Menguak Akar Perpecahan dalam Islam

0
542

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) [الحجرات/13]

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al-Hujurāt (49):13]

 

Sering kita mendengar ayat di atas di pengajian-pengajian, ceramah-ceramah, bahkan ayat tersebut masuk dalam materi Pendidikan Agama Islam untuk SMA atau sederajat. Hanya saja, sedikit orang yang bisa merasakan pesan sebenarnya dari Allah untuk pendengar. Untuk itu, mari kita coba urai satu ayat di atas sebagai pembuka pembahasan kita mengenai perpecahan dalam Islam.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan dan menjadikan manusia menjadi beberapa kelompok dan golongan, beberapa bangsa dan suku dengan tujuan agar ada interaksi untuk saling mengenal. Yang unik, untuk menjelaskan ini, Allah menggunakan kata “Ta’ārafū”. Kata tersebut identik dengan kata “ma’rūf” (kebaikan) yang ada pada ungkapan amar ma’ruf nahi mungkar. Jadi makna “Ta’ārafū” bukan hanya saling mengenal pada biasanya, melainkan mengenal untuk berbuat “ma’rūf” (kebaikan). Sehingga, perbedaan yang telah Allah ciptakan bukan bertujuan untuk menjadi alasan atau pijakan untuk pecah-belah.[1]

Pemahaman di atas menjadi sangat jelas bila kita menilik kepada tiga ayat sebelumnya yang menjelaskan mengenai persaudaraan dan larangan menghina serta mencaci maki antara satu kaum kepada kaum yang lain. Bagi orang yang berakal sehat, pasti langsung akan menyadari pesan yang ingin disampaikan oleh Allah melalui ayat di atas, bahwa penciptaan manusia berbeda dan bersuku-suku bukan untuk berpecah belah, tapi untuk saling membantu.

Banyak perpecahan yang terjadi saat ini dengan mengatasnamakan ras, suku, bangsa, bahkan agama. Bahkan, dalam agama Islam sendiri, terjadi perpecahan yang sudah terjadi sejak lama. Perpecahan dalam agama Islam sudah berjalan selama hadirnya Islam itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perpecahan pasti diawali dari perbedaan, perbedaan pandangan atau pendapat. Begitu pula dalam Islam, perpecahan yang terjadi saat ini hingga memunculkan beberapa aliran dan firqah (golongan) dalam Islam, tidak lepas dari asal muasal perbedaan pendapat pada masa nabi. Sehingga, bisa dikatakan bahwa embrio perpecahan dalam Islam telah hadir sejak masa nabi.

1. Masa Nabi

Perbedaan yang paling krusial yang tejadi di masa nabi adalah ketika selesai dari peperangan khandaq. Setelah nabi dan para kaum muslimin berhasil mempertahankan diri dalam peperangan khandaq, mereka beristirahat dan melepas segala peralatan perangnya. Namun, saat nabi hendak membersihkan diri, tiba-tiba malaikat Jibril mendatangi beliau dan mengabarkan bahwa di bani Quraidhah telah terjadi pengkhianatan.

Untuk itu, nabi segera menginstruksikan kepada para sahabatnya untuk segera berangkat ke bani Quraidhah. Pada waktu itu, sudah hamper menjelang waktu shalat ashar. Nabi mengintruksikan agar para sahabat shalat ashar ketika telah tiba di bani Quraidhah. Ketika waktu ashar hamper habis dan akan masuk ke waktu maghrib, para sahabat masih belum sampai ke bani Quraidhah. Mereka masih ada diperjalanan. Oleh karena itu, terjadi perdebatan diantara para sahabat. Sebagian ada yang berpendapat sebaiknya shalat ashar segera dilakukan, karena waktu ashar akan segera habis. Sebagian yang lain tetap berpegang pada pesan nabi agar melaksanakan shalat ashar ketika telah sampai di bani Quraidhah.

Akhirnya, sebagian sahabat ada yang melaksanakan shalat ashar di tengah perjalanan, karena khawatir waktu ashar sudah tidak ada ketika sampai di bani Quraidhah. Dan ternyata, para sahabat baru sampai di bani Quraidhah selepas maghrib. Perbedaan pendapat ini merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di masa nabi, walaupun tidak menimbulkan perpecahan. Karena selepas nabi datang menyusul ke bani Quraidhah, dua kubu tersebut menyampaikan persoalan yang terjadi di tengah perjalanan kepada sang Nabi. Di hadapan sang Nabi, perbedaan tersebut sama-sama dibenarkan.

