Perjokian n Nyontek dalam UN; Apa kata Fiqh?

0
1092

Pendidikan merupakan faktor utama untuk keuutuhan dan kemajuan sebuah bangsa. Sebuah  bangsa akan menjadi maju ketika pendidikannnya juga. Sebaliknya akan terjadi ketika pendidikan sudah lemah. Oleh karena sudah selayaknya kalau sebuah Negara terus meningkatkan tingkat kualitas pendidikannya.

Peningkatan sebuah pendidikan bisa dari berbagai segi. Semisal melengkapi sarana prasarana, management sekolah yang baik, termasuk juga mencari format yang bagus untuk melakukan evaluasi. Sedangkan di Indonesia evaluasi akhir, sekaligus sebagai penentu kelulusan untuk sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat pertama ditangani langsung oleh pemerintah, bukan sekolah atau guru. Dalam hal ini melalui program yang disebut UN.

UN ini dilakukan tak lain agar siswa yang lulus benar-benar memenuhi standart yang diinginkan. Oleh karenanya standart kelulusan terus diperbaiki, dengan harapan mutu lulusan sekolah itu terus meningkat.

Sayangnya, apa yang menjadi tujuan pemerintah, yakni mencetak anak bangsa yang cerdas-cerdas, kurang tercapai. Sebab ketika melihat apa yang terjadi dalam UN, bukannya mau mencetak anak bangsa yang cerdas, melainkan mau mencetak anak bangsa yang melakukan apa saja demi tercapainya keinginan, walaupun itu melanggar peraturan. Kita bisa lihat terjadi banyak kecurangan dalam UN.

Banyak bentuk kecurangan yang bisa kita lihat dalam UN, misalnya perjokian, pengawas dan peninjau tidak berfungsi, antar siswa kerjasama, dan lain sebagainya. Perjokian pun banyak variannya. Terkadang yang menjadi jokinya adalah siswa sendiri, guru, atau pihak ketiga.

Dalam pendistribusian jawabannya juga ada beberapa cara. Ada dengan diletakkan di sebuah tempat, yang di sana sudah terdapat orang lain yang menggandakan jawaban. Sehingga kalau ada siswa yang keluar dengan alasan mau ke belakang, dia langsung bisa mengambil jawaban tersebut, dan kemudian didistribusikan ke semua siswa yang ada di kelasnya.

Ada juga yang memanfaatkan fasilitas HP, walaupun HP sudah dilarang untuk dibawa kekelas. Tapi karena sudah ada kontrak antara sekolah dan pengawas, jadi bisa saja membawa HP ke kelas. Bahkan ada yang lebih berani lagi, yakni pihak sekolah dengan tenang menuliskan jawabannya di papan, jawaban tersebut dikerjakan oleh salah satu guru. Sedangkan pengawasnya sudah bisa diatasi, karena memang sudah ada rasa saling paham dengan kondisi yang ada. Ketika melihat fenomena tersebut, masihkah kita yakin bahwa UN akan membawa dampak baik bagi siswa?. Mari renungkan bersama-sama.

Penjelasan di atas merupakan hal buruk dalam UN. Selain hal itu, UN juga banyak menguburkan cita-cita anak bangsa. Banyak terjadi di daerah-daerah, siswa yang sangat ahli dalam bidang tertentu, bahkan pernah juara olimpiade, harus menangis karena ada salah satu materi UN yang tidak lulus. Padahal apa yang menjadi mareri UN belum tentu menjadi keahlian sang siswa. Kalau hanya memandang materi UN tersebut, harus diapakan keahlian siswa itu.

Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan bertanggung jawab akan hal ini. Memang pemerintah sudah memperbaiki beberapa hal terkait UN, misalnya agar tidak ada lagi kecurangan, pemerintah melibatkan pengawas independent dari pihak Perguruan Tinggi. Tapi hal itu juga masih belum maksimal.

Dari deskripsi di atas, ada beberapa pertanyaan yang terkait dengan fiqh muncul. Bagaimana fiqh memandang kasus perjokian, dengan bebagai fariannya itu?.

Sikap saling membantu merupakan prinsip dalam segala sendi kehidupan. Sebagai agama yang memiliki jargon rahmatan li al-alamin, Islam sangat menekankan sikap saling membantu atau tolong menolong. Dalam sebuah hadits digambarkan:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barang siapa meringankan beban dari berbagai beban kehidupan orang beriman, maka Allah akan meringankan beban di hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan pada orang yang tidak mampu, maka Allah akan memberi kemudahan baginya, baik di dunia maupun di akhirat. Barang siapa menutup (aib) orang Islam, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah itu akan menolong seorang hamba, selama hamba itu menolong saudara-saudaranya”. (HR. Muslim)

Hadits tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa memberikan pertolongan pada orang lain akan memberikan keuntungan. Tidak akan rugi memberikan pertolongan pada orang lain. Sebab Allah sebagai pencipta, akan membalas perbuatan baiknya itu dengan memberikan pertolongan juga. Ini dengan jelas tertera pada akhir hadits tersebut, “Allah akan menolong hambanya, selama si hamba itu menolong saudaranya”.

