[Cerpen] Senandung Ayat Jalan Hidayah

0
902

Semilir angin menyapa jengkal demi jengkal kehangatan siang ini, membelai lembut pohon-pohon yang berjejer. Membentuk pagar pembatas antara masjid jami’ dan jalan raya. Terus bertiup membawa butiran-butiran debu terbang bersamanya, hilang di seribu arah penjuru alam.

Aku duduk termenung di atas kain merah berbentuk persegi panjang, Bulu-bulu halus kain itu memberikan kenyamanan tersendiri pada setiap jama’ah yang beri’tikaf atau hanya sekedar untuk menunaikan kewajiban sholat fardu, berdo’a, dan beristirahat di masjid ini. Seperti halnya Aku yang sedang beristirahat setelah hampir enam jam duduk di depan komputer mengerjakan tugas-tugas yang bertumpuk di meja kerjaku.

Seorang Anak datang dari arah luar masjid, anak itu mengenakan baju muslim putih yang di bagian depannya terlihat motif kotak-kotak kecil yang bersatu membentuk satuan kotak-kotak. Mengenakan celana hitam panjang yang terlihat halus serta mengenakan peci putih di kepalanya. Perlahan Anak itu menghampiri Lelaki paruh baya yang duduk kira-kira tiga meter di sebelah kananku.

“Assalamualaikum ustaz”, ucap Anak itu kepada lelaki paruh baya seraya meraih tangan lelaki itu dan segera mencium punggung tangannya.

“Waalaikum salam warohmatullah wabarokatu”, jawab Lelaki paruh baya yang di panggil ustaz oleh anak tadi dengan senyum yang menghiasi bibirnya.

“Silahkan duduk anakku”, lanjut ustaz mempersilahkan muridnya untuk duduk. Si Muridpun segera mengambil tempat di hadapan ustaznya dengan cara yang sangat ta’dim.

Pengajianpun mereka mulai, lantunan aya-ayat suci mulai menyapa sudud demi sudud masjid, memberikan ketenangan pada para pendengarnya. Begitu merdunya lantunan ayat-ayat itu hingga membuat Aku tampa sadar menjatuhkan air mata. Setetes, dua tetes, tiga tetes, semakin menetes membawa memory ingatanku kembali ke masa itu

LLLLL

Bintang malam ini begitu indah mempesona, mengibaskan sayap-sayap cahayanya yang lembut kepada pepohonan rimbun yang selalu melantunkan zikir kepada Ilahi.

Seorang bocah lelaki duduk sendiri memperhatikan bintang-bintang di langit. Rambut ikalnya berkibar-kibar saat tertiup angin malam yang datang menghampiri. Menyelimutinya dengan rasa dingin yang menusuk kulit sawo matangnya. Benar-benar dingin cuaca malam itu.

Fata Ahmad Karim, nama itu adalah pemberian orang tua si bocah saat pertama kali ia menghirup nafas di dunia ini, nama yang di dapat Pak Darto, Abi bayi mungil yang bernama Fata dari Seorang Kiai besar yang memimpin Pesantren Darul Islam tempat di mana Pak Darto dulunya menempa diri, membersihkan hati dalam menuntut ilmu.

“Fata..!!”, terdengar suara lembut memanggil Fata yang tengah duduk mengkhayal di depan rumahnya. Suara itu menyadarkan Fata dari khayal yang bersandiwara dalam dirinya. Fata sesegera mungkin menoleh ke asal suara, suara yang sangat tidak asing, suara yang telah Fata kenal sejak kecil.

Umi buat fata kaget bae[1]

Fata, gi ngapo tu[2]”, tanya Umi Fata sembari melirik ke arah anaknya.

Jangan mengkhayal eo nak, kagit kemasoaan jin, khan bahayo[3]”, lanjut Umi dengan nada canda yang menggelikan. Fatapun mengangguk lembut mendengar nasehat uminya.

“Mi, Abi mana ?”, tanya Fata pada uminya yang berdiri di depan pintu.

“Tuh, Abi ada di dalam, siap-siap mau mutong[4]”, jawab Umi sembari mengarahkan jemarinya ke arah Abi yang sedang menyiapkan perlengkapan mutong. Satu per-satu ala-alat untuk mutong Abi masukkan ke dalam tas yang Ia sandang. Ada paek[5], bekal makanan yang Umi buatkan, dan satu pak Rokok Gudang Garam yang selalu Abi bawa kemana-mana.

