[Cerpen] Bakiak Sang Kiai

0
652

Bakiak Kiai Qurtubi yang khas terdengar samar-samar mendekati masjid. Santri mengintip dari balik tembok masjid, bersiap berlomba mencari barokah dengan istiqomah merapikan bakiak Pak Kiai. Para santri yang mengintip sedari tadi terlihat kecewa ketika kalah cepat dengan yang lain. Lagi-lagi santri yang bernama Najim dengan santainya keluar dari dalam masjid, menyalami Kiai dan merapikan bakiak Kiai.

Pada hari-hari biasa, suasana Pondok Darul Ulum sangat hikmat mengikuti kegiatan pondok pesantren karena pondok Darul Ulum tergolong salaf. Kegiatan musyawarah kitab sebagai akhir dari serangkaian jadwal, berakhir pada jam 22.00 WIB.

Jarum jam masih menunjuk angka 21.15 WIB. Salah satu santri abdi (pembantu) dalem (rumah kiai) terlihat tergopoh-gopoh mendatangi dalem Kiai dengan wajah cemas.

“Kejadian yang sama, Pak Kiai…”

Kiai langsung mengerti maksud Rosi. Beliau memutar tasbihnya lebih cepat dan menyuruh Rosi mengajak satu temannya.

“Ajak Najim saja, dia kelihatannya lain.”

Dengan pikiran yang penasaran kata-kata Kiai, Rosi menjemput Najim yang sedang menjaga musyawarah. Sekilas dia mengamati Najim.

“Apanya yang lain dari Najim? Paling Cuma beda ganteng dan tinggi sama aku. Waduh, jadi tambah bingung”. Pikir Rosi dalam hati.

“Ayo, Kang. Katanya, saya dipanggil Kiai?” suara Najim membuyarkan lamunan Rosi.

Kiai dan dua santrinya naik ke atas kubah masjid, melihat sekitarnya. Seberkas cahaya mengusik pandangan mereka yang muncul dan menghilang secepat kilat. Cahaya putih yang berkeliaran di sekitar pondok.

“Najim, kamu bisa melihatnya?” Tanya Rosi cemas

“Bisa, Kang. Cahaya apa itu?” Jawab Najim dengan mantap

“Nanti aku jelaskan, sekarang tugasmu adalah mencari titik cahaya tadi hilang.” Sahut Kiai.

Cahaya tersebut mengganggu di balik jendela pondok putri, seketika terdengar teriakan santri putri memekakkan telinga. Keluarga dalem bergegas keluar melihat apa yang terjadi. Kiai memberi isyarat untuk masuk.

“Sudah berani menampakkan diri di depan orang banyak.” Kata Kiai lirih dan masih bisa terdengar Rosi dan Najim.

Keesokan harinya, Najim kembali ke dalem. Kiai menceritakan perihal cahaya itu. Cahaya jin kiriman dari orang dalam pondok. Sangat sulit untuk menentukan siapa pengirimnya karena takut terjadi fitnah dan rusaknya tali persaudaraan.

Najim mulai mengerti dan terus menyimak cerita Kiai. Pandangan matanya beralih ke sumber suara bakiak yang bergeser.Ia melihat seorang kakek berjubah putih merapikan bakiak Kiai dan kemudian menghilang.

“Masyaallah! Maaf, Pak Kiai. Siapa kakek berjubah putih yang merapikan bakiak Kiai itu?” tanya Najim menyela cerita Kiai dan tercengang.

“Kamu bisa melihatnya, Jim? Iya itu kerjaannya abdi dalem dari bangsa jin, namanya Abbas.”

Masyaallah. Bisa, Pak Kiai.” Jawab Najim sambil menelan ludah

“Baguslah. Tidak semua jin menampakkan dirinya, jadi tenang saja. Kalau menampakkan semua, rumah ini pun sesak oleh jin.” Tutur Kiai.

Sebentar kemudian Najim dikejutkan lagi dengan kedatangan seseorang berjubah putih berparas cantik membawakan nampan yang berisi dua gelas air.

