Kata “Syari’ah Islam”; Sering Didengar, Jarang Dikenal

0
416

Sebagai umat Islam, tak jarang di kalangan kita, tidak mengenal akan ajaran-ajaran kita sendiri. Kita lebih mementingkan mungenal yang lain, seolah ajaran-ajaran yang harus kita pahami terlebih dahulu, begitu saja diakhirkan, atau bahkan diabaikan. Sehingga, kita menjadi umat Islam hanya sekedar identitasnya saja, tidak sampai pada kualitas. Oleh sebab itu, perlu kita kenali terlebih dahulu tentang ajaran kita, yang disebut syari’ah, melalui tulisan sederhana ini.

  1. Pengertian Syari’ah

Kata syari’ah, secara etimologi, mempunyai banyak arti sesuai dengan ushlub kalimatnya itu sendiri. Seringkali syari’ah berarti “ketetapan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya”. Kadang-kadang juga berarti “jalan yang ditempuh oleh manusia atau jalan yang menuju ke air” atau berarti “jelas”.[1]

Dalam surah al-Jatsiyah ayat 18 disebutkan:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ الأَمْرِفَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian Kami jadikan engkau di atas perkara yang di-syari’atkan, maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”

 

Dari ayat tersebut setidaknya ada tiga tangkai pengertian yang dapat kita petik, yaitu: (a) Syari’ah itu datangnya dari Allah; (b) Syari’ah merupakan sesuatu yang harus diikuti; (c) Syari’ah tidaklah memperturutkan keinginan hawa nafsu.

Sementara secara terminologi, kebanyakan ulama’ mengartikan bahwa syari’ah adalah berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya yang dibawa oleh orang-orang tertentu yang Ia pilih sebagai utusan-Nya, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan tata cara manusia dalam melaksanakan aktivitasnya, yang pada gilirannya dikenal sebagai hukum fiqh, maupun berhubungan dengan cara-cara beri’tikad yang benar, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum I’tiqodiyah. Dalam definisi lain Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa syari’ah adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah  atau pokok-pokok yang digariskan Allah agar manusia bepegang kepadanya di dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam semesta serta dalam hubungannya dengan kehidupan.[2]

Namun demikian, ada satu hal penting yang mesti diperhatikan bahwa para ulama’ seringkali memberi pengertian yang berbeda dalam memaknai syari’ah. Ada yang menganggap syari’ah itu sama dengan fiqh, dan ada pula yang menganggap bahwa syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan pada dalil qat’i saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama. Dengan demikian, syari’ah bisa diartikan dengan arti luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit.

  1.  Karakteristik Syari’ah Islam

Syari’ah Islam memiliki ciri khas yang merupakan ketentuan- ketentuan yang tidak akan pernah berubah. Ciri khas tersebut antara lain:

  1. a.      Komprehensif

Syari’ah Islam membentuk umat dalam satu kesatuan yang bulat walaupun umat Islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Dalam menghadapi asas-asas yang umum, umat dalam segi-segi kebudayaan berbeda-beda.

  1. b.      Wasathiyah (Moderat)

Syari’ah Islam memenuhi jalan tengah, jalan yang imbang, tidak terlalu berat ke kanan dengan mementingkan dimensi ruhaniah, dan tidak pula berat ke kiri dengan mementingkan dimensi jasmaniah. Inilah yang diistilahkan dengan teori wasathiyah, yakni menyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita.[3]

  1. c.       Harakah (Dinamis)

Syari’ah Islam memiliki kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Syari’ah Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yaitu Islam yang memberikan kepada manusia sejumlah hukum positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.

  1. d.      Universal

Syari’ah Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa tertentu, melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang diemban oleh Rasulullah SAW. Syari’ah Islam diturunkan Allah untuk dijadikan pedoman hidup oleh seluruh umat manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, Syari’ah Islam bersifat universal untuk seluruh umat manusia di muka bumi serta dapat diberlakukan di setiap bangsa dan negara.

  1. e.       Elastis atau Fleksibel

Syari’ah Islam berisi disiplin-disiplin yang dibebankan kepada setiap individu. Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan dan berdosa bagi yang melanggarnya. Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun dalam keadaan tertentu terdapat rukhshoh atau keringanan. Hal ini menunjukkan bahwa Syari’ah Islam itu bersifat elastis, luwes, dan manusiawi.

