[Cerpen] 7 Pesan Inspiratif dari Nabi Ismail Sebelum Dirinya Disembeleh

0
673

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim berkurban  untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih  seribu kambing, tiga ratus sapi dan seratus unta. Melihat pengorbanan Ibrahim yang luar biasa ini, para malaikat di langit sana terheran-heran dan memuji-muji Ibrahim. Merasa mendapat pujian malikat, terbersit rasa sombong dalam hati Ibrahim, seraya ia mngatakan “Apa yang telah saya kurbankan belumlah seberapa, jika pun aku mempunyai anak pastilah aku korbankan untuk Allah”, ucap Ibrahim. Peristiwa ini terus berlalu sampai Ibrahim sendiri lupa dengan apa yang pernah ia katakan.

Pada suatu hari di waktu berbeda, Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk berhijrah menuju Syam. Disertai perintah Allah, berangkatlah Ibrahim menuju Syam  untuk meyelamatkan dan meneguhkan kometmen keberagamaannya. Bersamaan dengan itu, Ibrahaim berdo’a, “Rabbi hab li minas shalihin”, -“wahai Tuhanku, karuniakan aku anak yang saleh”, yang bisa membantuku  mengemban misi dakwah dan taat kepadamu, serta menemaniku dalam kesendirian. Permohonan yang tulus itu, akhirnya dikabulkan oleh Allah. Istri tercinta Nabi Ibrahim as, Siti hajar melahirkan seorang bayi laki-laki tampan putih dan sangat lucu, yang kemudian diberi nama Isma’il.

Tujuh tahun sudah -menurut riwayat lain tiga belas tahun-, Ibrahim hidup bersama putranya, ismail, didampingi istrinya, Siti Hajar. Di saat putranya sedang tumbuh dewasa, ketampanan dan kegagahan mulai tampak. Tanda-tanda kewibaan dan kebijaksanaan yang nantinya sebagai bekal kenabian mulai terlihat. Tiba-tiba, di suatu malam yang tenang dan sahdu, Ibramin diingatkan akan ucapannya yang pernah dikatakan puluhan tahun sebelumnya, “Wahai Ibrahim, laksanakanlah nadzarmu, kurbankanlah anakmu”. Nabi Ibrahim tercengang dan merenung “ Betulkah ini perintah dari Allah ataukah semata bisikan setan”. Hari itulah yang kemudian disebut dengan “Yaum at-Tarwiyah”.

Malam berikutnya Ibrahim kembali diingatkan dalam mimpinya “Wahai Ibrahim, laksanakanlah nadzarmu, kurbankanlah anakmu”. Menjelang pagi hari, Nabi Ibrahim yakin bahwa itu adalah benar-benar perintah Allah. Hari itulah yang kemudian disebut “Yaum Arafah”. Pada malam berikutnya, Nabi Ibrahim kembali bermimpi agar ia segera melaksanakan nadzarnya, mengkorbankan putranya. Menjadi yakinlah Ibrahim bahwa itu benar-benar perintah Allah. Dipeluknya putranya dan menangislah Ibrahim sampai pagi hari. Maka, dipagi-pagi sekali, Ibrahim as ingin segera melaksanakan perintah itu. Hari inilah yang kemudian disebut “Yaum an-Nahr”. Yaitu hari penyembelihan kurban.

Di pagi hari yang cerah, matahari bersinar menghangatkan seluruh negeri. Angin-angin bertiup membungkus badan, Ibrahim berkata pada istrinya, “Wahai Hajar, istriku, pakaikanlah Ismail, putra kita tercinta itu dengan pakean yang terbaik yang ia miliki. Aku akan mengajaknya menghadiri jamuan makan salah seorang sahabatku”.    Siti Hajar dengan kasih sayang keibuannya, seraya memilihkan dan mengenakan baju terbaik pada Ismail. Rambut hitam putranya di bilas miyak dan disisir rapi, halus mengkilat. Dalam hati, Ibrahim mengatakan “Alangkah gagahnya anakku, alangkah tampanya, alangkah patuhnya ia kepada kedua orang tuanya, ohhh anakku”.

