Mengupas Ayat Toleransi

0
929

Dewasa ini, persoalan toleransi beragama makin santer diperbincangkan. Hal ini tidak lain disebabkan makin banyaknya perpecahan yang diakibatkan adanya perbedaan keyakinan. Perpecahan atau bentrok antara muslim dan muslim seringkali terjadi. Parahnya, Islam lah yang lalu terkena dampak buruknya karena pelaku sering dari kalangan muslim. Ini lalu memantik kita sebagai umat Islam untuk memahami sebenar-benarnya bagaimana pandangan Islam dalam mengatur hubungan antara muslim dan non muslim. Dari sini lalu kita bisa menghapus anggapan bahwa Islam adalah agama teror.

Untuk memahami persoalan ini, mari simak ayat berikut,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[1]

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”[2]

 

Secara umum ayat  tersebut menjelaskan tentang bagaimana sikap yang tepat pada orang non muslim, yakni berupa berbuat baik dan adil pada mereka. Hanya saja yang diperdebatkan oleh para mufassir tentang siapakah yang dimaksud dengan non muslim dalam ayat tersebut. Apakah non muslim yang sudah melakukan perjanjian damai ataukah tertentu pada kaum perempuan dan anak-anak?, atau yang lainnya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya untuk mengetahui sababun nuzūl terlebih dahulu. Menurut Ibnu Kaṡīr berdasarkan sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ayat tersebut turun untuk menyikapi perlakuan Asma Binti Abu Bakar kepada Ibunya—Qutailah Bin Abdul Izziy—yang sudah bercerai sebelum Abu Bakar masuk Islam, dan ibunya tersebut tetap kafir. Pada suatu ketika Qutailah mendatangi Asma’ dengan membawa oleh-oleh sebagai hadiah pada anaknya itu. Ternyata Asma’ menolak pemberian ibunya tersebut bahkan tidak mempersilahkan ibunya untuk memasuki rumahnya. Lalu persoalan tersebut sampai pada Rasulullah melalui Siti Aisyah, dan kemudian turun ayat tersebut. Berlandaskan pada ayat tersebut Rasulullah memerintahkan pada Asma’ untuk menerima pemberian Ibunya dan memperkenankannya untuk memasuki rumah.[3]

Dari paparan sababun nuzul di atas, dapat diketahui siapa yang dimaksud dengan non muslim dari ayat tersebut, yakni orang-orang yang tidak memerangi pada orang Islam. Walaupun pada sababun nuzulnya terkait dengan perempuan non muslim, tapi bukan lantas ayat tersebut hanya tertuju pada non muslim yang perempuan, sebab jenis kelamin bukan menjadi batasan dalam berbuat baik atau adil, yang menjadi batasan adalah tidak memerangi orang Islam. Hal ini dikuatkan dengan ungkapan عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ. Pada ungkapan tersebut dengan jelas Allah menyebutkan kriteria orang non muslim yang tetap patut untuk diperlakukan dengan baik dan diberi keadilan. Berdasarkan hal ini maka cukup kuat pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan non muslim yang berdamai dengan kaum muslim.

Petunjuk untuk berbuat adil pada siapapun, termasuk non muslim, juga bisa didapat dalam ayat berikut,

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا[4]

“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepada kamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada kamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat”.[5]

 

Ayat ini turun berkaitan tuduhan Ṭu’mah yang mencuri baju besi dan lalu menuduh seorang Yahudi sebagai pencurinya. Padahal Thu’mah menitipkan barang hasil curiannya itu pada si Yahudi dan si Yahudi tidak tahu kalau itu barang curian. Lalu timbullah percekcokan yang akhirnya mau diselesaikan di hadapan nabi. Pada awalnya nabi sudah hampir percaya dengan penjelasan Thu’mah yang mengatakan bahwa si Yahudi yang mencuri barangnya tersebut. Tapi sebelum nabi memutuskan salah pada si Yahudi, turunlah ayat ini.[6]

Dari sini dapat dipahami bagaimana sikap Islam pada non muslim. Agama boleh berbeda, tapi itu tidak boleh menghalangi untuk tetap berbuat baik dan adil. Bahkan Allah yang menganjurkan hal itu dan membuktikan perhatian-Nya pada keadilan orang non muslim dengan melalui gambarang yang didapat dari cerita Thu’mah di atas. Seandainya saja Islam hanya mengajarkan untuk bersikap adil pada orang Islam saja, maka niscaya tidak mungkin Allah mengingatkan nabi Muhammad bahwa beliau hampir salah dalam memutuskan. Allah akan membiarkan beliau untuk memutuskan bahwa yang salah adalah si Yahudi, bukan Thu’mah yang notabene sebagai orang Islam.

Selanjutnya, dalam ayat ini Allah hanya menyebutkan kata “tidak dilarang berbuat baik dan adil”, tentu menjadi tanda tanya apa hukum berbuat baik dan adil, apakah hanya sekedar mubah ataukah sampai pada anjuran?. Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa melihat Hadis berikut yang juga berkaitan dengan Asma’,

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ[7]

“Dari Asma’ Binti Abi Bakr r.a, dia berkata: Ibuku mendatangiku, sementara dia itu musyrik. Lalu aku mita fatwa pada Rasulullah, aku berkata: Dia menyayangiku, apakah aku boleh menerima ibuku. Lalu nabi bersabda: ya, terimalah ibumu”

Pesan nabi pada Asma’ ini menggunakan bentuk amr, hal ini mengindikasikan bahwa berbuat baik dan adil pada non muslim bukan hanya termasuk hal yang mubah, melainkan sudah merupakan anjuran dari Islam. Tentunya diharapkan dengan sikap yang demikian ini, orang-orang non muslim akan bersimpati sehingga bisa menerima Islam dengan baik.

Hanya saja yang juga penting diperhatikan, seringkali umat Islam dianggap penteror, akan tetapi ketika umat Islam yang menjadi korban teror, dunia internasional kurang terlalu peduli. Misalnya dalam persoalan Palestina. Israel dengan santainya menggempur Palestina, membantai warga Palestina, tapi ternyata dunia internasional diam saja. Mereka tidak sedikitpun misalnya mengangga Yahudi sebagai agama teror. Nah, di sinilah letak diskriminasi itu. Islam selalu dijelek-jelekkan dengan berbagai cemoohan, padahal yang melakukan tindakan terorisme hanyalah segelintir orang. Terlebih itu hanya muncul dari pemahaman yang salah. Oleh karena itu, Islam adalah agama damai dan umat Islam pecinta damai. Dan inilah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.



[1] QS. Al-Mumtahanah: 08

[2] Departemen Agama RI, h.551

[3] Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Maktabah Syamilah), j.26, h.37

[4] QS. Al-Nisā’: 105

[5] Departemen Agama RI, h.105

[6] Fakhruddin al-Razi, Mafātihu al-Ghaiyb, j.5, h.269; As’ad Humad, Aysaru al-Tafāsīr, (Maktabah Syamilah), j.1, h.598

[7] Muhammad Bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Mughirah al-Bukhari, Ṣaḥīḥ Bukhāri, (Maktabah Syamilah), J.9. h.85

Sumber Gambar: imintsfasta.com

Tinggalkan Balasan