Berbagai bentuk kewajiban dan anjuran juga banyak didasarkan terhadap sikap saling tolong menolong. Seperti zakat (harta dan fitrah), shadaqah, kurban, hibah, qardh (memberikan hutang), dan lain sebagainya. Diantara sekian contoh tersebut zakat merupakan bentuk nyata dari anjuran islam untuk tolong menolong. Dengan zakat kaum fakir-miskin bisa melanjutkan hidup yang layak, serta melalui zakat lah tidak akan ada ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Begitu juga dengan zakat fitrah yang dilaksanakan ketika hari raya idul fitri. Hikmah dari perintah zakat fitrah itu tak lain adalah agar di hari yang penuh kebahagian itu tidak ada lagi masyarakat yang masih susah gara-gara tidak mempunyai makanan. Kasihan kalau di saat yang lain berdorak gembira karena telah bisa menyelesaikan puasa ramadhan—walaupun belum tentu puasanya diterima—ada sebagian masyarakat bersedih. Jadi sudah selayaknya ada kewajiban zakat fitrah.

Bahkan anjuran untuk menolong bukan hanya tertentu pada manusia. Allah juga menganjurkan untuk menolong hewan, hal ini bisa dibuktikan dengan apa yang disampaikan  nabi berikut ini,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى ، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ، فَسَقَى الْكَلْبَ ، فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ  . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا . فَقَالَ: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Saat seseorang melakukan perjalanan, dia haus, lalu menemukan sebuah sumur. Langsung saja dia turun ke sumur itu dan minum kemudian naik lagi. Tiba-tiba ada seekor anjing menjulur-julurkan lidahnya sambil memakan tanah yang masih basah, karena sangat haus. Lalu seseorang itu berkata, ‘Sungguh sangat haus anjing ini, sama dengan apa yang terjadi padaku’. Kemudian dia turun lagi ke sumur itu dan memenuhi sepatunya dengan air  serat memegangantya menggunakan mulut, sehingga dia naik. Selanjutnya dia memberi minum anjing itu dan bersyuku pada Allah. Kemudian Allah mengampuni (dosa-dosanya). (para sahabat yang mendengar cerita itu) sontak bertanya, ‘Apakah (dalam memberi minum) hewan seperti ini ada pahalanya?’. Nabi bersabda, ‘Pada setiap hati yang masih basah ada pahala’. (HR. Bukhari-Muslim)

Secara jelas dinyatakan dalam sabda nabi tersebut bahwa ada orang yang diampuni dosanya hanya karena membantu memberi minum seekor anjing, hewan yang dianggap sebagai makhluk Allah yang perlu dijauhi. Pemahamannya, apalagi menolong manusia, yang memang tercipta sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Dengan begitu beraati Allah memang sangat menganjurkan sikap saling tolong menolong.

Akan tetapi tidak semua tolong menolong dianjurkan dalam Islam. Hanya tolong menolong dalam kebajikan saja yang dianjurkan. Sedangkan tolong menolong dalam kejelekan harus dihindari. Sebagaimana firman Allah,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Maidah: 02)

Pada ayat tersebut Allah hanya memerintahkan untuk tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Sementara dalam perbuatan dosa dan permusuhan Allah  melarangnya. Hal ini didasarkan karena pada dasarnya perbuatan dosa dan permusuhan harus dihindari, sehingga tolong menolongnya pun dilarang juga.

Kata dosa (الإثم) dalam ayat tersebut berbentuk umum, dengan adanya ال yang dalam konsep ushul fiqh termasuk sesuatu yang bisa menjadikan lafadh bermakna umum. Jadi kata kata لإثم  mencakup pada semua hal yang dianggap perbuatan dosa. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan al-alusi, beliau berpendapat bahwa kata itu mencakup pada semua perbuatan zhalim dan maksiat. Sedangkan menurut Ibnu Abbas kata itu bermakna meninggalkan apa yang diperintahkan dan melakukan apa yang harus dijauhi.

Kalau dikaitkan dengan masalah perjokian, maka sudah tanpak dalam perjokian itu ada unsur menolong orang lain. Namun apakah pertolongannya itu dalam kebaikan atau sebaliknya?. Kita bisa menentukan sendiri, apakah menolong mengerjakan ujian siswa atau memberikan jawaban pada siswa termasuk perbuatan baik atau buruk?.

Tentu, jawabannya bahwa hal itu termasuk dalam tolong menolong dalam kejelekan. Mengingat bahwa dengan perjokian, evaluasi tidak bisa berjalan dengan baik. Disamping lagi perjokian dilarang dalam aturan ujian. Sedangkan aturan yang ada itu harus ditepati.

Oleh karena itu, kesimpulan akhirnya, bahwa semua praktek perjokian itu haram, dengan berbagai variannya. Karena termasuk dalam kategori tolong menolong dalam kejelekan yang oleh Allah secara tegas dilarang. Apalagi kalau ini dilakukan dalam praktek ujian yang membatasi jumlah kelulusan. Sebab dengan perjokian itu akan menghilangkan hak orang yang seharusnya lulus, dan meluluskan orang yang tak layak lulus. Sehingga sudah seharusnya perjokian harus dihindari.


 

Tinggalkan Balasan