Cinta Yang Halal Sudah Basi

0
1059

Wahai perempuan

Ketika ada seseorang mengungkapkan cintanya

Kau yakin dia memiliki niat baik padamu

Dan hatimu pun berkehendak

Maka jawablah dengan,

“Aku terima cintamu di KUA”

 

Cinta dan niat baik

Cinta tanpa niat baik (hendak menikah) akan lebih rawan terperangkap pada perbuatan maksiat. Karena batas antara cinta dan nafsu birahi bagi dua insan yang saling mencintai sangatlah tipis, sehingga pernikahan adalah solusi tepat untuk mengobatinya.

Cinta tanpa niat baik, hanya akan mendapatkan penyesalan. Karena cinta yang seperti ini lebih suka mempermainkan, dari pada serius. Sementara cinta yang didasari niat baik, akan meraih keindahan cinta yang abadi.

Cinta yang didasari niat baik akan mendapatkan pengabulan dari apa yang diharapkan. Sementara cinta yang tak didasari niat baik tak akan pernah mendapatkan harapan. Harapan dalam cinta adalah hidup bersama selamanya. Jadi, jika ada seseorang menjalani cinta tanpa ada niatan baik (menikah) itu sama saja melangkah di jalan tanpa ada tujuan.

Siapakah yang ingin menjalani cinta tanpa ada harapan untuk bersama salamanya, dengan niat akan menikahi orang yang dicintai? Saya yakin semuanya menaruh harapan itu, kecuali orang yang hanya ingin mempermainkan cinta, atau dengan bahasa yang agak kasar, kecuali orang yang hanya melampiaskan nafsu birahinya, atau dengan bahasa yang lebih sinis, kecuali orang yang ingin menjual harga dirinya. Na’udzubillah…

Ketika cinta diniatkan melanjutkan hingga majlis akad, sungguh sangat mulia. Begitulah jika cinta sudah menjadi halal. Namun, di Negara kita, dalam masalah pernikahan, terdapat dua hkum yang harus kita ikuti. Yaitu hukum positif (negara) dan hokum agama. Kedua hukum ini memiliki konsekwensi yang sangat berakibat, lebih-lebih dalam hukum agama. Artinya, di Negara kita tidak cukup cinta yang halal, tapi harus juga legal. Lalu, bagaimana pernikahan menurut hukum agama dan hukum positif?

 

Cinta tak cukup halal, tapi juga harus legal

Sesuai perkembangan zaman, kini negara telah mewajibkan pencatatan nikah. Pernikahan yang hanya berpijak pada ketentun konsep fiqh itu dianggap tidak sah secara hukum negara atau dengan kata lain pelaksanaan nikah yang tidak mengikuti aturan negara itu dianggap ilegal. Pernikahan tanpa dicatat di lembaga negara diistilahkan nikah sirri. Konsekwensi nikah sirri tersebut dikenai sanksi dan anak keturunannya tidak diakui sebagai warga negara. Dengan demikian anak keturunannya tidak memiliki hak sebagai warga Negara, semisal tidak bisa menjalani pendidikam di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kekuasaan negara.

Oleh sebab itu, negara menyediakan sarana untuk melakukan pencatatan nikah yang dinamakan Kantor Urusan Agama (KUA). Kantor Urusan Agama merupakan lembaga yang memadukan dua konsep dalam melaksanakan akad nikah. Pertama, konsep fiqh sebagai konsep yang memenuhi aturan hukum Islam. Kedua, konsep negara sebagai konsep yang memenuhi aturan hukum negara.

Kantor Urusan Agama merupakan lembaga yang memiliki salah satu wewenang untuk menangani pencatatan nikah. Pncatatan nikah yang saat ini belum merata, menuntut KUA agar lebih serius mendata masyarakat yang melakukan akad nikah. Ketidakmerataan ini dipicu oleh ketidaktegasan perintah hukum mencatat nikah.

Berbicara tentang pencatatan nikah, kita mesti menyinggung masalah pernikahan sirri. Sebab, selama ini ada anggapan bahwa yang dimaksud nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatat. Oleh karena itu, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan nikah sirri berikut dengan hukumnya.

Dalam mendefinisikan nikah sirri itu apa, ulama sudah mulai berselisih pendapat. Menurut Yahya Bin Yahya (Ulama’ dari kalangan Malikiyah), nikah sirri adalah “Nikah yang tidak dipersaksikan oleh dua orang saksi sebelum digauli (dukhul)”[1].

Lain lagi dengan Al Baji, beliau mendefinisikan nikah sirri adalah nikah yang terjadi, dimana suami istri dan wali sepakat menyembunyikan pernikahan itu dan tidak mempersaksikannya (mengekspose)”[2].

Sementara Dr. Wahbah Azzuhaili menulis, bahwa nikah sirri adalah nikah, dimana suami berpesan kepada saksi agar pernikahannya tidak diberitahukan kepada istrinya atau kepada orang lain, walaupun keluarga sendiri”[3].

Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud oleh fiqh dengan nikah sirri adalah pernikahan yang disembunyikan dari pengetahuan halayak ramai. Paling banter, yang mengetahui pernikahan itu hanya empat pihak : suami, wali, saksi dan istri. Orang lain tidak tahu. Dan memang keempat pihak ini (atau kurang) sepakat untuk menyembunyikan pernikahan itu.

Dengan demikian, ketika pernikahan itu telah tersebar dan diketahui oleh lebih dari empat pihak ini, sudah tidak bisa dikatakan nikah sirri lagi. Jadi, ukurannya bukan pada pencatatan nikah, tetapi pada pengetahuan khalayak ramai.

Selanjutnya, ulama’ berselisih pendapat memandang hukum nikah sirri ini (dalam pengertian fiqh). Menurut Malikiyah, nikah sirri tidak sah (batal) karena ia termasuk karakteristik zina. Tetapi menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah, nikah sirri dipandang sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri adalah makruh[4].

Alasan lain yang dijadikan dasar Malikiyah sehingga membatalkan nikah sirri adalah, ketika saksi nikah menyembunyikan persaksiannya, maka itu tidak bisa dikatakan i’lan. Sementara i’lan itu sendiri wajib hukumnya sebagaimana keterangan sabda Nabi:

أَعْلِنُوْا هَذاَالنِّكَاحَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفُوْفِ

Umumkanlah pernikahan ini dan pukulkanlah atas pernikahan itu (untuk memberi tahu) dengan………”

Umar berkata, ini merupakan hadits berkenaan dengan larangan nikah sirri. Menurutnya, bila pernikahan sirri ini diketahui, maka bisa diajukan ke pengadilan dan pelakunya dapat dihukum rajam[5].

Meskipun Malikiyah memandang nikah sirri sebagai pernikahan yang tidak sah, tetapi jika nikah sirri dilakukan karena takut terhadap orang dzalim atau qodli (hakim, undang-undang), Malikiyah pun memandang bahwa nikah sirri boleh-boleh saja dilakukan.

Mereka berargumen, sesungguhnya  nikah sirri adalah nikah yang di situ, suami berpesan kepada para saksi untuk tidak mengekspose pernikahan. Ini jika penyembunyian itu tidak dilakukan karena takut kepada orang dzalim atau qadli, tetapi, jika itu dilakukan karena takut kepada orang dzalim atau qadli, tidak apa-apa nikah sirri dilakukan.[6]

Sedangkan nikah sirri yang dipahami selama ini (konteks Indonesia), hukumnya sah. Sebab nikah sirri tersebut tidak sama dengan nikah sirri yang dibatalkan dalam konsep fikih. Nikah sirri yang dipahami di Indonesia telah memenuhi rukun dan syarat meski tak dicatatkan di KUA.

Dengan begitu, kekhawatiran sebagian kalangan yang menganggap bahwa  pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah dan batal, terbantahkan dan terjawab oleh penjelasan ini.

Namun demikian dihukumi sah, pencatatan nikah dalam kondisi sekarang sangat penting adanya. Pernikahan harus dibuatkan legalitas hukum formal dengan pembuatan akte nikah di pengadilan negeri.

Memang dalam nash syar’i tidak ada ketentuan nikah harus dicatatkan. Teks al-Quran dan al-hadits tidak menyinggung-nyeinggung masalah ini. Namun begitu, kita bisa mengambil ruh syari’at yang dinginkan oleh syari’. Dengan pola pandang seperti ini, hukum juga bisa didasarkan pada sebuah metodologi lain seperti kemaslahatan umat (public interest) dan adat kebiasaan (al-adat / al-‘urf).

Tentunya, hukum yang didasarkan pada teks-teks suci memiliki karakteristik berbeda dengan produks hukum yang lahir melalui public interest dan al-‘urf. Kalau hukum yang terkonstruks melalui nash cenderung konstan, akan tetapi berbeda dengan produks hukum yang disandarkan pada al-‘urf atau al-‘adat yang cenderung elastis (murunah) tergantung perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dalam sebuah kaedah fikih disebutkan :

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكاَمِ بِتَغُيُّرِ اْلأَزْمَانِ

“Tak dapat dipungkiri bahwa perubahan era dapat mempengaruhi perubahan hukum”.[7]

Dalam catatan al-Zarqa’ disebutkan bahwa, faktor yang mempengaruhi perubahan zaman/era adalah kebejatan dan perkembangan (al-fasad wa al-tathawwur), seperti kebejatan moral, tidak dipedulikannya etika-etika, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya.[8]

Contoh hukum-hukum yang berubah karena pertimbangan maslahat (interest) itu sangat banyak. Antara lain, dulu ulama’ memutuskan bahwa, apabila seorang istri sudah menerima mahar, maka dia tidak boleh menolak ajakan suaminya untuk pergi kemana saja. Kemudian, ulama’ generasi berikutnya justru berpendapat sebaliknya. Sekalipun sang istri sudah menerima mahar, sang suami tidak dibenarkan memaksa istrinya untuk di bawa kemana saja (kecuali pada jalan benar). Perubahan keputusan hukum tersebut tidak lain untuk kemaslahatan sang istri. Sebab, ketika suami membawa pergi istrinya, terkadang berbuat seenaknya sendiri.[9]

