Nabi Muhammad Bukan Hanya Utusan Allah

0
777

Sudah menjadi sesuatu hal yang maklum, bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah. Layaknya seorang utusan, maka beliau menyampaikan pesan-pesan Allah sebagai panduan bagi umat Islam dalam menjalankan aturan agama. Merupakan konskwensi logis dari tugas beliau sebagai utusan, apa yang muncul dari beliau, baik berupa ucapan ataupun perbuatan termasuk sumber hukum, dalil al-ahkam. Landasan pokok dari hal ini ialah adanya sifat ‘ishmah dalam diri nabi.[1] Seandainya tidak ada ishmah, maka beliau sama dengan umatnya.

Namun, yang perlu diperhatikan, walaupun beliau sebagai utusan, hal ini tidak menghapus kedudukan beliau sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, menurut jumhur—termasuk al-Qarafi—tidak semua apa yang muncul dari beliau menjadi dalil. Ada beberapa hal yang tidak menjadi dalil.[2] Di antaranya, perbuatan yang muncul atas karakter beliau sebagai manusia biasa, seperti makan, duduk, tidur berjalan dan lain sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut bisa menjadi dalil kalau ada penegasan dari Nabi agar hal tersebut diikuti.[3]

Hal lain-lain yang tidak menjadi dalil walaupun muncul dari nabi adalah perbuatan yang berdasarkan pengalaman, seperti mengatur tentara, beroabat dan lain sebagainya. Hal demikian ini bukanlah sebuah dalil, karena kapasitas beliau ketika itu bukan sebagai penyampai risalah, tetapi sebagai manusia biasa.

Berikut ini adalah contoh-contoh dari apa yang muncul dari nabi, dalam berbagai kapasitas beliau.

  • Nabi Muhammad Sebagai utusan Allah

روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده . [ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم جاءته امرأة فقالت : يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أنت أحق به ما لم تنكحي ] رواه أبو داود والحاكم

” Dari Amr Bin Syua’ib, bahwa seorang wanita bertanya, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan daku dan hendak menceraikan dia pula dari sisiku”. Maka Rasulullah saw. bersabda : Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).” (H.R. Abu Dawud dan Hakim)[4]

Hadits tersebut merupakan sebuah dalil tentang hak asuh anak (hadhanah) ketika terjadi perceraian. Hal ini bisa dijadikan dalil, karena kapasitas beliau ketika sebagai penyampai risalah Allah. Bukan sebagai manusia biasa atau seorang negarawan. Untuk mengetahui bahwa kapasitas beliau ketika bersabda adalah sebagai seorang utusan bisa dilihat dari permasalah yang diajukan. Yaitu terkait tentang agama. Setiap apa-apa yang terkait tentang agama, beliau akan menyampaikan berdasarkan wahyu. Ketika belum ada wahyu, beliau akan menunggunya.

  • Sebagai seorang pemimpin/negarawan

لما كانت وقعة بدر خرج، صلى الله عليه وسلم، من المدينة في جماعةٍ من المسلمين، فلما وصلوا بدراً نزلوا على غير ماء، فقام إليه رجل من أصحابه وقال: يا رسول الله نزولك هاهنا شيء أمرك الله به أو هو من عند نفسك ؟ قال: بل هو من عند نفسي، قال: يا رسول الله إن الصواب أن ترحل وتنزل على الماء فيكون الماء عندنا فلا نخاف العطش

Kisah ini dapat dijumpai dalam berbagai kitab, salah satunya dalam kitab al-Fakhri fi al-Adab al-Shulthaniyyah, karangan Ibnu Thiqthiqiy.  Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa ketika hendak menuju bukit Badr untuk melakukan peperangan, beliau memerintahkan pasukannya untuk bermarkas di tempat yang tidak ada sumber airnya. Lalu oleh seorang sahabat ditanya apakah keputusan beliau tersebut berdasarkan wahyu ataukah berdasarkan keputusan pribadi. Beliau menjelaskan kalau keputusannya merupakan berdasarkan pikiran beliau, bukan wahyu.

Salah seoang sahabat yang mengetahui keputusan beliau itu salah mengusulkan untuk bermarkas di tempat yang ada sumber airnya saja. Akhirnya usulan sahabat tersebut di terima. Dan di markas itulah kebetuhan logistik bagi pasukan terpenuhi. Islam pun mendapatkan kemenangan dalam perang Badr.

Keputusan beliau untuk berhenti dan bermarkas di tempat yang tidak ada sumber airnya tersebut merupakan keputusan yang didasarkan atas posisi beliau ketika itu sebagai seorang panglima perang. Bukanlah sebagai seorang utusan. Sehingga tidak menjadi heran kalau keputusan tersebut bisa salah.

