Pada masa nabi Daud as. terdapatlah kekasih Allah bernama Luqman yang memiliki keistimewaan sehingga ia menjadi hamba yang beryukur. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam al-Qur`an. Alkisah Allah menganugrahkan “hikmah” kepada luqman yang menjadikannya sosok orang tua dan guru yang bijak:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنْ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (لقمان: 12)
”Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Besyukurlah kepada Allah dan barang sipa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman (31): 12)
Hikmah disini adalah ilmu, pemahaman dan keselarasan setiap perkataan dengan perbuatannya[1]. Luqman memiliki ilmu dan ia mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mengaplikasikan pada diri sendiri, ia berkata kepada anaknya dengan nada mengajak dan mendidik dengan penuh kasih sayang untuk bertauhid dan ancaman mempersekutukan Allah swt.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ ِلأَبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13)
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia menasihatinya: “wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman (31): 13)
Kata ya-izhuhu terambil dari kata wa’azh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. penyebutan kata ini sesudah kata dia berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan. Yakni tidak membentuk, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dan panggilan mesranya kepada anak. Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat kesaat, sebagaimana dipahami dari bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata ya’izhuhu[2].
Setelah mengajarkan tentang tauhid serta larangan menyekutukan Allah swt, Luqman kemudian mengajarkan tentang kekuasaan-Nya, bahwasannya Allah swt. Maha mengetahui atas segala apa yang kita perbuat dimuka bumi ini dan kelak pasti mendapatkan balasan yang setimpal.
يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُنْ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (لقمان: 16).
“Wahai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu karang atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya, sesungguhya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (QS. Luqman (31): 16)
Pada ayat ini, Luqman menjelaskan kepada anaknya tentang kedalaman ilmu Allah swt, dimana ketika itu anaknya mengajukan pertanyaan “andai aku melakukan suatu kesalahan yang tidak seorangpun tahu, apakah Allah mengetahui perbuatanku itu?” lalu Luqman menjawabnya dengan bahasa lebih umum, “wahai anakku sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan baik atau buruk walau seberat biji sawi dan berada, pada tempat yang paling tersembunyi misalnya dalam batu karang sekecil, sesempat dan sekokoh apapun batu itu, atau di langit yang demikian luas dan tinggi, atau didalam perut bumi yang sedemikian dalam di manapun keberadaannya niscaya Allah akan mendatangkannya lalu memperhitungkan dan memberinya balasan”.[3]
Setelah mengajarkan tauhid dan memantapkan jiwa putranya, Luqman mengajarkan tentang amal sholeh sebagai implementasi dari bertauhid kepada Allah.
يَابُنَيَّ أَقِمْ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنْ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ (لقمان: 17).
“Wahai anakku, laksanakanlah sholat dan perintahkanlah yang ma’ruf dan cegahlah dari kemungkaran dan bersabarlah apa yang menimpanya sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal – hal yang diutamakan.” (QS. Luqman (31): 17)
Nasihat Luqman diatas menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan amal-amal saleh yang puncaknya adalah taat kepada Allah dengan beribadah shalat. Setelah pada dirinya telah terpenuhi semua, barulah amal-amal kebajikan menyangkut orang lain yang tercermin dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar. Menyuruh mengerjakan ma’ruf, mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya.[4] Disisi lain membiasakan anak melaksanakan tuntunan ini menimbulkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial. Ma’ruf adalah “yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas “selama sejalan dengan al-khair, yaitu nilai-nilai Ilahi. Mungkar adalah sesuatu yang di nilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi[5].
Selanjutnya materi yang dijelaskan terhadap putranya adalah tentang akhlak:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: 19).
“Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalanmu dan launakkanlah suaramu seburuk – buruk sura ialah suara keledai.” (QS. Luqman (31): 18-19)
Nasihat Luqman kali ini berkaitan dengan akhlak dan sopan santun dalam berinteraksi dengan manusia. Materi pelajaran akidah, diselingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar tidak jenuh dengan satu materi tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan Demikian dapat ditarik beberapa kesimpulan yang dapat dipetik oleh orang tua atau guru dalam mendidik putra-putrinya:
- Tiga pokok ajaran yang harus diutamakan, yaitu Aqidah, Syariat dan Akhlak.
- Guru haruslah benar-benar memahami materi yang diajarkan
- Guru tidak hanya mentransfer ilmu pada siswa, namun ia juga mengaplikasikan dalam prilaku sehari-harinya
- Mengajar dengan penuh kesabaran dan ketelatenan serta bahasa yang mudah dipahami
- Pentingnya Penggunaan metode mengajar sehingga tidak membosankan dan menjenuhkan
- Mendo’akan muridnya
[1] Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas, jld. 1, hlm. 430
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 126-127
[3] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fathul Qodir li al-Syaukaniy, jld. 5, hlm. 489.
[4] Fakhruddin al-Rozi, Tafsir al-Fakhru al-Rozi, jld. 12, hlm. 272.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 137