Contoh lainnya ialah, dahulu di eranya pendiri madzhab terdapat sebuah keputusan bahwa, pemindahan kepemilikan -melalui jual beli atau lainnya- harus ditandai dengan serah terima barang secara simbolis dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Namun keputusan itu sudah tak berlaku lagi di era sekarang. Sebab, sudah ada alat prkatis untuk menyatakan kepemindahan pemilikan, seperti sertifikat tanah, nota pembelian dan sebagainya.[10]

Perubahan hukum yang disebabkan oleh perubahan era ini tidak bisa dikatakan menyalahi pendapat ulama’ sebelumnya. Pada hakikatnya keputusan mereka adalah tunggal, yang membuat beda hanyalah karena mereka hidup pada era yang berbeda. Al-Zarqa’ menambahkan bahwa seandainya para ulama’ salaf tersebut hidup di masa kita sekarang niscaya mereka akan memiliki kesimpulan yang sama.[11]

 

Mahslahah cinta yang legal

Berkenaan dengan perubahan hukum ini, ada baiknya kita renungkan sebuah ungkapan indah yang dipaparkan oleh Prof. Musthafa Ahmad al-Zarqa’ :

فَلَيْسُوْا فِى الْحَقِيْقَةِ مُخَالِفِيْنَ لِلسَّابِقِيْنَ مِنْ فُقَهَاءِ مَذْهَبِهِمْ , بَلْ لَوْ وَجَدَ اْلأَئِمَّةُ اْلأَوَّلُوْنَ فِي عَصْرِ اْلمُتَأَخِّرِيْنَ وَرَأَوْا اِخْتِلاَفَ الزَّمَانِ وَ اْلأَخْلاَقِ لَعَدَلُوْا إِلَى مَا قَالَ اْلمُتَأَخِّرُوْنَ.

“Bahwasanya, (di dalam memutuskan suatu persoalan yang sama) pada hakikatnya para ulama’ kontemporer tidaklah berbeda pendapat dengan para ulama’ pendahulunya. Bahkan, seandainya saja para ulama’ tempo dulu itu menututi zaman sekarang dan mereka menykasikan perubahan zaman dan moral, niscaya mereka akan memiliki kesimpulan hukum yang sama” (al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, II, 931)

Singkatnya, pertimbangan maslahat (interest) tidak hanya mengakibatkan hukum itu berubah, tapi juga sampai pada taraf melahirkan hukum baru, terutama pada kasus-kasus tertentu yang sebelumnya tidak ditemukan hukumnya, termasuk masalah pencatatan nikah yang belum tercover dalam kosep fikih klasik.

Nah, setelah kita tilik dari kaca mata ushul fikih-nya, kewajiban pencatatan nikah tersebut ternyata memang didasarkan pada kemaslahatan umat (public interest), yaitu demi menjaga stabilitas tatanan kekeluargaan (al-ahwal al-syahshiyah) dan sebagai tindakan preventif  (saddu al-dzari’ah) agar tidak terjadi pelecehan terhadap kaum wanita dan keturunannya. Apalagi, pelecehan akibat nikah di bawah tangan (nikah tak dicatat) ini sekarang kian meningkat. Seperti kasus pengguguran kandungan (aborsi), istri tidak mendapatkan pelayanan nafkah dan bahkan dibiarkan begitu saja.[12]

Dengan demikian, barangkali sudah semestinya pencatatan nikah itu diwajibkan, atau dengan kata lain nikah itu wajib dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Karena dengan akta nikah ini, diharapkan hak-hak dalam lingkungan rumah tangga lebih terjaga. Tidak lagi ada pelecehan ataupun penyelewengan dari kedua belah pihak. Sehingga impian keluarga harmonis akan terwujud.

Oleh sebab itu, bagi kaum perempuan, jika ada lelaki yang mengungkapkan cintanya dengan didasari niat baik, maka katakanlah pada lelaki itu, “aku terima cintamu di KUA”.


[1] Al Khurosy Ala Mukhtashar Sayyidil Khalil, Juz II, Hal 194.

[2] Syarhu al-Shaghir, Juz II, Hal 382.

[3] Wahbah al-Zuhaily, Opcit, Hal 71.

[4] Al Fiqh al-Islamy, Juz VII, Hal 71; Minahul Jalil Ala Syarhi Mukhtasharil Khalil, Juz III, Hal 301 ; Al Mizanul Kubro, Juz II, Hal 111.

[5] Bidayah al-Mujtahid, Juz I, Hal

[6] (Al Khurasyi Ala Mukhtashar Sayyidi Khalil, II, 194)

[7] Musthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm. Beirut : Dar al-Fikr, Jld 3, Cet. -13, 1968, Hal 924.

[8] Ibid, hal. 926 dan seterusnya.

[9] Op.Cit, hal. 928

[10] Ibid, hal.931

[11] Ibid, hal924

[12] Ilmu Ushul al-Fiqh Abdul Wahhab Khallaf, 85; al-Fatawa Mahmud Syaltut, 271; al-Madkhal ila al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kullliyah, 115

 

Tinggalkan Balasan