[Cerpen] Nenekku Segalanya Bagiku

0
465

“Galih, Gilang, Givan, Gita bangun. Sholat shubuh dulu.” terdengar suara lemah seorang wanita. Suara yang menggambarkan keriput diwajahnya, dan besaran umurnya.

“Iyaaaa ni.” aku yang tengah tengkurap dibalik selimutnya menjawab suara lemah itu.

Aku pun bangun setelah beberapa saat mengumpulkan tenaga untuk membuka mata.

“Alhamdulillah.” Ucapnya lembut.

Sambil berjalan menuju toilet, aku tengok dulu kamar nenekku, beliau masih berdiri dengan tangan tertindih di atas diafragma dan mulut komat-kamit mengucapkan bacaan shalat.

Ya, suara lemah yang membangunkanku tadi adalah suara nenekku. Mak Onah namanya tapi aku memanggilnya ‘nini’ atau nenek jika dalam bahasa Indonesia. Aku tinggal dengan beliau semenjak lahir, bersama ayah, ibu, kakak dan adik-adikku. Tapi sekarang hanya tinggal beliau, kakak dan adikku, kedua orang tuakku telah meninggal.

Namaku Galih, anak ke tiga dari lima bersaudara. Orang tuaku meninggal saat aku masih kecil. Semenjak orang tua ku meninggal, nenek yang menjadi kepala keluarga di rumahku. Dengan usianya yang telah lanjut, beliau berjuang membuat kami sekeluarga tetap hidup, tetap sekolah, dan tetap beribadah. Beliau melakukan apa saja untuk dapat menghidupi kami, namun tentu saja tidak semua hal bisa ia lakukan karena tubuhnya tidak sekuat dulu. Menjadi buruh tani saat musim panen disawah, pemanen kacang tanah, bawang merah, cabe, jual makanan ringan khas daerah seperti seroja saat tidak ada pekerjaan di sawah atau di kebun dan lain sebagainya.

Aku pernah ikut nenekku bekerja di sawah pada masa panen saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Aih, ikut nenek yu, ke sawah” ujar beliau.

“Ngapain nek?” tanyaku.

“Disawah banyak tutut, nanti nenek ngurus padi, kamu nyari tutut buat kita makan. Sekalian main.” jawabnya.

“Oh, banyak orang ya disana nek? Ayo.” aku mengiyakan ajakannya.

Kita berdua berjalan menyusuri kebun. Saat dijalan aku lihat nenek berjalan sambil mendendangkan lagu puji-pujian kepada Allah yang sering beliau nyanyikan saat pengajian. Aku diam saja, mendengarkan dan mengikutinya di belakang. Beberapa orang yang kami temui dijalan tersenyum ramah dan menyapa kami.

“Berangkat Mak?”

“Iya nyi, mau ke sawah . Mangga.”

“Iya Mak, silakan.”

Tak berapa lama, kami sampai di sawah milik H. Toyo. Juragan tanah di daerah tempat kami tinggal. Nenek langsung pergi ke tengah sawah.

“Aih, ayo ikut dulu kesana, bantu nenek beres-beres.” ajak beliau.

“Iya nek.” jawabku.

Terlihat beberapa orang sudah mulai menyusuri sawah untuk memanen padi yang telah menguning. Beberapa orang lagi sedang asyik memukul-mukulkan padi yang telah dipanen alat yang terbuat dari bambu berbentuk seperti meja. Mereka bekerja secara kelompok, ada yang tiga orang dan dua orang. Usianya pun masih muda. Nenekku bekerja sendiri, tidak berkelompok.

“Nek, kenapa tidak ikut kesana?” tanyaku.

“Disana lapak orang lain, lapak nenek ya disini Aih.” jawabnya.

“Oh, nenek sendirian kerjanya?”

“Iya, kalau ngajak orang lain nanti hasilnya dibagi dua, kasian nenek sudah tua, nanti mereka rugi.” ujar beliau.

Beliau memang tidak mau bekerja secara kelompok, bukan karena apa-apa. Tapi beliau takut teman sekelompoknya nanti merugi, pasalnya kinerja nenekku tidak sekuat mereka, jika mereka bekerja sekelompok dengan nenekku padi yang dihasilkan tidak sebanyak kelompok lain. Itupun nantinya harus dibagi dua lagi dengan nenekku. Padahal pasti mereka yang menghasilkan banyak padi, tapi harus berbagi dengan nenekku yang tidak mampu menumbuk padi sebanyak mereka.

“Aih, kamu lihat dulu nenek. Nanti kalau sudah tahu caranya kamu bantu nenek ya.” pinta beliau.

“Iya nek” jawabku.

