Materi UN Sulit, Bertentangan dengan Hukum Islam

0
574

Sejak UN diterapkan pada tahun 2003, selalu menjadi perbincangan, baik dikalangan elit pendidikan, pejabat pemerintahan, para wakil rakyat yang sedang asik menikmati kursi empuk, dan juga oleh masyarakat luas. Memang diakui atau tidak, UN selalu menjadi hal yang layak dan menarik untuk diperbincangkan. Mengingat banyak kejadian-kejadian membuat orang melongoh melihatnya.

Pro-kontra setiap tahun pasti bermunculan. Bagi yang setuju dengan adanya UN, karena ingin melihat kemajuan kualiatas pendidikan di Indonesia. Mereka berfikir dengan adanya UN para siswa akan terpacu untuk terus belajar. Sehingga terbentuklah para siswa yang memiliki tingkat intelektual yang sangat tinggi.

Sedangkan bagi yang tidak setuju dengan adanya UN, memandang bahwa UN banyak mematahkan semangat para siswa yang mempunyai potensi di selain materi yang ada dalam UN. Kejadian seperti sudah sering terjadi, di mana siswa yang memiliki tingkat keahlian dalam bidang Fisika atau matematika tidak lulus gara-gara nilai pada ujian bahasa Indonesia atau Inggrisnya tidak memetuhi standart kelulusan.

Mereka juga memandang bahwa UN tidak mencerminkan keadilan. Sebab materi ujian disamaratakan di seluruh sekoalah yang ada di Indonesia ini. Padahal kualitas sekolah yang ada berbeda. Sekolah yang ada di pedalaman akan lebih memprihatinkan dari pada sekolah yang ada di kota. Mengingat bahwa sekolah yang ada di kota dilengkapi dengan fasilitas yang sangat memadai, kualitas guru pun terjamin.

Hal sebaliknya terajadi di desa-desa pedalaman, fasilitas sangat minim, guru pun tidak sebagus yang ada di sekolah kota. Ditambah lagi kondisi siswa yang terkadang masih belum punya minat belajar yang kuat. Jadi lengkap lah penderitaan yang ada di sekolah pedesaan.

Ketika hal itu terjadi, maka soal-soal UN bagi mereka sangatlah sulit. Mayoritas dari mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Hanya segelintir orang saja yang sanggup menyelesaikannya. Berarti kalau UN dipaksakan tentu sama halnya memberikan ujian pada siswa yang sudah bisa dipastikan ketidakmammpuannya.

Padahal di antara sekian soal dalam UN tersebut terkadang banyak yang belum diajarkan pada siswanya. Mengingat situasi dan kondisi yang ada. Sedangkan bagi sebagian orang, pelajaran yang belum diajarkan bukan lantas tidak boleh diujikan. Menurut mereka hal itu bisa saja diujikan, karena ujian yang bagus itu menguji sesuatu yang harus diketahui, walaupun belum diajarkan.

Melihat sebagian pendapat ini, menarik untuk dikaji. Apakah materi yang belum diajarkan boleh diujikan pada anak didik?

Jin dan manusia diciptakan oleh Allah agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Ini selaras dengan firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat, 56)

Dalam ayat tersebut dengan jelas Allah menegaskan bahwa manusia dan jin memang diciptakan agar mereka beribadah kepada Allah. Bahkan penegasan tersebut dengan menggunakan nafy (negasi) dan istisna’ (pengecualin), yang dalam bahasa arab dikenal berfungsi sebagai Takhshish (mengkhususkan). Sehingga maknanya itu, “bahwa manusia dan jin tercipta hanya untuk beribadah kepada Allah”. Hanya saja kalau jin sudah dicap sebagai makhluk Allah yang membangkang. Walaupun menurut beberapa pendapat ada jin yang beragama islam.

Sebagai perwujudan dari diciptakannya manusia untuk beribadah, maka manusia diberi dibebani (taklif) oleh Allah untuk beribadah. Pembebanan tersebut dimulai sejak dia sudah baligh. Kalau masih belum baligh, maka semua tingkah lakunya masih belum bisa terkena hukum. Sedangkan yang dimaksud diberi pembebanan di sini ini ialah bahwa manusia itu terikat dengan aturan atau hukum yang diciptakan oleh Allah, baik berupa kewajiban (wajib), larangan (haram), sunnah, makruh, atau pun mubah. Semua itu disebut hukum taklifii, karena mengandung sebuah pembebanan.

Hukum-hukum yang telah Allah tetapkan itu tidak langsung menjadi ketetapan pada manusia, melainkan masih perlu adanya syarat-syarat. Dengan adanya syarat tersebut maka manusia akan terkait penuh dengan isi hukum, jadi bukan menunjukkan tidak adanya hukum saat syarat-syarat itu tidak ada. Di antara yang menjadi syarat dari adanya hukum ialah orang yang dibebani hukum tersebut tahu dan akan mampu  menjalaninya. Dua hal tersebut merupakan hal penting dalam sebuah takli, serta memiliki alasan logis untuk menyertakannya sebagai syarat.

