Ajang Kompetisi, Dorong Prestasi

0
318

Madrasah dahulu dianggap sebagai pendidikan kelas dua, tetapi pandangan tersebut kini pelan-pelan mulai berubah. Untuk bisa masuk madrasah unggulan, calon siswa harus bersaing ketat. Menjadi siswa madrasah kini membanggakan, selain prestasi akademik, mereka juga memiliki karakter yang kuat. Berbagai kompetisi juga menunjukkan, siswa madrasah ternyata hebat-hebat.

Prestasi-santri-Bata-bata

Untuk meningkatkan kualitas madrasah, kini Direktorat Madrasah di Kementerian Agama RI mendesain sejumlah kompetisi yang bisa menjadi ajang bagi para siswa madrasah untuk menguji kemampuannya dalam persaingan dengan madrasah lain dari tingkat kabupaten/kota sampai dengan tingkat nasional.

Direktur Madrasah Nur Kholis Setiawan menuturkan, Direktorat Madrasah memiliki ajang kompetisi berupa Kompetisi Sains Madrasah (KSM) yang diselenggarakan setiap tahun dan Ajang Kompetisi Seni dan Olahraga Madrasah (Aksioma) yang diselenggarakan tiap dua tahun sekali.

Ia menjelaskan, awalnya siswa madrasah bisa berkompetisi dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN), tetapi sering mengalami hambatan, baik by design atau karena kecelakaan. Terakhir kasus di Jawa Tengah ketika siswa madrasah, meskipun juara di tingkat kabupaten tidak diizinkan mengikuti level yang lebih tinggi gara-gara alasan juknis. Kasus ini kemudian ramai di media. Akhirnya dibolehkan ikut seleksi di level lebih tinggi. Pejabat dinas setempat seringkali menganggap siswa madrasah diurusi Kemenag yang kebijakannya tersentralisasi, sedangkan dinas pendidikan sudah terdesentralisasi sehingga mengikuti otonomi daerah. Hal ini akhirnya membuat Direktorat Madrasah memutuskan membuat ajang kompetisi sendiri.

Ternyata kompetisi yang mulai digelar tahun 2013 ini mendapat respon luar biasa. “Dan yang membuat saya trenyuh, anak madrasah dari seluruh negeri kumpul. Bukan semata-mata hanya bertanding merebut gelar juara. Mereka bisa mempromosikan budaya mereka, yang dari Papua dan dari daerah lain,” katanya.

Keberadaan kompetisi ini membuat madrasah swasta, yang dulu hampir tidak mungkin ikut OSN, kini kembali bersemangat. Ia mengamati, dari perolehan medali di Malang tahun 2013 lalu, yang mendominasi adalah Jawa Timur dan Jawa, sesuatu yang wajar karena 60 persen madrasah ada di Jawa. Tetapi dalam KSM di Makassar (2014) dan di Palembang (2015) yang menjadi juara sudah mulai menyebar.

“Mereka tidak mungkin tanpa persiapan. Madrasah swasta dengan dana seadanya, ada yang menggunakan dan BOS, ada yang menggunakan iuran, mereka betul-betul menyiapkan diri agar lolos di kabupaten kota, lolos di propinsi dan kemudian mewakili propinsinya,” paparnya.

Nur Kholis menambahkan, prestasi siswa madrasah bahkan unggul dan mendominasi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja I(LKIR) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2015, suatu fenomena mengejutkan yang tak diduga sebelumnya.

Ia sebenarnya tak heran atas prestasi siswa madrasah ini karena sebelumnya pada 2013, sudah dilaunching Program Madrasah Riset Nasional di Lombok.

“Dampaknya, ada geliat untuk melakukan riset,” tandasnya.

Untuk mendorong tradisi  riset, Direktorat Madrasah juga mempromosikan kesuksesan sekolah yang berhasil melakukan riset seperti MTsN 2 Kediri yang memiliki 8 hasil riset yang dipatenkan sama Kementerian Hukum dan HAM. Tentu menjadi sebuah kebanggaan, siswa tsanawiyah sudah mampu melakukan riset yang hasilnya dipatenkan.

Ia lalu mengajak kepala sekolah yang berhasil itu untuk menyampaikan kisah suksesnya ke sekolah lain. Hal ini merupakan apresiasi bagi kepala sekolah dan timnya, sekaligus mendorong sekolah lain untuk ikut berprestasi karena mereka akan tertantang untuk bisa meraih kesuksesan yang sama. Ini berbeda jika yang menjadi narasumber dari LIPI atau perguruan tinggi.

Upaya lain yang dilakukan untuk menumbuhkan kebanggaan siswa madrasah adalah pemberian beasiswa S1 ke Jepang. Saat ini ada 20 orang alumni Insan Cendikia Serpong yang mendapat beasiswa studi ke Jepang, sementara Kemenag hanya menanggung biaya hidupnya saja.

“Engatase, anak alumni madrasah. Mungkin kalau 10 tahun yang lalu tidak mungkin. Kemudian bisa S1, gratis di Jepang. Lha yang kayak gini harus saya tonjolkan,” tandasnya.

Yang menjadi harapannya saat ini adalah peningkatan apresiasi negara terhadap guru-guru madrasah yang berprestasi. Mereka sudah membaktikan hidupnya untuk dunia pendidikan dan jika ada apresiasi, semakin banyak orang yang memiliki semangat untuk mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.

Wallahu a’lam

Sumber : NU Online

Tinggalkan Balasan