Aku lihat nenek mulai menyiapkan peralatannya, beliau mulai mengambil padi di tempat hasil pemotongan padi. Menggunakan karung yang ia bekal dari rumah. Kemudian beliau meletakkan karung itu di tanah dan mengangkat padi keatasnya, setelah dirasa cukup beliau membungkus padi itu dengan karung dan mulai mengangkatnya. Wajahnya tersorot mentari pagi, menunjukkan keriput diwajahnya dan matanya yang mulai memutih. Mulutnya tak henti bergerak tapi tak bersuara. Berdzikir kepada Allah. Urat-urat tangannya tampak jelas menonjol di antara jari-jari kecilnya. Matahari mulai meninggi, peluhnya perlahan turun dari kening. Sesekali beliau berhenti menyeka keringat. Tak tampak wajah kelelahan meski telah dipenuhi keringat. Aku, yang awalnya berniat untuk mencari tutut, jadi tergerak untuk membantu nenek.

Saat istirahat, kami semua makan bersama di bawah pohon di pinggir sawah. Beberapa orang terlihat masih membersihkan diri di sungai depan sana.

“Mak, jangan terlalu capek, nanti emak sakit.” kata salah seorang pekerja disana.

“Siapa yang capek? Berkeringat begini bukan berarti capek, tenang saja.” jawab nenekku.

“Emak ini, selalu begitu. Umur sudah tua, tapi semangat mengalahkan kami yang masih muda.” ujar pekerja yang lain.

“Kenapa bisa begitu Mak?” tanya pekerja yang lain.

“Ya, tidak kenapa-kenapa. Semua pekerjaan itu pasti melelahkan, tapi semua kelelahan itu tidak perlu di bicarakan. Lelah ya lelah saja. Kalau sekiranya benar-benar tidak kuat, pasti Emak istirahat sebentar, kalau masih kuat ya kenapa harus berhenti. Niat kita disini untuk mencari nafkah untuk keluarga, apalagi yang Emak nafkahi itu anak yatim piatu. Allah pasti melindungi Emak.” jawabnya.

Semua pekerja diam atas jawaban nenekku tadi. Seperti merenungkan jawaban beliau. Nampak ketegaran terlihat dari sosok beliau. Pengorbanannya untuk menghidupi kami sekeluarga. Keyakinannya akan perlindungan Allah dan keikhlasannya membuat aku bangga memiliki nenek seperti beliau. Apa yang nenek ucapkan tadi secara tidak sadar terekam jelas di otakku dan menjadi panduanku dalam menjalani hidup yang keras ini. Menjadi penopang disaat aku merasa terjatuh dan penyemangat disaat aku lelah. Ucapan yang menggambarkan betapa tegarnya nenekku dalam perjuangannya menghidupi kami sekeluarga.

——————————- ||| ——————————-

Kini, aku telah beranjak dewasa. Nenekku sudah tidak mampu untuk bekerja lagi, penglihatannya sudah mulai hilang, wajahnya semakin keriput, tangannya tak sekuat dahulu, pundaknya yang dulu kekar kini tidak lagi. Hanya satu yang tidak berubah. Keimanannya masih sekuat dulu. Masih aku lihat beliau melaksanakan berbagai puasa sunat, shalat tahajud, dan lain sebagainya.

Pernah suatu ketika aku terbangun di malam hari karena ingin buang air kecil. Aku melihat nenek duduk bersimpuh di atas sajadah lusuhnya. Dengan berurai air mata, beliau berdo’a.

“Ya Allah, hamba ikhlas dan ridho jika nanti Kau ambil nyawa hamba. Tapi tolong bimbinglah dulu Galih agar menjadi seorang yang dewasa, yang mampu membimbing adik-adiknya, mengingatkan kakak-kakaknya dan menjadi insan yang bertanggung jawab. Sholehkan mereka Yaa Allah, izinkan hamba melihat cucu-cucu hamba menjadi orang yang siap menghadapi semua ujian darimu, bersyukur atas nikmat. Sesungguhnya engkaulah Yang Maha Memberi, Maha Menguasai, Maha Penggerak Sesuatu, Maha dari segala Maha. Kabulkan permohonan hamba Yaa Allah. Tanpa maksud memaksa, hanya sebatas keinginan seorang tua untuk cucu-cucu yang hamba sayangi. Lahaola wala quwatta illa billah.”

Saat itu, aku hanya bisa termenung dan ikut menangis. Kemudian kembali lagi menuju kamar mandi dan mengambil wudlu dan shalat sebagai ungkapan syukur dan berdoa yang terbaik untuk nenekku.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku berangkat menuju tempat praktek ke sebuah desa di daerah Tasikmalaya. Satu bulan lamanya aku harus meninggalkan rumah, sudah beberapa kali aku meninggalkan rumah cukup lama untuk praktek lapangan dari tempat kuliahku. Tapi kali ini rasanya benar-benar berat. Seperti tidak ingin beranjak dari rumah. Tapi apadaya, kewajibanku sebagai mahasiswa mengharuskanku pergi. Kucium tangan nenek, karena saat itu hanya ada nenekku dirumah, kakakku kerja, adik-adikku masih sekolah.