Berangkatlah Nabi Ibrahim bersama putranya menuju arah Mina dengan membawa sebilah pedang dan seutas tali. Digandengnya, dipeluknya dan kemudian diletakkan sang anak di depan Ibrahim selama dalam perjalanan. Ismail yang masih polos itu tidak tahu. Demikian pula ibunya, Siti Hajar, sesungguhnya hendak dibawa kemana putaranya itu. Di saat inilah, konon setan super sibuk dan hilir mudik kesana kemari, ingin menggagalkaan kepatuhan tanpa batas dari seorang nabiyullah Ibrahim.

Mulailah setan menggoda Ibrahim. Setan berkata pada Ibrahim, “lihatlah begitu gagah anakmu, tampan dan sangat lembut tingkah lakunya, tegakah kau mengorbankannya?” Ibrahim menjawab, “Ya,  memang gagah, tampan dan baik prilakunya, akan tetapi aku diperintahkan Allah untuk mengorbankannya, tidak ada kata tidak jika Allah telah memerintahkan”.  Putus asa setan menggoda Ibrahim. Setan kembali berupa menggagalkan, dengan menggoda Siti Hajar. “Hajar!  Bagaimana engkau duduk saja di rumah, padahal Ibrahim hendak menyembelih putramu?” Hajar menjawab, “Janganlah kau berdusta, mana ada orang tua membunuh anaknya?”. “Sungguh Ibrahim akan menyembelih Ismail, tidakkah kau lihat ketika ia pergi membawa sebilah pedang dan tali?”.  “Atas dasar apa suamiku Ibrahim hendak menyembelih anaknya?” Hajar bertanya. Setan menjawab, “Ibrahim mengira bahwa ia telah diperintahkan Allah untu itu. Hajar mengatakan, “Seorang nabi tidak akan pernah diperintahkan melakukan kebathilan. Saya rela mengorbankan nyawa  demi perintah Allah, apalagi mengorbankan anakku”.

Gagal Setan menggoda Siti Hajar. Terakhir Iblis menggoda Ismail. “Ismail, engkau kelihatan bahagia sekali sambil enak bermain-main, padahal ayahmu membawa sebilah pedang dan seutas tali untuk menyembelihmu”, ucap iblis. Ismail menjawab, “Janganlah kau berdusata, tidak mungkin ayah menyembelihku”. Setan menjawab, “Sungguh, ayahmu menduga bahwa itu adalah perintah Allah”. Mendengar jawaban Iblis, ismail menjawab, “Kalau itu perintah Allah, maka sami’na wa atha’na”. Ketika iblis hendak menjawab kembali, Ismail segera mengambil batu dan melemparkannya ke arah iblis. sebelah mata iblis juling terhantam batu yang dilempar Ismail. Inilah yang menjadi asal mula perintah lempar jumrah bagi jama’ah haji saat ini untuk mengusir iblis dan iqtida’ terhadap Ismail.

Tibalah Ibrahim dan Ismail di daerah Mina. Dengan berat hati dan belaian kasih seorang ayah, Ibrahim kemudian menyampaikan pada Ismail, maksud ia membawanya ke Mina. “Anakku, tahukah kau, sungguh aku berminpi, agar aku menyembelihmu. Anakku, bagaimana pendapatmu, apakah kita akan bersabar menjalankan perintah Allah itu ataukah aku akan mohon pengampunan sebelum semua ini terjadi?”, uji Ibrahim pada Ismail.  Ismail menjawab tampa ragu, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan padamu, insyaallah kita akan termasuk orang-orang yang bersabar”.

Sebelum Ibrahim menyembelih putranya, Ismail berpesan pada ayahandanya. “Ayah, [1] hadapkan wajahku kearah tanah, agar engkau tidak melihat wajahku, lalu ayah menjadi kasihan padaku, [2] singkapkan baju ayah, agar tidak ternoda darahku, maka akan menjadi berkurang pahalaku dan kawatir telihat ibu maka akan bersedih hatinya, [3] tajamkan pedangnya dan tebaslah segera, itu akan lebih mudah bagiku, karena kematian  adalah suatu yang berat, [4] bawa kembali pulang bajuku, agar ibu bisa mengenangku, [5] samapaikan pesan kan pada ibu, katakana padanya, bersabarlah  dalam menjalankan perintah Allah, [6] jangan kabarkan pada ibu bagaimana ayah menyembelihku dan mengikatku, [7] jangan ada anak-anak yang dekat pada ibu, jika ada anak yang seusiaku, janganlah dilihat agar tidak terus menerus beresedih. Itulah pesanku wahai ayah”.  “Baiklah putraku”, jawab nabiyullah Ibrahim.