Setelah menyiapkan semua perlengkapan, Abi segera menghampiri Umi dan Fata yang berada di depan, dengan senyum Abi mengecup kening Umi yang tiba-tiba tersentak melihat perlakuan suaminya yang tak seperti biasanya, beliau begitu baik dan ramah hari ini. Pagi-pagi sekali Abi telah pergi membuatkan sarapan untuk anak dan isterinya, kemudian Abi mengajak Umi jalan-jalan berdua di taman belakang rumah sambil bercanda tawa dan bernostalgia kembali ke masa-masa pertama Ia bertemu dengan Umi dan akhirnya mengikat hubungan mereka dengan ikatan cinta yang resmi, dan kali ini Abi mengkecup kening umi dengan sangat mesranya sebelum berangkat kerja. Sungguh hal yang sangat mengejutkan.

“Mi”, gumam Abi dengan nada lembut dan mesra.

“Ea bi”, jawab umi kalem.

“Mi, Abi nitip Fata ea, jaga dia baik-baik, ajarkan anak kita ilmu agama agar kelak berguna bagi Agamanya, Bangsa dan Negara”, ucap Abi dengan pandangan yang memancarkan seribu harapan.

“Fata”, Abi beralih menyapa Fata yang berdiri di depannya.

“Ea bi”

“kamu lancarin Al-Qur`annya ea nak, kalo Allah mengizinkan Abi ingin melihat kamu tadarusan di Masjid bulan Romadon besok”, pinta Abi pada Fata yang termangu mendengarkan. Dengan lembut Abi membelai rambut ikal Fata, belayan dengan cinta membuat Fata merasakan hal yang tak bisa di jelaskan.

Beberapa saat kemudian Abi pamit untuk pergi mutong. Dengan perasaan haru Umi dan Fata memandang kepergian Abi.

LLLLL

 Matahari bersinar keemas-emasan menyapa pohon-pohon dan rerantingnya. Mengukir goretan keemasan pada laut yang tenang, indah menghiasi suasana alam sore ini. Membuat makhluk-makhluk takjub akan kebesarannya.

Jam 17.30, Abi belum juga pulang dari mutong, membuat Fata dan Umi berfikir yang tidak-tidak dan mencemaskan Abi.

Jam 17.45, hari perlahan-lahan mulai gelap, matahari melukiskan fatamorgana di langit bagiaan barat, Fata dan Umi semakin mencemaskan Abi.

Jam 17.50, hari gelap disusul dengan rintik-rintik yang mulai berjatuhan membasahi tanah, rumah, pohon, dan taman belakang, Fata dan Umi mulai berdo`a untuk keselamatan Abi.

Jam 18.00, dentuman kencang guntur memekakkan telinga, seorang pria paruh baya berlari terburu-buru di bawah lebatnya hujan, dengan wajah gugup pria paruh baya itu menghampiri rumah Fata, perlahan ia ketuk wajah pintu yang berwarna coklat. Pintupun dibuka.

“Abi”, teriak Fata sambil melukiskan senyum di bibirnya, tapi ketika ia tau wajah yang ada di depan pintu itu adalah wajah Pak Suryo bukan wajah Abinya, hati Fata kembali dirasuki perasaan cemas.

“Maaf ta, umi mu ada ?”

“Umi ?, ada Pak, kenapa ea ?”

“Bisa tolong panggilkan sebentar”, pinta Pak Suryo pada Fata yang berdiri kebingungan. Tampa di minta kedua kalinya, Fata langsung bergegas ke dalam untuk memanggil Uminya. Beberapa saat kemudian Umi muncul dengan senyum yang  terpasang di wajahnya.

“ Ada apa Pak Suryo”, Umi yang baru datang langsung bertanya kepada Pak Suryo.

“Gini buk..”, ucap Pak Suryo sambil menarik nafas lemas, “Pak Darto”

“Ada apa dengan suamiku ?”

belum selesai Pak Suryo menjawab, Umi kembali melontarkan pertanyaan baru.

“Pak Darto”, ucap Pak Suryo ragu

“Ada apa ?”

“Pak Darto, Pak Darto ke..ke..kecelakaan bu, sekarang beliau ada di rumah Bi Imah”, jawab Pak Suryo dengan wajah cemas. Umi seketika itu juga teriak tak percaya, Fata yang melihat Uminya histeris segera menenangkan.

“Mi, sabar mi”, ucap Fata menenangkan Uminya. Perlahan-lahat Fata yang dibantu Pak Suryo menuntun Uminya menuju kursi, tampa di minta Fata bergegas mengambilkan segelas air dan segera memberi minum Uminya.

