Ditemukan, Lokasi Situs Pesantren Lasem di Warugunung

0
332
Ditemukan, Lokasi Situs Pesantren Lasem di Warugunung
Di pusat kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang dikenal dengan sebutan “Kota Santri” berdiri puluhan pondok pesantren di pusat kota Lasem seperti Pesantren Al-Hidayat, Pesantren Al-Hamidiyah, Pesantren An-Nuriyah, Pesantren Kauman Karangturi, Pesantren Al-Wahdah, Pesantren Al-Fachriyah, Pesantren Nailun Najah, dan banyak lagi, termasuk Pesantren As-Sholatiyah meski agak ke pinggir.

Padepokan Sambua yang telah melakukan penelusuran babad, buku silsilah, wawancara dan turun lapangan menemukan salah satu lokasi bekas pesantren di pedalaman Lasem tepatnya di Pedukuhan Punjulsari, Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, sebagaimana disebut-sebut dalam Babad Lasem. Dengan perjalanan kaki tim Padepokan Sambua, Abdullah bersama KH Zainul Aripin Pengasuh Pesantren Fakhriyah, 28 Januari 2016, menaiki Gunung Punjul sejauh kurang lebih 1,5 kilometer.

Berdasarkan rilis yang diterima NU Online, di atas gunung tersebut Padepokan Sambua menemukan setidaknya tiga titik situs dalam satu area berupa:

Pertama, Batu Besar Mujahadah, dengan lebar kurang lebih 1 meter, panjang 165 centimeter, tebal 20 centimeter, berat 5 ton, bentuk lempengan yang lebih menyerupai sajadah di bawah pohon meh atau trembesi. Situs ini ada di puncak gunung bertebing sebelah timur kota Lasem dengan jarak  kurang lebih 3 kilometer. Dengan menghadap kiblat, dari tempat ini pusat kota pun dapat terlihat, tampak lurus ke arah Masjid Jami’ Lasem. Tempat tersebut dipercaya dulu menjadi tempat mujahadah atau pasujudan Mbah Sholeh alias Raden Tirtowidjojo, hidup pada akhir abad ke-17, makamnya di Kompleks Masjid Jami’ Lasem. Di antara keturunannya adalah Bani Shiddiq Jember seperti KH Agus Afthon Syuriah PCNU Jember, Gus Firjon putra KH Ahmad Shiddiq mantan Rais ‘Aam PBNU termasuk keluarga Kiai Hamid Pasuruan bersama keluarga Bani Sholeh Lasem yang beberapa tahun sekali napak tilas menuju area situs ini diikuti sedikitnya 50 keturunannya yang medannya cukup berat..

Kedia, naik sekitar 150 meter dari kaki gunung terdapat bekas tembok bangunan pesantren dan tempat tinggal. Terahir ditempati oleh Mbah Shiddiq bin KH Abdullah bin Mbah Sholeh dikenal berdomisili di Warugunung. Ada adagium dimana ada orang alim atau tempat ilmu, di situ banyak orang datang mencari ilmu, berdiri pesantren, meskipun bentuknya sederhana. Pepatah Latin menyatakan “Ubi societas ibi justicia”, artinya di mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (peradaban). Selanjutnya Mbah Shiddiq tinggal di PP Al Fachriyyah Sumbergirang Lasem, kemudian hijrah babat alas berdakwah ke Jember dan wafat di sana pada tahun 1934.

Ketiga, naik sekitar 200 meter terdapat bekas bangunan tempat wudhu dan sumur tua, dipercaya bekas mushalla/masjid.

Babad Lasem menggambarkan lokasi perlawanan Adipati Lasem Tejokusuma III terhadap VOC jauh dari pusat kota Lasem sekarang, juga ada kawasan pesantren, tepatnya di Desa Warugunung yang disebutkan sekilas sebagai berikut:

“….Pangeran Wingit/Panembahan Kajoran klakon katukup ing musuh, kacekel aneng pangungsen ing Desa Criwik.. Dilorobake dening kancane tunggal sapaguron ngaji yukuwi Kiai Ambyah guru pesantren ing Warugunung, kang negelake sanak, kemelikan oleh ganjarane  Sn.Amangkurat II nggenteni Adipati Pr.Tejakusuma III diparingi jeneng Puspayuda apangkat Tumenggung…”.