Ketika kedua hamba pilihan ini telah berserah diri sepenuhnya, ditelungkupkannya  Ismail, di ikat kedua tangan dan kakinya.   Pedang  tajam diletakkannya dileher Ismail, dan dengan sekuat tenaga Ibrahim menjalankan pedang itu di atas leher ismail. Apa yang terhjadi, teryata pisau tajam itu tidak mampu melukainya. Saat para malaikat bumi dan langit melihat peristiwa yang menakjubkan itu, mereka terdunduk sujud. Allah berfirman pada para malaikah “lihatlah kekasihku Ibrahim, ia merelakan putranya semata-mata mencari keridhaannku. padahal kalian dulu pernah meremehkan khalifah yang akan aku ciptakan dibumi ini”.

Melihat pedang tidak mampu memotong lehernya, Ismail kembali berucap, “Cobalah lagi ayah, tapi lepaskan dulu ikatan tangan dan kakiku agar tidak terkesan ada keterpaksaan melaksanakan perintah Allah. Letakkan kembali pedang itu di leherku, agar malaikat mengetahui bahwa ayah    melakukan perintah Allah ini dengan ikhlas dan sepenuh hati. Ibrahim kemudian melepaskan ikatan tangan dan kaki Ismail, ditelungkupnya wajah putranya itu dan pedang kembali ditempelkan kelehernya. Sreeettttt, dengan sekuat tenaga Ibrahim menggorokkan pedang di leher putranya. Sekalai lagi, apa yang terjadi? Ternyata pedang itu tidak mampu melukai leher Ismail sedikitpun. Ismail berteriak, tekan kembali ayah, lipat-gandakan tenagamu. Ternyata pedang itu tidak juga mampu melukai Ismail.

Meragukan kemampuan pedangnya, Ibrahim kemudian menebaskan pedang itu pada sebongkah batu besar di sampingnya.  Teryata batu itu terbelah menjadi dua. Ibrahim terheran dan bertanya pada pedang itu, bagaimana kau bisa membelah batu besar ini, tapi tidak mampu melukahi leher putraku? Dengan kekuasaan Allah, pedang itu menjawab, “Wahai Ibrahim, engkau memerintahkan lukailah, tapi Allah mengatakan kepadaku, janganlah kau lukai. bagaimana bisa aku menolak perintah Allah dan mengikuti perintahmu”.

Saat itulah Allah berfirman “Wahai Ibrahim, sungguh kamu telah mempercayai mimpimu itu, sehingga hamba-hambaku tahu bahwa engkau lebih memilihku dari pada putramu. Inilah ujian yang nyata bagimu, dan engkau berhasil melawatinya. Sebab itulah, Aku akan menebus Ismail putramu itu dengan menggantinya dengan domba yang besar. Demikianlah cara kami membalas orang-orang yang berbuat kebajikan”. Kisah menakjubkan ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an.

Kisah ini memberi pelajaran pada kita bahwa [1] seorang hamba tidak boleh berbesar hati (sombong) karena telah melakukan ibadah sebesar apapun nilai ibadah itu. [2] seorang hamba hendaklah berhati-hati dalam berucap, karena bisa jadi, suatu saat Allah akan menguji ucapan itu, [3] keluarga ideal adalah adalah keluarga yang seluruh anggota keluarga memiliki visi, misi dan tujuan yang sama, [4] pengorbanan yang besar, akan terbalas dengan balasan yang juga besar, [5] Kepasrahan adalah kunci utama untuk meraih apa yang kita impikan.

Di sisi lain, mengapa Ibrahim mampu membangun keluarga ideal? Karena [1] Ibrahim melatih keluarganya dalam kehidupan yang sederhana dan kekurangan (rabbi askantu min dzurriyati bi wadin ghairi dzi zar’an), [2] Ibrahim meletakkan keluarganya dalam lingkungan yang baik, (‘inda baitika al-muharrah), [3] mendidik keluarganya secara komonikatif, berdasar permusyawaratan, [4] Ibrahim tidak henti-henti berdo’a agar dikarrunia anak yang saleh, santun dan taat ibadah, bahkan puluhan tahun sebelum dikarunia anak, [5] pendidikan tauhid (wa wassha biha ibrahima baniihi………)

Tinggalkan Balasan