Beberapa saat setelah Umi mulai tenang Fata menghampiri pak suryo dan menanyakan keadaan abinya.

“Bagaimana keadaan abi pak ?”, tanya fata cemas

“hemmm..bapak gak tau persis nak, tapi sekarang ayahmu ada di rumah Bi Imah”, jawab Pak Suryo hati-hati

“Ea sudah pak, tolong antarkan Fata dan Umi ke rumah Bi Imah”, pinta Fata pada Pak Suryo. Merekapun segera bergegas menuju rumah bi imah, Umi masih terus meneteskan air mata, Fata mulai bersedih, mereka berjalan setengah berlari di bawah hujan yang berjatuhan dari langit, suasana yang mengetar hati siapa saja manusia yang menyaksikan drama kesedihan ini.

Rumah bercat dinding putih itu mulai terlihat dari kejauhan, semakin dekat, dekat, dekat, dan akhirnya Fata, Umi, dan pak Suryopun sampai di depan rumah Bi Imah. Fata dan Umi segera masuk kedalam, di ikuti oleh Pak Suryo yang ada di belakangnya, Bi Imah telah menunggu kedatangan mereka.

“Pak Darto di dalam kamar bu”, ucap Bi Imah sambil tangan kanannya di arahkan ke arah sebuah kamar. Umi dan Fata segera menghampiri kamar itu, perlahan tapi pasti Fata meraih gagang pintu dan kemudian memutarnya dengan lembut.

“Innalillahi wa innalillahi rojiun”, terdengan suara Kiai Arif saat pintu kamar di buka. Umi yang mendengar suara Kiai Arif yang mengucapkan lafadz itu langsung berteriak histeris, “Tidakkk..!!!, suamiku belum meninggal”, teriak Umi yang kemudian jatuh pingsan. Pak Suryo yang tepat berada di belakang Umi segera penangkap tubuh Umi yang terkulai.

Fata mulai meneteskan air mata, perlahan ia hampiri jasad ayahnya yang terbaring tak bernafas, ia pandangi wajah yang telah ia lihat selama hidupnya itu, wajah seorang Abi yang telah mengasuhnya sejak kecil. Cahaya bergerak dengan sangat cepatnya.gelap.

Fata tiba-tiba tersungkur di pangkuan Kiai Arif, Kiai Arif coba memeriksanya, “dia pingsan”, gumam Kiai Arif yang kemudian mengangkat tubuh Fata yang Terkulai.

LLLLL

“Lancarin Al-Qur`annya nak”, suara itu perlahan menyadarkan Fata yang tertidur di dalam Masjid. Fata menatap di sekelilingnya orang-orang masih banyak yang berdiam diri beri`tikaf di Masjid, ustadz yang duduk tiga meter di sebelah kanannya masih sangat asiknya melantunkan ayat-ayat qur`an. Fata kembali teringat betapa ia sedihnya saat mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur`an itu hingga membawa jiwanya bermimpi kembali ke masa lalu.

“Lancarin Al-Qur`annya nak”, suara itu kembali terngiang-ngiang di telinga Fata, ia menyadari bahwa selama ini dia belum bisa membaca Al-Qur`an seperti yang di harapkan oleh Abinya, kembali ia pandangi ustadz yang ada di sebelahnya.

Ya Allah jika memang engkau mengizinkan pada hambamu yang hina ini untuk mempelajari kitab sucimu, izinkanlah dengan Rahmadmu, ya Allah jika engkau mengizinkan hambamu yang hina ini untuk mempelajari kitab sucimu, maka berikanlah tempat yang mulia bagi Abiku, ya Allah iringilah langkahku dengan segala Rahmad dan Hidayahmu”.

Dengan membaca Basmalah Fata menghampiri ustadz itu dan segera mencium punggung tangannya.

“Ajarkan Al-Qur`an padaku ustadz”

Oleh: Muhammad Ali Akbar, Muara BungoJambi


[1] (Bahasa Jambi) Umi buat Fata kaget aja.

[2] (Bahasa Jambi) Fata lagi ngapain

[3] (Bahasa Jambi) Jangan mengkhayal ea nak, entar kemasukan jin, khan bahaya

[4] Mutong : Pekerjaan mengumpulkan Karet (Bahasa Jambi)

[5] Paek : Alat untuk mutong (Bahasa Jambi)

Tinggalkan Balasan