Kesalahan dalam Bershalawat

0
899

Shalawat pada nabi Muhammad bukan hal yang asing bagi orang Islam, karena shalawat ini sudah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam. Ini menunjukkan betapa bernilainya shalawat. Bahkan tidak hanya orang islam saja yang bershalawat, tapi juga Allah dan para Malaikat, tentunya dengan makna shalawat yang berbeda. Shalawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah istigfar, sementara dari manusia adalah doa.

Berkaitan dengan shalawat ini, secara tegas Allah menjelaskan melalui firmannya yang tercantum dalam Qur’an berikut ini,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya

Dalam ayat tersebut Allah secara tegas—dengan menggunakan kata perintah (صَلُّوا)—memerintahkan pada umat islam untuk bershalawat pada Nabi.

Hadits-hadits yang menunjukkan anjuran tentang shalawat pun banyak, di anataranya,

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Muslim)

أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلَاةً

“Paling utamanya manusia bagiku di hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku” (HR. Tirmidzi)

Dua hadits tersebut, walaupun tidak menggunakan bentuk anjuran secara tegas (tidak menggunakan bentuk perintah), tapi sudah mengandung anjuran karena dalam dua hadits tersebut dijelas fadhilah dari shalawat. Sehingga dengan demikian kita makin tahu keutamaan dari shalawat.

Paparan di atas ini pasti sudah maklum di telinga orang islam pada umumnya. Akan tetapi yang perlu didiskusikan kembali adalah tentang beberapa pemahaman atau praktek yang keliru tentang shalawat ini.

Pertama, Coba kita perhatikan kembali diri kita dan sekeliling kita. Misalnya ketika sedang mendengarkan ceramah agama, pasti si penceramah sering menyebutkan nama Nabi Muhammad yang disusul dengan bershalat pada beliau. Ada juga yang hanya menyebut nama nabi tanpa disusul dengan shalawat. Sedangkan para audien—yang mendengarkan ceramah—biasanya akan ikut bershalat juga ketika si penceramah menyebut nama nabi yang disusul dengan shalawat. Mereka tidak akan bershalawat kalau si penceramah hanya menyebut nama nabi, tanpa bershalawat. Apakah praktek ini benar?. Untuk menjawabnya, mari kita perhatikan beberapa hadits berikut,

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang pelit adalah orang yang ketika aku disebut dihadapanya dia tidak bershalawat padaku” (HR. Tirmidzi)

مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلْيُصَلِّ عَلَيَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barang siapa ketika disebutkan namaku dihadapannya, maka bershalawatlah. Karena barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Thabrani)

Dalam dua hadits ini disebutkan kata مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ (Barang siapa ketika disebutkan namaku dihadapannya). Kata ini menunjuk pada dua makna, yakni pada orang yang menyebut nama nabi dan pada orang yang mendengarkan nama nabi disebut. Dengan demikian, maka bagi orang yang mengucapkan nama nabi maka dianjurkan disertai dengan shalawat. Sedangkan bagi orang yang mendengarkan nama disebut, maka dianjurkan juga untuk bershalawat. Jadi tanpa perlu menunggu orang yang mengatakan nabi itu bershalawat lalu yang mendengarkan juga ikut bershalawat. Hal ini salah, karena nabi tidak menganjurkan bershalawat ketika ada shalawat diucapkan, melainkan ketika nama nabi disebutkan.

Oleh karena itu, untuk selanjutnya, mari kita biasakan bershalawat ketika nama nabi disebut, tanpa perlu menunggu orang yang mengucapkan nabi itu bershalawat atau tidak.

Kedua, ketika disebut nama nabi yang dilanjutkan dengan shalawat, banyak orang yang mendengarkan itu menjawab dengan kata صَلُّوا عَلَيْهِ. Apakah jawaban ini benar?. Apakah kata ini bisa dianggap sebagai? Bukankah kata ini sama dengan yang Allah gunakan dalam firman-Nya ketika menyuruh manusia untuk bershalawat. Untuk menjawab ini kita perlu mengkaji dari segi kaidah kebahasaan. Dalam ilmu nahwu, kata صَلُّوا merupakan fi’il amr (kata perintah) untuk jama’ (plural), sehingga ketika diartikan menjadi “Bershalawatlah kalian pada beliau”. Sekarang perhatikan terjemahan itu!. Siapa lalu yang dimaksud dengan kalian?. Apakah orang-orang yang ada disekitarnya. Kalau itu yang dimaksud, maka setiap orang menyuruh pada yang lain untuk bershalawat. Dalam arti di antara mereka saling menyuruh untuk bershalawat. Jika demikian maka lalu tidak ada yang bershalawat, yang ada hanya saling menyuruh bershalawat. Seandainya saja menggunakan bentuk perintah yang untuk tunggal, misalnya menggunakan kata صَلِّ, maka kata itu tepat karena yang mengucapkan itu memohon pada Allah  agar Nabi muhamad diberi rahmat. Sama dengan shalawat yang sering diucapkan اللهم صل على محمد, yakni sama-sama menggunakan kata amr untuk tunggal.

Oleh karena itu untuk selanjutnya jawaban salam kita harus dirubah, tidak lagi dengan menggunakan kata صَلُّوا عَلَيْهِ, melainkan menggunakan shalawat semisal اللهم صل على محمد, صلى الله على محمد, atau yang lainnya.

Berlandaskan uraian di atas, maka sudah selayaknya bagi kita sebagai umat islam untuk memperbaiki lagi amal ibadah kita, termasuk dalam hal bershalawat. Jangan sampai tujuan baik untuk bershalawat tidak tercapai hanya karena salah dalam memahami atau salah dalam isi shalawatnya.

sumber gambar: abufawaz.wordpress.com

Tinggalkan Balasan