Perbedaan pendapat para sahabat yang terjadi di atas, pada hakikatnya merupakan akar-akar perpecahan. Hanya saja perpecahan itu dapat dicegah berkat kehadiran nabi Muhammad di tengah-tengah mereka sebagai pemberi keputusan. Lebih-lebih keputusan yang diberikan oleh beliai adalah keputusan yang sangat bijak dengan tidak menyalahkan kedua pihak. Akan tetapi, sama-sama mengakui dan membenarkan pandangan dua pihak tersebut.

(Fath al-Bariy, VI, h. 61)

2. Setelah wafatnya nabi

Setelah nabi wafat, para sahabat Anshar berkumpul di desa Tsaqifah, kediaman Bani Sa’idah. Di tempat itu, terjadi perdebatan antara kalangan Anshar dan Muhajirin mengenai pemimpin (amirul mukminin) pengganti nabi. Para sahabat Muhajirin merasa orang dari kelompok mereka yang lebih berhak karena mereka yang adalah golongan yang pertama kali beriman kepada nabi sebelum golongan yang lain. Sementara kalangan Anshar juga mengklaim bahwa mereka adalah golongan yang paling berhak karena mereka yang selalu menyertai perjuangan nabi sejak hijrah. Hingga akhirnya muncul suatu pendapat bila kaum Anshar akan mengangkat pemimpin untuk kalangannya sendiri, begitupula dengan Muhajirin, akan mengangkat pemimpin untuk kalangannya sendiri. Diantara nama-nama yang muncul sebagai calon paling kuat adalah Sa’ad bin Ubadah. Hingga akhirnya Umar bin Khattab hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa Abu Bakar al-Shiddiq. Kemudian Umar mengusulkan Abu Bakar sebagai khalifah/amirul mukminin, karena beliau adalah orang yang pertama iman dan oang yang selalu menyertai perjuangan nabi. Akhirnya semua membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama, setelah sebelumnya mereka hampir mengangkat Sa’ad bin Ubadah. (Tarikh al-Thabariy)

Inilah awal perpecahan Islam yang akan mengukir sejarah kelam dalam dunia Islam. Sa’ad dan pengikut setianya merasa dendam kepada Umar yang telah membawa Abu Bakar dan menjadikan Abu Bakar sebagai calon tunggal. Padahal, seandainya Abu Bakar tidak hadir ketika itu, niscaya suara mayoritas akan mengalir untuk mendukung Sa’ad. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan salah satu sumbu pemicu terbununya Umar bin Khattab di akhir kekuasaannya.

Perbedaan pendapat sejak masa Abu Bakar hingga zaman Umar, terus terjadi. Akan tetapi, berkat kelembutan sahabah Abu Bakar dan ketegasan Umar, umat Islam masih bisa menjadi padu dalam satu komando. Pada masa Utsman bin Affan, terjadi kekacauan pemerintahan di akhir kepemimpinannya karena ada pembangkangan dari sebagian masyarakat muslim yang merasa bahwa Utsman bin Affan melakukan nepotisme dalam membagi kekuasaan Negara. Sebab itulah, akhirnya Utsman bin Affan meninggal akibat dibunuh oleh pemberontak. Api perpecahan sudah semakin membesar ketika zaman pemerintahan Utsman bin Affan.

Api tersebut terus berkobar hingga pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, pada masa Ali pernah terjadi dua kali perang saudara yang dikenal dengan perang shiffin antara sayyidina Ali dengan Mu’awiyah dan perang Jamal antara sayyidina Ali dengan siti Aisyah. Pada masa Ali inilah firqah dalam Islam sudah terbentuk secara tegas dan sempurna.

Pada masa setelah peperangan shiffin, terjadi perdamaian antara Ali dan Mu’awiyah. Tapi kemudian tampuk kekuasaan diserahkan kepada Mu’awiyah. Pihak yang tidak sepakat akhirnya memilih untuk keluar dan tidak mengikuti putusan Ali sebagai khalifah. Kelompok ini disebut khawarij. Sementara kelompok yang tetap berpegang teguh pada Ali disebut dengan Syi’ah. Kedua kelompok ini berdebat begitu sengit hingga akhirnya melibatkan persoalan keagamaan. Persoalan yang mulanya berupa persoalan politik, ditarik menuju kepada persoalan keagamaan. Bisa dikatakan bahwa khawarij dan syi’ah merupakan tesis dan antithesis. Hingga akhirnya muncul kelompok Murji’ah yang memosisikan diri sebagai sintesis bagi kedua kelompok tersebut. Dari ketiga kelompok itu kemudian berkembang menjadi lebih banyak golongan, Sunni, Wahabi, dan lain-lain.

Dari sinilah kemudian Islam menjadi terpecah-pecah. Perpecahan yang diakibatkan oleh POLITIK.

 


[1] Lihat Fakhruddin al-Razi dalam Mafātih al-Ghaib.

 

Sumber Gambar: ustadchandra.wordpress.com

Tinggalkan Balasan