  1. f.        Tidak memberatkan

Syari’ah Islam tidak membebani seseorang sampai melampaui kadar kemampuannya. Sebab sebagaimana diyakini bahwa manusia adalah makhluk dha’if (lemah). Maka sebagai agama yang penuh dengan kasih sayang, Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala sesuatu yang memberatkannya.[4]

  1. g.      Gradual (Berangsur-angsur)

Allah sebagai pembuat hukum adalah Maha bijaksana. Hukum yang diberikan kepada manusia secara psikologis sesuai dengan fitrahnya. Maka akan sangat sulit dilaksanakan bila hukum itu datang secara sekaligus. Oleh karena itu, Allah memberikannya secara bertahap atau berangsur-angsur, tidak sekaligus secara radikal dan revolusioner. Seperti dalam perintah untuk meninggalkan minuman keras, berjudi, poligami, dan yang lainnya.[5]

  1.  Tujuan Syari’ah Islam

Tujuan Allah dalam mensyari’atkan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia dengan memenuhi segala bentuk kebutuhan mereka, baik yang bersifat dlaruri, haaji, maupun tahsini,[6] sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui perintah dan larangan (taklif), yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.

Tujuan Syari’ah Islam perlu diketahui oleh seorang mujtahid[7] dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Lebih dari itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka me                                                                               ngetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial. Untuk dapat menangkap tujuan hukum yang terdapat dalam sumber hukum, maka diperlukan sebuah keterampilan ilmu Ushul Fiqh dengan berbagai spktrum kaidah yang terkandung di dalamnya, yang kemudian dari sini dapat diidentifikasi apa yang disebut dengan istilah Maqashid al-Syari’ah.

Pencarian para ahli Ushul Fiqh tersebut pada dasarnya bermuara pada upaya penemuan mashlahah dan menjadikannya sebagai pijakan dalam menetapkan suatu hukum untuk kasus tertentu yang secara eksplisit tidak disinggung dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mashlahah yang dimaksud dapat terwujud manakala lima pokok yang biasa disebut dengan Maqashid al-Syari’ah al-Khamsah dapat dilestarikan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah: memelihara kelestarian agama, jiwa (hidup), keturunan, intelektualitas (akal), dan harta. Dalam upaya mewujudkan mashlahah tersebut, para ulama’ fiqh mengklasifikasi tingkatan mashlahah ke dalam tiga kategori, yaitu:

  1. Dlaruriyyat, yaitu segala hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk menjaga kelestarian hidupnya, baik dalam ruang lingkup keagamaan maupun keduniaan, yang kemudian kita kenal dengan istilah kebutuhan primer.
  2. Hajiyyat, yaitu segala hal yang dapat digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya untuk menghindari kesukaran dan kesulitan dalam hidupnya, yang kemudian kita kenal dengan kebutuhan sekunder.
  3. Tahsiniyyat, yaitu beberapa hal yang dibutuhkan manusia dalam rangka meraih kenyamanan dalam hidupnya namun secara fungsional tidak terlalu vital. Artinya hanya sekedar kebutuhan tambahan yang seandainya tidak terpenuhi, tidaka akan sampai merusak kehidupan seseorang. Hal ini kemudian kita kenal dengan kebutuhan tersier.[8]

[1] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 01

[2] Ibid, hal. 02

[3] Hal ini tergambar di banyak tempat dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surah al-Baqarah ayat 143 berikut ini:

وَكَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً

Artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Komplek Percetakan al-Qur’an Khadim al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd, al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah, 1411 H,) hal. 36 

[4] Hal ini ditegaskan pula dalam al-Qur’an seperti dalam surah al-Baqarah ayat 286 berikut ini:

لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهاَ لَهاَ ماَ كَسَبَتْ وَعَلَيْهاَ ماَ اكْتَسَبَتْ

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (atas kejahatan) yang dikerjakannya.

Selain itu, dalam surah al-Haj ayat 78 juga ditegaskan:

وَماَ جَعَلَ عَلَيْكُمْ فىِ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: … dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ibid, hal. 72 dan 523)  

[5] Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M.Si., Studi Agama Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal. 154-157

[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushuli al-Fiqh, Daar al-Qalam, Kairo, 1978, hal. 197

[7] Mujtahid adalah seseorang yang mengerahkan seluruh kemampuan intelektualnya dengan merenungkan dalil-dalil syar’i untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syar’i yang terkandung dalam dalil-dalil tersebut. (Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qawa’id Asasiyah fi Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Malik al-Fahd al-Wathaniyah, Jeddah, 1419 H) hal. 97

[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Juz II, Dar al-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 35-36

 

Sumber Gambar: dinarislam.com

Tinggalkan Balasan