Menanti Barokah [2]

0
320

Setelah lama Bu Halima bincang-bincang dengan Ahmadi, Dia mohon izin pulang rumah. Sepulang Bu Halima, di serambi mesjid Ahmadi bertafakkur, Dia punya firasat ingin melamar tukang sapu di madrasah pondoknya. Dengan hati tawakkal dan pasrah saya diterima atau tidak jadi tukang sapu, itu terserah Allah ? yang terpenting sekarang saya ada usaha dulu.

Nampaknya Ahmadi semangat dengan pekerjaan ini. Ahmadi yakin madrasah pasti menerimanya, sebab ada informasi, bahwa madrasah saat ini kekurangan tenaga tukang sapu. Berkat pertolongan Allah Swt, akhirnya Ahmadi diterima jadi tukang sapu dan per-bulannya Ia mendapat gaji cukup dari madrasah. Maklum Ahmadi masih termasuk santri baru di pondok ini. Sehingga untuk menjadi Ustad (guru) Dia masih seribu pertimbangan karena sedikit ilmunya.

Dengan pekerjaannya itu, Ahmadi berjanji akan tetap bertekat mengabdi ke Kiai dan penuh semangat dalam mencari ilmu”. Ia teringat sebuah hadist Nabi bahwa “barang siapa memuliakan seorang Ulama (Kiai), maka sungguh Ia telah memuliakan aku (Muhammad). Barang siapa memuliakan aku, maka sungguh telah memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah, maka tempatnya adalah surga”. Dalam hati Dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya dan Allah Maha Mengetahui terhadap perbuatan hamba-Nya.

Nah, berkat kecintaan Ahmadi kepada Kiainya dan keikhlasannya dalam bekerja di pesantren, ternyata Allah membukakan kelapangan rizki yang cukup buat Ahmadi dan keluarganya. Ahmadi sangat bersyukur dan gembira sekali ada penghasilan yang lebih bagi dirinya. Selain Dia harus bekerja keras dan membanting tulang demi menghidupi kesejahteraan ibu dan adiknya, Dia juga berdoa agar apa yang dikerjakannya ada banyak (barokah)ª. Alhamdulillah tak lama kemudian Dia bisa mengirim uang (nafkah) dengan lancar sekalipun sedikit.

Walaupun Sang Ibu telah dikirim uang oleh sang anak, namun uang yang diberikan tadi masih kurang sebab dijadikan penyambat hutangnya yang lama tak dibayar. Jadi, ibu Ahmadi bisa nyicil beban hutangnya sedikit demi sedikit bisa dikata Ibu Ahmadi “gali lubang tutup lubang”.

Hebatnya dengan mata pencaharian yang serba kecukupan itu, ternyata tidak sampai mengurangi aktifitas ibadah mereka. Malahan mereka tambah giat beribadah, bekerja dan tak pernah gentar menghadapi pahitnya kehidupan. Sang adik tetap bisa sekolah dan rajin belajar walaupun sangu jajan di sakunya sanagt sedikit. Setiap pagi buta sang ibu harus mempersiapkan diri untuk ngambil barang dagangannya ke tetangga-tetangga terdekatnya dan mulai berjualan setelah adik berangkat sekolah.

Maha besar Allah memberikan jalan terbaik bagi hamba-Nya yang mempunyai usaha tinggi. Setelah Ahmadi  lama di pondok, Ia terkenal anak sopan, pandai, kreatif, sabar dalam mengabdi dan sangat rajin belajar sehingga Ia berhasil menjadi sang jawara kelas karena prestasinya yang tinggi ditambah akhlaknya yang mulia. Lalu Dia dipanggil oleh Kiainya untuk diberi hadiah sebagai suatu penghargaan bagi dirinya. Berkat jasa dan usahanya itulah, dengan waktu singkat Dia diangkat menjadi seorang guru kelas 3 Madrasah Ibtidayah (MI).

Dengan perangainya yang lemah lembut itu pula, tak jarang murid-murid Ahmadi  senantiasa mengidolakan Dia sebagai guru yang lembut perangainya, sopan santun dan akrab terhadap semua orang . Sehingga, Dia disenangi oleh banyak guru karena keikhlasan dan giatnya dalam mengajar tanpa pamrih, sekalipun gajinya yang sedikit serba pas-pasan. Tak lama kemudian, Dia berhasil menyabet guru teladan terbaik. Kebahagiaan bertumpuk tiada tara dan puji syukur yang banyak Ia panjatkan kepada Sang Maha Belas Kasih, Ahmadi tidak menyangka dirinya menjadi seorang terhebat di madrasahnya. Akhirnya Dia gampang mengais rizki dan sukses membahagiakan keluarganya semua berkat barokah guru dan pengabdiannya di pesantren.

Oleh: Muktakif Billah, Penulis adalah Kolumnis Majalah SALAF  Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.

ª  Barokah adalah tambahan rizki, nilai hidup dari Allah yang tak bisa dihargai dan dihitung.

Tinggalkan Balasan