaan yang bertahun-tahun terkunyah. Memang, perlakuan cinta yang menyakitkan itu kadang bisa menjadi penyadar yang ampuh. Berurusan dan bermain dengan cinta tak bisa main-main. Satu sisinya bisa mengembungkan senyum, sisi lainnya bisa mengekalkan sesal.

Semangat sekali aku mencari informasi yang ‘membela’ keputusanmu. Aku sangat yakin, keputusan vital dalam hidupmu itu terbit karena suatu alasan batu. Selain menginterogasi sahabat-sahabatmu, kutelusuri juga pesan-pesan yang kamu siratkan di jejaring sosial. Benar saja, mahligai rumah tanggamu itu tak berangkat dari hati.

“Dulu… kenapa kamu teh nyerah, Da?” ketika hening beberapa jenak, kusisipkan pertanyaan itu. Kan kubuktikan bahwa keyakinanku selama ini benar. Kamu masih mencintaiku.

“Aku mungkin bisa saja bertahan, Ben,” Kamu menghela napas atau mungkin menahan laju butiran bening yang bergelayut di balik matamu, “Tapi tidak dengan bapak.”

“Jadi kamu mau saja dijodohkan sama beliau?”

“Lelaki pilihannya sangat baik, Ben,” entah kenapa, ketidakberanianmu untuk beradu pandang membuatku meragukan ucapanmu itu.

“Pantesan kamu begitu mudah menjadikannya sebagai suami ya, Da?!”

“Aku tak tahu lagi, dengan cara apa mesti membahagiakan bapak…” nada bicaramu melemah, membuatku merasa bersalah.

“Oh iya,” Aku teringat sesuatu, “Aku sangat berduka atas kepergiaan beliau. Maaf, Da, aku gak bermaksud membuka kesedihanmu lagi.”

“Gak apa-apa, Ben,” kamu susah-payah memahat senyuman demi membesarkan hati, “Ringan sekali hatiku ketika beliau telah memperoleh keinginan terbesarnya sebelum meninggal.”

“Apa itu, Da?”

“Melihat anak bungsunya ini menikah, meskipun…” tumpah sudah butiran bening yang kamu tahan itu, “Beliau tak sempat menimang cucu dariku,” Kamu melanjutkan ucapanmu sembari menusukkan pandangan ke arah anak kecil yang tengah bermain-main. Dua detik saja, wajah ceria anak itu menciptakan senyummu.

Aku ikut memandang anak itu, “Berapa tahun usianya, Da?”

“Dua,” Kamu memindahkan sinar matamu padaku.

“Da?” ini saat yang tepat untuk mengutarakan niatku, “Cintamu pada lelaki pilihan Bapak itu tak utuh, ‘kan? Banyak rasa yang kamu tinggalkan dalam hatiku.”

Kamu menunduk dan bergumam, mencoba mereka-reka suasana agar tak tegang, “Ah sok tahu, Kamu!”

“Aku ingin menikahimu, Da,” langsung saja kusampaikan isi hati. Kulihat, kamu nampak tersengat dengan uacapanku itu, “Bagaimana?”

Kamu masih menunduk. Aku turut membisu, menahan debar yang ngilu. Aksi diammu menyulap arak-arakan awan tipis, hembusan angin, tarian daun, suara-suara bahkan bayang-bayang segala benda menjadi seperti gagu. Mereka seolah ikut menunggu apapun keputusanmu. Kubiarkan matahari tergelincir tenang ke peraduan sebagaimana kuhormati keheningan yang kamu ciptakan. Aku berusaha memahami betapa ruwetnya kamu berdiskusi dengan hatimu sendiri.

***

Jagoan mungil yang ubun-ubunnya kamu elus itu merengek,

“Pulang, Mah… Kangen papa… ”

Setengah jam saja kita bercengkrama. Kini kamu benar-benar berdiri, menggenapi sela-sela kelima jari si anak laki-laki. Setelah bersiap menuntunnya pergi, kamu meminta buah hatimu itu menghampiriku,

“Salam dulu Ben sama Om…”

“Ben?” dahiku membentuk lipatan ketika menyambut ciuman sang anak di atas punggung tanganku. Masih terduduk, aku memandangmu dan anak itu bergantian.

“Iya namanya Benny Hamzah, Ben,” Kamu meluruskan kerut kebingunganku sambil memantapkan posisi tasmu lalu tersenyum, “Jadi, mana bisa nama anak sama dengan nama ayahnya?”

Tanpa menunggu salam perpisahan, kamu memapahnya menerobos pinggiran taman yang berkilau-kilau oleh cahaya petang. Dari bangku taman itu, aku saksikan, perlahan punggung kalian menghilang. Asaku pun melayang. [*]

1 = Akronim dari Tahu Kecap, makanan khas Kuningan – Jawa Barat berisi potongan tahu goreng, ketupat dan lumuran bumbu kacang ditambah kecap.

Oleh: Dee Ann Rose/Dian Rosdiana, mahasiswi Universitas Kuningan (UNIKU), Img: pixoto

Tinggalkan Balasan