“Nek, Galih berangkat dulu ya. Nenek baik-baik di rumah ya.” aku pamit pada nenek.

“Iya, Aih yang benar prakteknya. Jangan mengejar nilai, lakukan saja apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat disana. Jadilah mahasiswa yang berguna. Tidak usah khawatir dengan nenek. Insya allah nenek baik-baik dirumah.” jawab nenekku.

“Iya nek, Galih berangkat ya. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati dijalan ya.”

——————————- ||| ——————————-

Hari keempat di desa tempat praktek, aku agak sibuk mengurus persiapan penyuluhan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sekaligus pembukaan praktek belajar lapangan yang akan dibuka langsung oleh Rektor Universitas. Diperlukan beberapa hal istimewa karena kedatangan Rektor Universitas, membuat kami sekelompok agak kerepotan mempersiapkan semuanya. Tapi alhamdulillah semua persiapan selesai tepat waktu. Acara penyuluhan pun berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan meskipun panitia agak kerepotan.

Saat kembali ke posko aku tengok Handphone ku yang kutempel di lemari kaca paling atas takut ada apa-apa. Di pedesaan memang susah sinyal sehingga handphone harus disimpan di tempat tinggi. Benar saja, pada layar handphone tertera tulisan 1 Panggilan tak terjawab, dari adikku. Tanpa perasaan apa-apa aku simpan kembali, karena memang masih ada agenda yang harus aku lakukan bersama teman-teman satu kelompokku yaitu rapat evaluasi kegiatan penyuluhan tadi. Aku sebagai Ketua Kelompok mempunyai kewajiban untuk memimpin rapat tersebut. Beberapa menit rapat berjalan, handphone ku bergetar berulang-ulang. Aku pun meminta izin mengangkat telepon. Dari adikku lagi.

“Kak, cepat pulang nenek meninggal. Tut..tut…tut…” suara di speaker handphone itu mengagetkanku.

Tanganku gemetar, hatiku berdebar, kepalaku pusing, keringat dingin mengucur dari kening, aku jatuh terkulai di sudut ruangan, air mata pun menetes. Teman-teman kaget, hampir semua panik  melihatku menangis.

“Nenek, nenek meninggal.” ucapku pelan.

“Inalillahi..” jawab mereka.

“Ayo Lih, aku antar kamu pulang sekarang. Ayo.” ujar Septian salah satu teman kelompokku.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil jaket dan berangkat pulang menuju rumah. Sepanjang jalan aku hanya diam menahan tangis dan seakan tak percaya dengan kejadian ini.

Sesampainya dirumah, tangisku pun meledak Sejadi-jadinya, tanpa memikirkan apa kata orang lain. Sedih, bingung, tidak rela dan berbagai perasaan lain berkecamuk dalam dada. Kakak memelukku, adik-adik datang memegang tanganku. Semua orang merangkulku. Dan mengingatkanku jika ini sudah suratan, sudah takdir Allah. Seorang wanita yang sering berkunjung kerumah untuk menengok nenek mendekatiku.

“Sabar nak, semua orang diduni pasti akan meninggal. Ikhlaskan, tangisan tidak akan bisa membawa nenek kembali lagi. Saat ini do’a lah yang mampu merubah semuanya. Do’akan nenek agar masuk surga. Kamu yang kuat ya nak, nenekmu bangga padamu. Jangan menangis, kamu harus tegar seperti nenek.” ucapnya sambil mengusap rambutku.

Perlahan tangisku pun reda, segera aku mengambil wudlu dan ikut memandikan nenekku, mempersiapkan jenazahnya untuk disholatkan. Dalam hati aku berdo’a.

“Yaa Allah, terimalah nenek dipangkuan-Mu. Tempatkan beliau di tempat yang paling mulia. Beliau yang mengurusku sejak kecil, berjuang menghidupi kami sekeluarga yang tak punya ayah dan ibu. Jangan Kau tempatkan dia di tempat yang tidak pantas menurut-Mu. Beliau ayah bagiku, Ibu untukku dan Nenek untuk kami semua. Aku ikhlas, aku ridho. Bantu aku membimbing adik-adikku, mengingatkan kakak-kakakku. Bantu aku agar tegar seperti nenek, tanamkan dalam jiwaku ketenangan, kegigihan dan jauhkan aku dari keluhan-keluhan duniawi sebagaimana nenekku yang tak pernah mengeluh dengan semua keadaan yang Engkau berikan. Aamiin.”

Oleh: Galih Permana Putra, Ciamis Jawa Barat

Tinggalkan Balasan