“Masyaallah, dia juga abdi dalem dari bangsa jin, Pak Kiai?” tanya Najim spontan.

Kiai terkekeh, “Ini manusia, Jim.Ini putriku, namanya Husna.”

“Astaghfirullahal ‘adzim, maaf, Pak Kiai. Maaf, Neng. Saya baru tahu.”

“Nggak apa-apa, Jim.Maklum kalau kamu tidak tahu, kamu masuk pondok sini, dia berangkat ke Mesir.”

Najim mengangguk pelan dan tidak berani melihat kembalinya Neng Husna ke dalam dalem karena sangat malu.

Suasana malam ini terasa lebih tenang dari kemarin.Kiai dan Kang Rosi tidak mengajaknya ke atas kubah lagi.Najim melihat sekeliling masjid.Semenjak mengetahui masalah yang sedang mengguncang pondok, perasaan Najim menjadi berat seperti mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan semua ini.

Ia shalat tahajjud dua rakaat bersama Fatih. Setelah salam, Najim dan Fatih saling berpandangan.

“Ada yang ikut berjamaah juga kayaknya, Kang.Suara amin-nya serentak.”Kata Fatih ketakutan.

Najim tersenyum, “Kayaknya begitu.”Jawab Najim enteng menyadari segerombolan Jin ikut berjamaah dibelakangnya.

Ketika hendak keluar dari masjid, Najim tidak sengaja melihat Kiai Rofi’i, sepupu Ibu Nyai mengelus-elus tembok Gus Lukman, menantu Kiai dengan putri sulungnya, Neng Farah. Dan kemudian pergi.Najim hanya terdiam dan melanjutkan langkahnya untuk kembali ke kamar.

Seminggu setelah kejadian itu, terdengar berita bahwa menantu Kiai, Gus Lukman sakit liver.Najim dan Rosi dipanggil kembali ke dalem.Kiai menceritakan bertemunya seberkas cahaya putih itu di dalam kamar Gus Lukman.Seminggu ini selama Gus Lukman sakit, cahaya itu tidak pernah beranjak dari kamar Gus Lukman. Karena itu, tidak pernah terdengar jeritan pondok putra maupun putri karena penampakan jin itu.

“Najim, Rosi…jangan lupa tolong disampaikan kepada santriwan dan santriwati untuk tetap istiqomah baca Burdah setiap selesai kegiatan. Abbas menyarankan untuk berhati-hati karena Jin yang sedang kita hadapi adalah jin islam tapi jahat karena pengaruh pengirimnya.”

Najim mengingat kejadian yang pernah dilihatnya sekitar seminggu yang lalu, tapi Ia tidak mngutarakannya pada Kiai karena takut menjadi fitnah.

“Baik, Pak Kiai.” Jawab mereka serentak.

Rosi menyambung, “Pak Kiai, apa tidak sebaiknya kita lakukan pembacaan Burdah serentak sepondok begitu?”

“Rosi, apa kamu menghendaki peperangan?Kalau hal itu kita lakukan, maka harus ada satu orang menjadi korban dan satu pintunya terbuka. Korban sebagai penempatan jin sementara agar jin itu bisa menjelaskan maksud kedatangannya, dan seseorang yang sudah kerasukan jin, maka satu pintu dalam dirinya terbuka. Memungkinkan di kemudian hari untuk dimasuki jin lagi.”

“Saya bersedia, Pak Kiai.”Sahut Najim tegas.

“Sulit kalau kamu, Jim.Kamu kelihatannya kuat.”

“Sekuat apapun ketika pikiran kosong maka akan gampang dimasuki, Kiai.”

Kegiatan pondok tak se-hikmat sebelumnya, suasana terdengar gaduh dengan isu-isu yang menyebar.Para santri takut dengan adanya penampakan cahaya putih yang berubah menjadi bermacam-macam rupa.Sebagian santri memilih pulang ke rumahnya karena situasi yang kurang nyaman di pondok.Keluarga dalemsibuk menerima tamu para wali santri karena isu ini.

