كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُور
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali Imrah: 185)
Hampir semua umat Islam—kalau tidak mau dikatakan semua—tahu terhadap ayat tersebut, sebuah ayat yang secara jelas memberitahukan bahwa semua manusia akan mati. Sedangkan menurut seorang ahli tafsir terkemuka, Fakhru al-Din al-Raziy, sesungguhnya ayat ini dimaksudkan untuk menghibur nabi dan dan tentunya semua umat manusia agar tidak terlalu sedih dengan kematian. Toh, kematian itu sudah menjadi kepastian. Di samping itu setelah kehidupan dunia ini masih ada kehidupan yang lebih baik, yakni kehidupan di mana tampak secara jelas perbedaan orang yang berbuat baik dan buruk. Serta akan tampak balasan atas apa yang telah diperbuat di dunia.
Memang seringkali kematian akan menimbulkan kesedihan yang mendalam. Bahkan hampir tidak terima dengan takdir yang telah Allah berikan pada manusia. Misalnya ini tergambar dari apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar Bin Khattab ketika Nabi wafat. Dengan suara lantang Umar berkata, “Beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasul telah wafat, sedangkan Rasul tidak wafat. Rasul hanya kembali kepada Allah, seperti Nabi Musa menghadap Allah selama empat puluh hari. Orang mengira Musa telah wafat, tetapi ia kembali lagi; demikian pula, Rasul akan kembali”. Bahkan dia berkata, “‘Saya akan memenggal kepala siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul Allah sudah wafat. Rasul Allah hanya naik ke langit”. Sayyidina Umar baru tenang setelah Abu Bakar berkata, “Barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup; tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat”. Kemudian dilanjutkan dengan membaca ayat yang menjelaskan bahwa nabi juga akan wafat sebagaimana manusia yang lain, surat al-Zumar ayat 30.
Itulah gambaran dari kesedihan yang disebabkan meninggalnya seseorang yang sangat dicintai. Bahkan terkadang kesedihan ini lalu memberi kesan bahwa dia tidak terima ketika orang yang sangat dicintai dicabut nyawanya oleh sang pemilik, yaitu Allah. Dan ini tidak bisa dibiarkan. Maka dari itu, islam memberi aturan bahwa masa berkabung tidak boleh lebih dari tiga hari. Di samping itu, tidak boleh meratapi orang yang sudah meninggal sehingga lalu air matanya menetes pada si mayyit tersebut.
Kesimpulan dari paparan di atas adalah bagaimana seseorang tidak terlalu sedih ketika orang yang dicintai meninggal. Jangan sampai kesedihan itu mengantarkannya seakan-akan tidak setuju dengan takdir Allah. Kesedihan boleh saja, karena sudah merupakan fitrah manusia, hanya saja harus tahu sebatas mana kesedihan itu. Apalagi terkadang kematian itulah yang sangat diharapkan, misalnya oleh para Waliyullah yang sudah merasa gerah dengan kehidupan dunia. Dia ingin cepat-cepat bersua dengan Dzat yang ia cintai, yaitu Allah.
Sesungguhnya ada hal lain yang patut untuk ditangisi dan seharusnya akan menimbulkan kesedihan mendalam, yakni matinya hati. Matinya nyawa sudah pasti terjadi, sehingga seharusnya tidak terlalu disedihkan. Sedangkan matinya hati ini bukan merupakan kepastian, tergantung sekuat apa seseorang mengontrol hawa dirinya sehingga hatinya tidak mati. Maka dari itu ketika hati sudah mati maka patut untuk ditangisi, sehingga kemudian diri ini semangat untuk bangkit sampai hati itu menjadi hidup kembali.
Lantas apa yang dimaksud matinya hati itu?.
Ibnu Mubarak pernah bertanya pada Syaikh Hasan tentang apa yang sanksi bagi orang alim. Lalu Syaikh Hasan menjawab “Matinya hati”. Ibnu Mubarak tidak paham dengan yang dimaksud dengan matinya hati, sehingga bertanya apa maksudnya itu. Lalu Syaikh Hasan menjawab “Mencari dunia dengan perbuatan-purbuatan akhirat”. Ini hanya salah satu dari gambaran matinya hati. Khususnya yang berhubungan dengan seorang yang alim.
Perlu diingat bahwa pada dasarnya hati itulah yang akan selalu patuh pada Allah, yang selalu tertuju pada Allah. Nah, katika hati tidak lagi demikian maka hati itu sudah mati. Misalnya, ketika tidak lagi ikhlas ketika beribadah. Beribadah yang pada biasanya mengharap ridha Allah, lalu berpaling hanya untuk mencari popularitas di hadapan manusia. Contohnya juga sombong serta berbagai sifat-sifat yang tercela lainnya, yang mana itu terjadi ketika hati sudah mati. Dengan demikian yang dimaksud matinya hati adalah melencengnya hati dari jalan yang sebenarnya.
Menurut Ibnu Atha’illah, seorang sufi yang tersohor, tanda matinya hati ada dua. Pertama tidak merasa sedih ketika meninggalkan ketaatan pada Allah. Kedua, tidak menyesal ketika melakukan kesalahan atau ketika berbuat dosa. Sehingga ketika dua hal ini ada pada seseorang maka dapat dipastikan hatinya sudah mati. Sedangkan ketika seseorang merasa sedih saat tidak taat dan menyesal saat melakukan kesalahan maka dapat dipastikan hatinya hidup. Dalam sebuah hadits disebutkan,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَائَتْهُ سَيِّئَاتهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Barang siapa kebaikannya membuat dia gembira dan kejelekannya membuat dia sedih, maka (betul-betul) orang yang beriman”
Hadits ini hendak menjelaskan bahwa kejelekan atau kesalahan yang dilakukan oleh seseorang mukmin seharusnya membuat dia sedih. Dan itulah yang disebut dengan mukmin sejati. Sebab kalau tidak begitu sulit untuk melakukan perbaikan diri. Padahal kejelekan yang dilakukan itu tidak boleh terus dibiarkan. Atau misalnya, sifat-sifat tercela yang bersemayam pada setiap orang mukmin hendaknya cepat diatasi sehingga tidak berimplikasi makin meluas.
Dari pembasahan di atas, kita sebagai orang mukmin sudah seharusnya untuk sadar apa yang perlu kita tangisi; Apakah kematian jasad yang sudah merupakan kepastian?, ataukah matinya hati yang disebabkan kalah berjuang dalam menghadapi hawa nafsu?. Jelas lah, bahwa matinya hati lebih layak untuk ditangisi. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal ini. Sehingga ia akan berlarut-larut dalam kesedihan karena ditinggal orang yang sangat dicintai tapi tidak pernah sedih terhada matinya hati, bahkan tidak sadar bahwa hatinya mati.
Kalau kita mau belajar dari para wali, maka mereka itu tidak pernah hawatir dengan kematian jasad. Bahkan mereka merindukan kematian itu, karena ingin cepat bertemu dengan Sang kekasih, yakni Allah, serta sudah bosan menghadapi hiruk pikuk dunia yang fana dan penuh tipu daya ini. Yang mereka takuti hanyalah matinya hati, karena hal itu akan semakin membuat mereka jauh untuk menggapai yang diharapkan.
Sumber Gambar: saddam-warbeatsblog.blogspot.com