Mengurai Tafsir Jihad Berbasis Solidaritas [2]

0
327

Jihad dan Subyek Pelakunya

Islam adalah agama sosialis, toleran, menghargai dan memperhatikan nasib seorang perempuan dan anak-anak dalam persoalan jihad. Mereka dibedakan keberadannya dengan seorang laki-laki dewasa karena kemampuan fisiknya yang lemah, perangainya yang halus dan daya pemikirannya yang dangkal yang harus dilindungi dan diatur.[1] Rasul mengecam seseorang yang mengajak mereka untuk berperang, apalagi mereka sampai terbunuh di medan laga apalagi membubuhnya.

Dalam firmannya Allah menegaskan pula “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?”(QS, al-Baqarah : 246). Abi Jakfar Muhammad Bin Jarir al-Thabariy menafsirkan ayat ini bahwa seseorang tidak diperbolehkan membunuh anak-anak, maupun perempuan ketika jihad di jalan Allah.[2]

Dalam sabdanya Rasulullah juga mensenyalir; “Dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah pernah melihat seorang perempuan terbunuh disela sebagian perang Beliau, kemudian Beliau mengelak tindakan pembunuhan tersebut dan Beliau melarangnya untuk membunuh perempuan dan seorang anak di waktu perang”.[3]

Sabda Rasul di atas mengindikasikan bahwa Islam dalam kontek jihad memilah-milah status atau jenis seseorang berdasarkan potensinya masing-masing. Akan tetapi tidak serta-merta ditafsiri bahwa seorang perempuan dan anak kecil lolos dari kewajiban jihad. Bagi mereka tetap ada keharusan jihad, akan tetapi bukan dengan adu fisik, senjata atau lainnya melainkan disesuaikan dengan daya dan posisi trategis yang mereka bisa gapai atau mampui. Seperti berdialog, berdiskusi, mengkaji makna al-Qur’an, giat dalam mencari ilmu dan beramal sholeh. Semua bentuk ini juga dikatagorikan makna jihad dalam Islam.

Imam Haqqi al-Busuwi, Mahmud al-Alusi, dan Abu Bakar al-Suyuti dalam kitab tafsirnya, mereka mengatakan bahwa jihad pada hakikatnya bukanlah yang dimaksudkan kontak fisik atau berperang dengan senjata atau pedang. Melainkan jihad bisa ditorehkan maknanya kepada mengkaji keotentikan, keilmiahan, keluhuran dan  kemukjizatan makna al-Qur’an secara mendalam serta mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.[4]

Walhasil, Titah Tuhan (khitab) dalam kontek jihad tidak memperkosa atau memberatkan seseorang untuk berbuat. Islam memberi kedudukan strategis beda mengenai aktualisasinya. Kita harus bisa mengklarifikasi hak dan kewajiban seorang perempuan dan anak-anak yang dianggap lemah atau tidak mempunyai kekuatan apa-apa, dengan seorang  laki-laki yang dikaruniai potensi lebih. Oleh sebab itu, ruang lingkup pemberdayaan seorang perempuan dan anak-anak harus kita perjuangkan sepenuhnya saat ini. Seperti pendidikannya, hak perlindungan, kebebasan berpikir, mengangkat derajat mereka dan lain sebagainya.

Oleh : Ahmad Mu’takif Billah

(Mahasiswa Program Pasca Sarjana (S2), Konsentrasi Bidang Fiqh dan Usul Fiqh, Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo).



[1] Lihat, Hajar Dewantoro dan Asmawi, REKONSTRUKSI FIQH PEREMPUAN dalam Peradaban Masyarakat Modern, Yogyakarta, cet I, 1996, hal. 71.

[2] Abi Jakfar Muhammad Bin Jarir al-Thabariy, Jami’ al-Bayan Tafsir al-Thabari, Dar al-Fikr Bairut-Lebanon, Jilid II, 1995 M-1415 H, hal. 809.

[3] Abi Abdillah Muhammad Bin Zaid al-Qazuwainiy, Sunan Ibnu Majah, Dar al-Fikr Bairut-Lebanon,  Juz II, No. Hadist 2841, hal. 947. Imam Malik Bin Anas, al-Muwattha’, Dar al-Fikr Bairut-Lebanon, Jilid I, 1989 M-1409, No. Hadist 981, hal. 278

[4] Imam Haqqi al-Busuwi, Tafsir Ruh al-Bayan, Dar Ihya al-Turast, al-‘Arabi, cet VII, Jilid 6, 1989, hal. 227. Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Dar kutub al-Ilmiah, cet I, jilid VII, hal. 26.

Tinggalkan Balasan