Najim memperhatikan dalem Kiai yang dipenuhi para wali santri yang mencemaskan putra-putrinya.“Sampai kapan harus begini?saatnya harus tegas.”

Setelah suasana dalem sepi, Najim memberanikan diri menghadap Kiai dan menyatakan maksudnya.

“Kamu yakin dengan tekadmu?” tanya Kiai sedikit khawatir.

“Saya yakin, Pak Kiai.Saya tahu sedikit mengenai hubungan cahaya itu dengan seseorang dan sakitnya Gus Lukman, insyaallah.Mohon maaf kalau saya tidak bisa menceritakannya sekarang karena takut penglihatan saya salah.Jadi, untuk membuktikan semua ini, biarkan saya yang melakukannya.”

“Baiklah, saya percaya pada kemampuanmu.Insyaallah, dengan terus ikhtiyar, Allah akan mengabulkan doa kita, Amin.”

Keesokan harinya, pengurus putra-putri melakukan rapat kecil di dalem Kiai dan rapat langsung dipimpin oleh Kiai.

Malamnya, pondok melaksanakan kegiatan dengan semestinya. Kiai, Najim, Rosi dan dua santri lagi menuju kamar Gus Lukman. Di samping Gus Lukman ada Ibu Nyai dan Neng Farah.Dengan satu isyarat, mereka keluar. Kini, hanya ada Gus Lukman yang terbaring sakit, Kiai, Najim dan Rosi serta dua santri lainnya.Suara sayup-sayup pondok putra-putri membaca burdahterdengar serentak.

Nampak Kiai membaca do’a dan bertasbih sangat cepat.Najim mengosongkan pikirannya, sedangkan Rosi dan dua santri lainnya bersiap-siap mengamankan Najim ketika dimasuki Jin agar tidak membahayakan sekitarnya.

Setelah tegang selama satu jam, Najim pingsan.Seketika Rosi dan dua temannya memegang tangan dan kakinya erat.Tiba-tiba mata Najim melirik tajam kepada ketiganya.Najim mengamuk karena tangan dan kakinya dipegang erat oleh Rosi dan kedua temannya.            “Sudah, lepaskan.Kasihan pada Najim nantinya.”

Najim berdiri menatap kearah Kiai.

Kiai menyapanya, “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Jawab Najim singkat.

“Apa maksud kedatangan kamu kemari?”

Najim tersenyum sinis, “Bakiak.”

Rosi dan dua temannya tercengang.“Hanya karena bakiak?”Rosi bertanya-tanya dalam dirinya.

Kiai tersenyum kembali, “Bakiak?Siapa menurutmu yang pantas memakai bakiak ini?tidak berarti kamu, kan?”

“Rumah barat.”

“Kiai Rifa’i maksudmu?Apa menurutmu ini cara yang benar? Dengan memporak-porandakan pondok sehingga kacau seperti sekarang, sehingga menurut kau dan tuanmu, aku akan menyerah mempertahankan pondok ini? Kalian salah, aku dan pondok akan semakin kuat.”

Najim meraih surban Kiai, dalam sedetik Kiai berada dalam posisi tercekik.Tapi Kiai tetap bertasbih tenang.

Rosi dan keduanya pun berusaha melepaskan Najim dari surban Kiai.Tapi cekikan itu semakin kuat. Muncullah Ibu Nyai dan Farah menangis dan menjerit menyadari apa yang dilihatnya. Husna datang dari luar dan menghampiri jeritan itu. Dia menerobos masuk ke kamar Gus Lukman, begitu melihat Najim mencekik ayahnya, Ia tanpa ragu-ragu menampar Najim, sedetik kemudian Najim pingsan.

Husna memeluk ayahnya yang masih bertasbih, kemudian pelukan itu berubah menjadi cekikan.Najim tersadar dari pingsannya.Begitu melihat Husna mencekik Kiai, dia langsung memeluk erat kepala Neng Husna dengan membaca do’a.