Arti bebasnya sebagai berikut: Pada masa Adipati Tejokukusumo III tersebut terjadi perang besar Lasem melawan VOC pada tahun 1679 M. Pesantren di Lasem menjadi salah satu pusat pendidikan yang melahirkan pejuang Lasem yang berasal dari kalangan biasa dan bangsawan sebagaimana disebutkan di babad tersebut, seperti Raden Wingit kakak Adipati Lasem III, pernah menjadi Senopati Mataram atau dikenal Panembahan Rama atau Pangeran Kajoran, mertua Trunojoyo. Beliau tertangkap Belanda atas laporan Kiai Ambyah teman mengaji seperguruan tunggal guru selama di pesantren yang disayangkan berkhianat. Sehingga Raden Wingit dihukum pancung di Alun-alun Toelis dan dimakamkan oleh pengikutnya secara diam-diam di Bukit Mentoro Desa Sendang Coyo Lasem. Babad Lasem kemudian menyebut ” RM Wingit kuwi panggalihe jujur banget, mula disuyudi lan diajeni banget dening para Kawula ing Lasem lan ing Mataram saengga katelah asma Panembahan Rama”. Pada tahun itu Lasem bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan m
onopoli perdagangan di pesisir pantai utara Jawa. Peperangan berlangsung lama dan berlarut-larut menimbulkan korban dan kebencian warga Lasem

Melihat tahun dan masa Adipati Lasem III diperkirakan saat itu pengasuh di salah satu pesantren besar di kawasan situs Warugunung adalah ayah dari Mbah Sholeh yang bernama KH Asy’ari alias Raden Pangeran Asri bin KH Muhammad Adzro’i alias Raden Barda’i bin KH Yusuf alias Raden Yusuf bin Mbah Sambu atau Pangeran Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban Masjid Jami Lasem. Raden Asri dengan gelar kebangsawanan melekat masih keluarga Raden Wingit tidak diketahui makamnya, kemungkinan gugur. Sedangkan KH Abdullah cucu Mbah Asy’ari wafat dikabarkan dimakamkan di  Laut Merah, mungkin karena sakit waktu pulang haji naik kapal laut milik maskapai pelayaran Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian apakah ada korelasinya? Di masyarakat  Warugunung berkembang  kisah turun temurun tentang misteri Mbah Dul ulama besar dari Desa Warugunung yang konon meningal dunia karena dibunuh Belanda, namun sayang  belum ada yang mengetahui kisah selengkapnya Mbah Dul yang mana, dibunuh di mana, dan makamnya di sebelah mana. Wallahua’lam.  Adapun Kiai Yusuf makamnya di Desa Tuyuhan 5 kilometer dari pusat kota Lasem, desa tersebut juga merupakan kawasan pesantren kuno yang cukup besar dan ramai pada zamannya, didirikan oleh Mbah Jumali bin Mbah Sambu.

Kawasan pesantren kuno di Warugunung sekarang hanya dapat disaksikan berupa bekas bangunannya sebagaimana situs yang ditemukan tersebut,.kemungkinan oleh sebab 3 hal, pertama diisolasi atau dihancurkan Belanda namun tidak sampai rata, kedua di masa damai ditinggalkan lama sampai bangunannya rusak dengan sendirinya, kemudian turun gunung mendirikan pesantren di pusat kota Lasem yang ramai penduduknya yang dapat kita saksikan sekarang ini bertebaran dan ada juga yang di luar Lasem. Ketiga, pesantren kecil ditinggalkan santrinya, kemudian mereka berpindah pesantren, contoh pesantren kecil di Warugunung, diantara guru pesantren atau ustadznya bernama Kiai Ambyah,  pesantrennya tidak ada lagi tidak berbekas sama sekali.

Di Warugunung juga terdapat makam muslim Oey Ing Kiat, keturunan Tionghoa. Di medan perang ia gugur dan meninggalkan pesan agar jasadnya dikubur di lereng puncak Gunung Bugel dan menghadap barat. Jenazahnya dibawa ke Warugunung di rumah istrinya untuk dimandikan dibersihkan dulu dan dimakamkan. Terjadi pada tahun 1750 kembali Lasem pecah perang besar melawan Belanda dipimpin RP Margono putra Tejokusumo V dan Kiai Ali Baidlowi, dibantu Oey Ing Kiat yang dicabut kedudukannya sebagai  Adipati Lasem yang disandang sejak tahun 1727 bergelar Tumenggung Widyaningrat, oleh VOC Belanda ia hanya diberi kekuasaan mengatur orang Tionghoa Lasem dengan pangkat Mayor. Oey Ing Kiat adalah keturunan Bi Nang Oen, salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen seorang pujangga dari Campa dan penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad ke XV.