Pertama, berkenaan dengan harus tahunya mukallaf terhadap mukallaf bih (pekerjaan yang dibebankan) mengingat bagaimana mungkin dia bisa melakukannnya kalau tidak tahu. Oleh kerena itu, bagi orang yang tidak tahu terhadap hukum sesuatu tingkah lakunya tidak berkenaan dengan hukum. Dia pun tidak akan disiksa cuman gara-gara meninggalkan sebuah kewajiban atau melakukan sebuah larangan. Allah sudah menegaskan dalam al-Qur’an,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus utusan”. (QS. Al-Isra’: 15)

Jadi Allah itu tidak akan menyiksa hambanya yang membangkang dari aturan yang ada sampai Dia mengutus utusan. Sedangkan seorang utusan itu tugasnya menjelaskan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيّنَ لَهُمْ

“Kami tidak mengutus seorang utusan pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan terang pada mereka”. (QS. Ibrahim: 04)

Namun hal seperti ketika mereka hidup jauh dari orang islam. Sedangkan ketika ada orang hidup di negara islam atau mayoritas beragama islam, maka tidak ada alasan untuk mengatakan tidak tahu. Sebab kalau alasan mereka diterima, dengan seenaknya mereka akan menjadikan hal itu sebagai alasan belaka. Tentu hal ini akan menyebabkan orang dengan mudahnya mengingkari hukum islam. Sehingga dengan adanya syarat ini menunjukkan bahwa Allah bener-benar Maha Bijaksana.

Sedangkan syarat kedua, yakni bahwa manusia itu akan mampu melaksanakan mukallaf bih, menunjukkan bahwa Allah itu benar-benar memperhatikan kondisi hambanya. Bukan mau seenaknya sendiri, walaupun Dia juga bisa untuk melakukan hal itu. Allah telah sampaikan,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya”.(QS. Al-Baqarah: 286)

Oleh karena itu setiap apa yang dibebankan oleh Allah pada orang mukallaf pasti hal-hal itu mampu untuk dikerjakan oleh mereka. Seperti berbagai macam aturan yang ada. Ambil contih aja, shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Dengan keberadaan syarat tersebut maka orang yang mulja’ (orang terpaksa yang tidak punya pilihan lain) tidak dikenai takliif, sebab dia tidak akan bisa mengerjakan apa yang dibebankan padanya itu. Hal itu sama halnya dengan ghafil (orang yang lupa). Allah juga tidak bisa memerintahkan hambanya untuk melakukan dua hal di tempat berbeda, tapi waktunya sama. Namun ulama’ masih memperdebatkan masalah boleh tidaknya Allah mentakliff seseorang dengan hal yang tidak mungkin dimampui, dalam istilah ushul fiqh disebut takliif bi al-muhal.

Dalam hal ini terbagi dua kubu. Kubu pertama mengatakan boleh saja Allah mentaklif seseorang dengan sesuatu yang tidak dimampui, sebab Allah mau mencoba seberapa kuat usaha orang tersebut untuk melaksanakan perintah Allah itu. Berarti dengan adanya usaha itu menunjukkan dia berusaha sungguh-sungguh untuk melaksanakan perintah, walaupun secara logika sehat hal itu sudah tidak mungkin terlaksana.

Sedangkan bagi kubu kedua, takliif bi al-muhal tidak boleh. Sebab tidak ada gunanya juga Allah mentakiif. Toh, hambanya itu tak akan mampu melaksanakan perintah-Nya. Allah juga terlihat sebagai dzat yang semena-mena, padahal Dia Maha Bijaksana, walaupun dia sesungguhnya punya hak untuk melakukan apa yang Dia kehendaki.

Dari kerangka berpikir tentang taklif itu, mari kembali kepada pembahasan materi ujian yang tidak pernah diajarkan oleh guru. Dengan mengikuti alur berfikir tentang takliif maka sudah nyata bahwa materi ujian itu harus merupakan dari materi yang sudah diajarkan pada siswa. Sungguh tidak baik kalau sampai seorang guru memberikan materi ujian yang memang belum diajarkan pada murid. Apalagi tidak semua apa yang sudah diajarkan pasti dipahami oleh murid. Murid memahami semua yang disampaikan guru saja merupakan suatu kesuksesan, dan itu sulit untuk terjadi. Butuh kemampuan dan kegigihan seorang guru untuk menyampaikan materinya.

Implikasi dari hal ini, tak sepatutnya semua daerah yang ada di Indonesia soal ujiannya sama (dalam UN). Lebih baik dan tepat soal ujian itu disesuaikan dengan daerah yang ada. Harus dilihat terlebih dahulu kondisi sekolahnya, bagaimana lingkungan belajarnya, siswa-siswanya, gurunya, dan lain-lain. Tidak adil rasanya menyamakan soal ujian, sedangkan fasilitas, guru, dan kondisi yang mengenaskan.

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi pemerintah untuk memikirkan ulang tentang UN. Bangga memang kalau nilai kelulusan meningkat, umpamanya sampai 8. Tapi apakah sistem untuk mencapai angka tersebut sudah dibenahi?. Sama halnya dengan seorang nelayan yang ingin dapat ikan banyak, tapi jalanya tidak diperbaiki, sudah banyak sobek dan bolong.     

Tinggalkan Balasan