Sebentar kemudian, Neng Husna pingsan dalam dekapan Najim.Kiai segera membuka matanya.

“Kamu melakukannya dengan sangat baik, Jim.Sekarang tolong bawa Husna ke kamarnya.”

Ketika membopong Husna ke kamar, Najim merasakan sesuatu yang beda. Ditatapnya lekat wajah Neng Husna yang sangat cantik seperti bunga lily itu.Segera dibuyarkan pikiran seperti itu.Ia segera menghadap Kiai.

Salah satu santri tergopoh-gopoh menghampiri Kiai memberitahukan kalau Kiai Rifa’i menghilang.

“Kenapa harus melarikan diri, wong disini saudaranya sendiri, sudah pasti dimaafkan.”Sesal Kiai dan Ibu Nyai.

Najim berbisik pada Rosi menanyakan apa yang telah dia lakukan.

“Sama apa yang dilakukan oleh Neng Husna.”Jawab Rosi sambil menjewer telinga Najim.

Najim tercengang penuh rasa bersalah, “Astaghfirullah…maafkan saya, Kiai.Kata Kang Rosi saya telah mencekik Kiai.”

Kiai terkekeh, “Itu bukan kamu, tapi jin-nya mencekikku menggunakan jasadmu.Jangan salahkan dirimu.

“Jadi, kalau raja berebut mahkota, kalau Kiai berebut Bakiak, ya Kiai?” tanya Rosi dengan rasa penasarannya.

“Memangnya aku kelihatan rebutan, Ros?” tanya balik Kiai.

Rosi menggeleng dan terdiam mengerti.

Sebulan setelah kejadian itu, pondok kembali stabil.Tidak ada lagi penampakan-penampakan yang menggemparkan pondok.

Kiai memanggil Najim ke dalem.

“Sampaikan salamku kepada abi-mu, sekarang pulanglah dan jangan kembali sebagai santri.”

“Maksud Kiai saya diusir? Apa salah saya, Pak Kiai?” tanya Najim dengan mata berkaca-kaca.Ia bersujud di kaki Kiai dengan tangisnya.

Kiai pergi meninggalkannya seorang diri di ruang tamu.Husna yang sedari tadi melihatnya ikut menangis.Nampan yang berisi air sudah tak kuat dibawanya.Husna masih berdiri.Najim menghampiri suara pecahan gelas tadi dan segera membersihkannya kemudian pergi mengemasi barang-barangnya.

Para santri putra menangis menghantarkan kepulangan Najim yang sangat tiba-tiba.mereka sangat menyayangkan ustadz terbaiknya pulang dengan tidak terhormat tanpa alasan yang jelas.

Najim memasuki kawasan rumahnya dengan hati teriris, apa yang harus Ia katakana kepada Abi-nya. Seorang Kiai yang mempunyai banyak santri, tapi anaknya pulang dari pondok secara tidak terhormat. Umi dan Abi-nya terlihat cemas menyambutnya di depan rumah, membuat air matanya kembali meleleh. Ia turun dari mobilnya dan langsung memeluk Abi-nya.

“Maafkan Najim, Bi..”

“Sudah jangan menangis.Apa ada salam dari Kiai Qurtubi?”

“Iya, Bi…Najim tidak boleh kembali sebagai santri lagi. Maafkan Najim telah mempermalukan Abi.”

Abi Najim semakin memperat pelukannya, dan semuanya menangis terharu.Umi juga ikut memeluknya dan tersenyum, “Alhamdulillah lamaran kita selama empat tahun diterima juga akhirnya.”

Najim melepas pelukannya, terheran-heran.“Maksud Abi dan Umi, Najim dan Neng Husna?”

Abi dan Umi-nya tersenyum, “Kembalilah ke pondok itu bukan sebagai santri, tapi sebagai menantunya Kiai Qurtubi.”

Oleh: Mawaddatul Karimah, Mulyorejo Surabaya

Tinggalkan Balasan