Kini masyarakat yang mendiami Warugunung mulai padat, umumnya Muslim yang taat. Di sana sekarang cukup banyak musholla dan lembaga pendidikan Islam. Akhirnya lambat laun perkembangan kebudayaan dan syiar Islam merata di seluruh Kadipaten Lasem (sekarang Kecamatan Lasem dan sekitarnya). (Red: Mahbib)

Ditemukan, Lokasi Situs Pesantren Lasem di Warugunung

Foto: Situs Islam Warugunung Lasem
Di pusat kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang dikenal dengan sebutan “Kota Santri” berdiri puluhan pondok pesantren di pusat kota Lasem seperti Pesantren Al-Hidayat, Pesantren Al-Hamidiyah, Pesantren An-Nuriyah, Pesantren Kauman Karangturi, Pesantren Al-Wahdah, Pesantren Al-Fachriyah, Pesantren Nailun Najah, dan banyak lagi, termasuk Pesantren As-Sholatiyah meski agak ke pinggir.

Padepokan Sambua yang telah melakukan penelusuran babad, buku silsilah, wawancara dan turun lapangan menemukan salah satu lokasi bekas pesantren di pedalaman Lasem tepatnya di Pedukuhan Punjulsari, Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, sebagaimana disebut-sebut dalam Babad Lasem. Dengan perjalanan kaki tim Padepokan Sambua, Abdullah bersama KH Zainul Aripin Pengasuh Pesantren Fakhriyah, 28 Januari 2016, menaiki Gunung Punjul sejauh kurang lebih 1,5 kilometer.

Berdasarkan rilis yang diterima NU Online, di atas gunung tersebut Padepokan Sambua menemukan setidaknya tiga titik situs dalam satu area berupa:

Pertama, Batu Besar Mujahadah, dengan lebar kurang lebih 1 meter, panjang 165 centimeter, tebal 20 centimeter, berat 5 ton, bentuk lempengan yang lebih menyerupai sajadah di bawah pohon meh atau trembesi. Situs ini ada di puncak gunung bertebing sebelah timur kota Lasem dengan jarak  kurang lebih 3 kilometer. Dengan menghadap kiblat, dari tempat ini pusat kota pun dapat terlihat, tampak lurus ke arah Masjid Jami’ Lasem. Tempat tersebut dipercaya dulu menjadi tempat mujahadah atau pasujudan Mbah Sholeh alias Raden Tirtowidjojo, hidup pada akhir abad ke-17, makamnya di Kompleks Masjid Jami’ Lasem. Di antara keturunannya adalah Bani Shiddiq Jember seperti KH Agus Afthon Syuriah PCNU Jember, Gus Firjon putra KH Ahmad Shiddiq mantan Rais ‘Aam PBNU termasuk keluarga Kiai Hamid Pasuruan bersama keluarga Bani Sholeh Lasem yang beberapa tahun sekali napak tilas menuju area situs ini diikuti sedikitnya 50 keturunannya yang medannya cukup berat..

Kedia, naik sekitar 150 meter dari kaki gunung terdapat bekas tembok bangunan pesantren dan tempat tinggal. Terahir ditempati oleh Mbah Shiddiq bin KH Abdullah bin Mbah Sholeh dikenal berdomisili di Warugunung. Ada adagium dimana ada orang alim atau tempat ilmu, di situ banyak orang datang mencari ilmu, berdiri pesantren, meskipun bentuknya sederhana. Pepatah Latin menyatakan “Ubi societas ibi justicia”, artinya di mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (peradaban). Selanjutnya Mbah Shiddiq tinggal di PP Al Fachriyyah Sumbergirang Lasem, kemudian hijrah babat alas berdakwah ke Jember dan wafat di sana pada tahun 1934.

Ketiga, naik sekitar 200 meter terdapat bekas bangunan tempat wudhu dan sumur tua, dipercaya bekas mushalla/masjid.

Babad Lasem menggambarkan lokasi perlawanan Adipati Lasem Tejokusuma III terhadap VOC jauh dari pusat kota Lasem sekarang, juga ada kawasan pesantren, tepatnya di Desa Warugunung yang disebutkan sekilas sebagai berikut:

“….Pangeran Wingit/Panembahan Kajoran klakon katukup ing musuh, kacekel aneng pangungsen ing Desa Criwik.. Dilorobake dening kancane tunggal sapaguron ngaji yukuwi Kiai Ambyah guru pesantren ing Warugunung, kang negelake sanak, kemelikan oleh ganjarane  Sn.Amangkurat II nggenteni Adipati Pr.Tejakusuma III diparingi jeneng Puspayuda apangkat Tumenggung…”.

