Resep Menjadi Guru Ideal Menurut KH. Hasyim Asy’ari

0
537

Potret pendidik ideal amat langka di pensantren. Banyak guru yang cerdas, pinter dan jenius tapi tidak jenius budi pekertinya. Menurut hemat kami, guru yang baik tidak hanya melaksanakan tugasnya dengan baik, akan tetapi juga akhlaknya yang dapat diandalkan (mulia). Benar kata bijak yang berbunyi, “Qimatul mar’i akhlaquhu”, Menilai seseorang (dapat ditengok) dari budi pekertinya. Barangkali keumuman kata bijak ini, juga berlaku bagi seorang pendidik.

Disela-sela tulisan ringan ini, penulis mencoba menyelipkan kajian kritis–meneladani seorang pendidik sufi, ulet dalam segala hal. Telaah ini fokus pada seorang tokoh sufi NU KH. Hasyim Asy’ari, yang barangkali sudah tidak asing lagi bagi kaum santri.

KH. Hasyim Asy’ari berdawuh, ada sepuluh kriteria sifat pendidik yang harus tertanam pada seorang pendidik. Pertama, menyucikan jiwa dari hal-hal yang kotor. Sifat ini sebenarnya adalah syarat utama bagi siapapun saja orangnya, untuk meniti segala profesi utamanya seorang pendidik sendiri. Tentu suci hati dari perbuatan yang tercela, baik berupa ucapan maupun tindakan dijamin selamat dunia dan akhirat. Kebaikan yang sealur antara ucapan dan perbuatan inilah yang langka sebab bernilai ibadah disisi Allah SWT.

Hakikat segala bidang profesi berpotensi baik bila diniati baik. Benar dalam kaidah dikatakan “niatnya orang beriman lebih baik daripada perbuatannya, dan niatnya orang fasik lebih jelek daripada perbuatannya. Disini sangat jelas bahwa niat saja tanpa berbuat lebih berharga daripada berbuat tapi tidak berniat (lihat : Mukhtashor Ihya Ulumi Ad-Din Lil Imam Ghazali hlm. 221 Bab Niat).

Kedua, niat mencari ilmu karena Allah bukan karena materi. Niat demikian ini memang ada anjuran dari agama. Tujuannya adalah ibadah. Sebab segala apa yang diperbuat oleh kita tak luput dari kekuasaan Allah Swt. Sementara harta, kekayaan dan kebahagiaan dunia lainnya merupakan implikasi dari pemberian Allah Swt semata. Kita di dunia berusaha dan mencari kehidupan yang baik dan yang terbaik. Bukan sebaliknya kita bekerja dan mencari ilmu diperbudak harta, justru akan mencelakakan kita: naudzubillah. Harta yang baik adalah harta untuk akhirat (perjuangan).

Ketiga, menggunakan kesempatan untuk mencari ilmu pengetahuan atau mempunyai target. Rasulullah bersabda mengenai batasan dalam mencari ilmu “carilah ilmu pengetahuan mulai dari buaian ibu sampai ke liang lahat (meninggal)”. Selain itu, ilmu yang kita gapai harus benar-benar nyata dan terbukti sesuai dengan apa yang kita canangkan. Untuk itu jelas waktu kita harus dikelola dengan baik dan optimal khususnya dalam mencari ilmu daripada digunakan pada hal-hal yang tidak berguna. “times is money” waktu adalah uang.

Keempat, qana’ah dan sabar. Seorang pendidik pasti dalam kesehariannya ketemu dengan ujian atau cobaan. Cobaan itu sangat bermacam-macam bentuknya mulai dari persoalan pribadi sampai dengan umum. Untuk itu, pendidik yang baik ia bisa bersabar dan menerima terhadap apa yang terjadi. Sabar dan rendah diri, tidak putus asa, akan tetapi tetap optimis menjalankan program yang telah menjadi kewajiban dan istiqomah (konsisten) dalam bekerja.

Kelima, membagi waktu dengan baik. Waktu demi waktu seorang pendidik saat menjalani karirnya, merupakan langkah ia menuju identitas dirinya. Alangkah ruginya pendidik disaat menjalani sesuatu yang berharga kemudian ia sia-siakan begitu saja. Bagaikan orang bodoh saat diberi modal, modalnya dihamburkan dengan sia-sia. Begitu juga dengan kita, jika sudah diberi modal waktu yang cukup, maka jangan hambur-hamburkan begitu saja tanpa ada usaha, daya dan guna.

Hikmah dalam al-Qur’an surat al-Ashr 1-3 sangat bagus kita renungkan utamanya bagi seorang pendidik saat ini. Yang artinya “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan menjalankan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Begitulah gambaran orang-orang yang beruntung yaitu kokoh imannya, rajin beramal saleh, saling intropeksi diri tentang kebenaran dan tetap dalam hati yang sabar.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.”(HR.Ahmad).

Ketujuh, hati-hati dalam berperilaku (wara’). Pendidik dalam setiap perbuatannya harus cerdas dan selektif dalam melakukan sesuatu apa saja. Misalnya dia tidak berani melakukan sesuatu yang samara (subhat) status hukumnya. Ia tidak mau melakukan dosa-dosa kecil senyampang masih ada yang halal dan bisa dilakukan.

Kedelapan, mengurangi makanan yang menyebabkan kelemahan dan kebodohan. Rasulullah SAW bersabda “latihlah jiwa-jiwamu dengan lapar dan haus, karena pahalanya sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah, sesungguhnya tidak ada suatu perbuatan yang lebih dicintai Allah kecuali lapar dan haus. Banyak makan akan menghambat ilmu dan melupakan hafalan kita. Makanlah sekedar menguatkan stamina badan saja bukan karena syahwat atau tamak belaka. Benar dalam suatu syair dikatakan bahwa mengurangi makan adalah obat hati.

Kesembilan, mengurangi tidur. Yakni tidur secukupnya sekedar melepas jenuh dan lelah saja. Orang banyak tidur waktunya akan banyak tersita dengan kesia-siaan yang tidak berguna. Maka dari itu, cerdas-cerdaslah mengatur waktu. Idealnya dalam sehari semalam dibagi 3 waktu. Sepertiga pertama untuk ibadah, sepertiga kedua untuk belajar dan sepertiga terakhir untuk istirahat. Jadi masing-masing terbagi delapan jam/8 x 3 = 24 jam.

Kesepuluh, menjauhi pergaulan dengan lawan jenis. Pergaulan seorang pendidik bukan berarti bebas berkiprah. Kiprah atau pergaulan pendidik semestinya tidak menyalahi aturan syari’at (positif) bisa menyenangkan pada setiap anak didiknya di dimanapun saja utamanya di sekolah.

Walhasil, jadilah pendidik yang mempunyai kapabelitas sifat tinggi yang ikhlas, tabah, sabar, qona’ah, wara’, khudhu’ (rendah diri) penuh yakin dan mantap lil Allah. Sebab pendidik yang professional-modern bukan hanya pemikirannya yang jenius, melainkan juga akhlak yang jenius.

Oleh : Ahmad Mu’takif Billah

Penulis adalah Guru MTs Sayyid Yusuf Talango Sumenep Madura

Tinggalkan Balasan