  • Nabi Muhammad Sebagai pribadi/manusia biasa

قدم نبي الله صلى الله عليه و سلم المدينة وهم يأبرون النخل يقولون يلقحون النخل فقال ما تصنعون ؟ قالوا كنا نصنعه قال لعلكم لو لم تفعلوا كان خيرا فتركوه فنفضت أو فنقصت قال فذكروا ذلك له فقال إنما أنا بشر إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأي فإنما أن بشر

“Pada suatu ketika Nabi Muhammad saw sampai di Madinah. Sementara penduduk di sana sedang merawat pohon kurma. Mereka berkata kepada beliau bahwa mereka sedang mengawinkan pokon kurma itu. Lalu nabi bertanya, ‘apa yang kalian lakukan?. Mereka berkata, ‘kami sedang mengawinkan’. Lantas nabi bersabda, ‘seandainya kalian tidak melakukannya maka lebih baik’. Akhirnya mereka pun tidak melakukan. Lalu yang terjadi hasil buahnya tidak banyak. Mereka kemudian mengadu kepada nabi atas apa  yang terjadi. Lalu nabi bersabda, ‘aku adalah manusia biasa, jika aku memerintahkan sesuatu tentang urusan agama, maka kerjakanlah. Sedangkan hika aku memerintahkan kalian terkait urusan dunia, maka itu hanyalah berdasarkan pikiranku saja'”. (HR. Muslim)[5]

Pada kasus ini, kita bisa tahu bagaimana sesungguhnya posisi nabi ketika bersabda kepada sekelompok penduduk Madinah tersebut. Jadi apa yang beliau sabdakan bukan berdasarkan wahyu dari Allah. Melainkan hanya berdasarkan pemikiran beliau semata. Sehingga ketika salah, tidak membuat agama Islam cela karena ada dalil yang bertentangan dengan realita. Sebab hal tersebut bukan sebuah dalil.

Berikut ini juga termasuk bagian dari apa yang muncul dari nabi, dengan kapasitas beliau sebagai manusia biasa.

 

انَّ بَنِي هِشَامٍ بْنِ اْلمُغِيْرَةِ اسْتَأْذَنُوْا فِي أَنْ يُنْكِحُوْا ابْنَتَهُمْ عَلِي بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلاَ آذِنُ ثُمَّ لاَ آذِنُ ثُمَّ لاَ آذِنُ إِلاَّ أَنْ يُرِيْدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَأَنَّمَا هِيَ بُضْعَةٌ مِنيِّ يُرِيْبُنِي مَا أَرَابَهَا وَيُؤْذِيْنِي مَا أَذَاهَا. رواه البخاري ومسلم

“Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak akan mengizinkan, sungguh tak akan mengizinkan, (sekali lagi kutegaskan) tidak akan mengizinkan. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib mau menceraikan puteriku, baru setelah itu mengawini puteri mereka. Ketahuilah puteriku itu bagian dariku. Apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku, apa yang menyakiti hatinya juga menyakitiku.” (H.R. Al-Bukhâri dan Muslim).[6]

Sabda nabi tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat tidak setuju dengan rencana Sayyidina Ali. Beliau sangat menyayangi puterinya, sehingga tidak rela sedikitpun kalau sang putri nantinya akan sakit hati karena dimadu. Dari proses sabda nabi pun mengindikasikan betapa pentingnya hal ini. Sebagai bukti bahwa cinta nabi terhadap penerus keturunannya cukup besar. Namun, kalau sabda nabi ini dikaitkan dengan hadits lain, khususnya tentang kebolehan poligami. Sementara sabda ini mengindikasikan bahwa poligami tidak diperbolehkan. Makanya oleh sebagia orang yang anti poligami, sabda ini juga dijadikan dasar penguat dari pendapat mereka.

Namun, kalau hendak dicermati, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kapasitas nabi ketika bersabda ini sebagai manusia biasa. Yaitu sebagai orang tua yang akan merasa sakit hati kalau anaknya sampai disakiti. Jadi, nabi ketika itu sudah tahu kalau Sayyidina Ali memadu Siti Fatimah, pasti Siti Fatimah akan merasa sakit hati. Sehingga maksud Sayyidina Ali ini harus dilarang. Dengan demikian, hadits tersebut bukan lantas melarang poligami.



[1] Al-Jalal Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Mahally, Hasyiyah al-Allamah al-Bannani, (Beirut: Dar al-Fikr), juz 2, hlm.96

[2] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushu al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr), juz 1, hlm. 458

[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushu al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Qalam), hlm.43

[4] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm.36; Imam Hakim, al-Mustadrak Ala al-Shahihaini li al-Hakim, (Maktabah Syamilah), juz 6, hlm.449

[5] Muslim Bin al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabury, Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah) Juz 4, hlm. 1835

[6]Imam Bukhari, Shahîhu al-Bukhâri, juz V, hlm.2004; Imam Muslim, Shahîhu Muslim, juz IV, hlm.1902; Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, juz VI, hlm.258.

Sumber Gambar: .4shared.com

 

Tinggalkan Balasan