Arti bebasnya sebagai berikut: Pada masa Adipati Tejokukusumo III tersebut terjadi perang besar Lasem melawan VOC pada tahun 1679 M. Pesantren di Lasem menjadi salah satu pusat pendidikan yang melahirkan pejuang Lasem yang berasal dari kalangan biasa dan bangsawan sebagaimana disebutkan di babad tersebut, seperti Raden Wingit kakak Adipati Lasem III, pernah menjadi Senopati Mataram atau dikenal Panembahan Rama atau Pangeran Kajoran, mertua Trunojoyo. Beliau tertangkap Belanda atas laporan Kiai Ambyah teman mengaji seperguruan tunggal guru selama di pesantren yang disayangkan berkhianat. Sehingga Raden Wingit dihukum pancung di Alun-alun Toelis dan dimakamkan oleh pengikutnya secara diam-diam di Bukit Mentoro Desa Sendang Coyo Lasem. Babad Lasem kemudian menyebut ” RM Wingit kuwi panggalihe jujur banget, mula disuyudi lan diajeni banget dening para Kawula ing Lasem lan ing Mataram saengga katelah asma Panembahan Rama”. Pada tahun itu Lasem bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan m
onopoli perdagangan di pesisir pantai utara Jawa. Peperangan berlangsung lama dan berlarut-larut menimbulkan korban dan kebencian warga Lasem

Melihat tahun dan masa Adipati Lasem III diperkirakan saat itu pengasuh di salah satu pesantren besar di kawasan situs Warugunung adalah ayah dari Mbah Sholeh yang bernama KH Asy’ari alias Raden Pangeran Asri bin KH Muhammad Adzro’i alias Raden Barda’i bin KH Yusuf alias Raden Yusuf bin Mbah Sambu atau Pangeran Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban Masjid Jami Lasem. Raden Asri dengan gelar kebangsawanan melekat masih keluarga Raden Wingit tidak diketahui makamnya, kemungkinan gugur. Sedangkan KH Abdullah cucu Mbah Asy’ari wafat dikabarkan dimakamkan di  Laut Merah, mungkin karena sakit waktu pulang haji naik kapal laut milik maskapai pelayaran Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian apakah ada korelasinya? Di masyarakat  Warugunung berkembang  kisah turun temurun tentang misteri Mbah Dul ulama besar dari Desa Warugunung yang konon meningal dunia karena dibunuh Belanda, namun sayang  belum ada yang mengetahui kisah selengkapnya Mbah Dul yang mana, dibunuh di mana, dan makamnya di sebelah mana. Wallahua’lam.  Adapun Kiai Yusuf makamnya di Desa Tuyuhan 5 kilometer dari pusat kota Lasem, desa tersebut juga merupakan kawasan pesantren kuno yang cukup besar dan ramai pada zamannya, didirikan oleh Mbah Jumali bin Mbah Sambu.

Kawasan pesantren kuno di Warugunung sekarang hanya dapat disaksikan berupa bekas bangunannya sebagaimana situs yang ditemukan tersebut,.kemungkinan oleh sebab 3 hal, pertama diisolasi atau dihancurkan Belanda namun tidak sampai rata, kedua di masa damai ditinggalkan lama sampai bangunannya rusak dengan sendirinya, kemudian turun gunung mendirikan pesantren di pusat kota Lasem yang ramai penduduknya yang dapat kita saksikan sekarang ini bertebaran dan ada juga yang di luar Lasem. Ketiga, pesantren kecil ditinggalkan santrinya, kemudian mereka berpindah pesantren, contoh pesantren kecil di Warugunung, diantara guru pesantren atau ustadznya bernama Kiai Ambyah,  pesantrennya tidak ada lagi tidak berbekas sama sekali.

Di Warugunung juga terdapat makam muslim Oey Ing Kiat, keturunan Tionghoa. Di medan perang ia gugur dan meninggalkan pesan agar jasadnya dikubur di lereng puncak Gunung Bugel dan menghadap barat. Jenazahnya dibawa ke Warugunung di rumah istrinya untuk dimandikan dibersihkan dulu dan dimakamkan. Terjadi pada tahun 1750 kembali Lasem pecah perang besar melawan Belanda dipimpin RP Margono putra Tejokusumo V dan Kiai Ali Baidlowi, dibantu Oey Ing Kiat yang dicabut kedudukannya sebagai  Adipati Lasem yang disandang sejak tahun 1727 bergelar Tumenggung Widyaningrat, oleh VOC Belanda ia hanya diberi kekuasaan mengatur orang Tionghoa Lasem dengan pangkat Mayor. Oey Ing Kiat adalah keturunan Bi Nang Oen, salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen seorang pujangga dari Campa dan penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad ke XV.

Kini masyarakat yang mendiami Warugunung mulai padat, umumnya Muslim yang taat. Di sana sekarang cukup banyak musholla dan lembaga pendidikan Islam. Akhirnya lambat laun perkembangan kebudayaan dan syiar Islam merata di seluruh Kadipaten Lasem (sekarang Kecamatan Lasem dan sekitarnya). (Red: Mahbib)

Sumber : Nu Online

Tinggalkan Balasan