“Perempuan”, lagi-lagi “perempuan”. Masalah perempuan terus mengalir, dari waktu ke waktu. Terlebih sejak muncul gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan gender. Gerakan itu muncul hampir di seluruh penjuru dunia. Yang menjadi sasaran gerakan ini bisa berupa undang-undang kenegaraan atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama.
Dalam masalah agama, salah satu sasaran kritikannya adalah agama Islam. Banyak hukum Islam yang dianggap hasil dari bias gender, sehingga menyebabkan pengurangan hak pada perempuan, bahkan merugikan perempuan. Walaupun hukum-hukum tersebut sesungguhnya adakalanya yang qath’iy (tidak bisa diotak-atik) dan ada yang zhanny.
Kritikan pada hukum Islam yang zhanny perlu diapresiasi, yang diwujudkan dengan pengkajian ulang. Sebab para imam mujtahid dalam merumuskan sebuah hukum tidak selamanya benar. Atau hukum tersebut benar pada masa itu, namun ketika dimunculkan pada masa sekarang ini sudah kurang relevan lagi. Lain lagi jika hukumnya sudah qath’iy, hukum qath’iy tidak bisa diotak-atik lagi, semisal kewajiban shalat lima waktu.
Salah satu contoh yang menjadi kritikan ialah masalah pendidikan. Selama ini muncul anggapan bahwa perempuan itu tidak perlu mengenyam pendidikan. Hanya dengan alasan Islam sudah menetapkan bahwa wali atau suamiya lah yang akan menafkahinya. Dia hanya tinggal duduk manis di rumah. Karena hanya berdiam diri di dalam rumah, maka ia tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi pada jenjang yang sangat tinggi, misalnya Pendidikan Tinggi. Sehingga tidak perlu heran kalau perempuan kalah dibandingkan laki-laki, dalam masalah kecerdasannya. Karena memang sejak awal dia tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Islam sebagai agama yang berslogan Rahmatan li al-Alamin tentunya tidak akan mensyari’atkan sebuah hukum yang tidak menimbulkan mashlahah (kebaikan), apalagi menimbulkan mudharat (bahaya) atau masyaqqat (kesulitan). Oleh karena untuk mengetahui pandangan Islam terhadap hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, diperlukan penkajian khusus. Dalam tulisan inilah akan dibahas berkenaan dengan masalah tersebut.
Yang perlu ditampilkan pertama kali berkenaan dengan masalah ini ialah sabda nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh sahabat Anas:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam”[1]
Dengan tegas hadits tersebut menjelaskan bahwa mencari ilmu bagi setiap orang Islam hukumnya wajib. Tapi terkadang ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut hanya tertuju pada laki-laki saja. Dibuktikan dengan kata terakhir (مسلم) yang berbentuk muzhakkar, bukan bentuk muannats.
Tapi walaupun menggunakan bentuk muzhakkar bukan lantas bisa menyimpulkan bahwa hadits tersebut hanya tertuju pada laki-laki. Karena kata yang muzhakkar tersebut juga mencakup pada orang perempuan. Dan memang seringkali penyebutan dengan bentuk muzhakkar (laki-laki) sudah mencakup pada orang perempuan. Seperti salam, walaupun objek salam adalah perempuan tetap saja menggunakan kata ganti bentuk jama’ (كم) untuk muzhakar mukhatab (lawan bicara laki-laki).
Dipandang dari sudut pandang pribadi manusia, baik laki-laki atau perempuan memang sama-sama membutuhkan pengetahuan. Laki-laki butuh pada pengetahuan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhannya, perempuan juga butuh pengetahuan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhannya. Melalui pengetahuan itu lah manusia bisa menjalani kehidupan dengan baik, untuk bekal diakherat.
Termasuk pengetahuan yang tidak boleh tidak harus diketahui adalah berkenaan dengan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan pada setiap orang, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya.[2] Kewajiban-kewajiban tersebut tidak akan terpenuhi tanpa ada pengetahuan. Sehingga tidak ada cara lain kecuali melalui pembelajaran. Karena pembelajaran merupakan penyempurna dari sesuatu yang wajib, maka belajar pun ketika itu juga wajib.
Namun yang dimaksud ilmu pada hadits tersebut tidak hanya terbatas pada ilmu syaria’t. Sebab kalau dikaji dari aspek kebahasaan, kata ilmu menggunakan bentuk ‘Am, yang dalam ushul fiqh menunjukkan terhadap tercakupnya semua afrad dari kata tersebut, selama tidak ada yang mentakhshishnya.[3] Berarti ini juga menunjukkan bahwa perempuan juga boleh belajar ilmu apa saja. Apalagi sekarang memang perempuan mulai terampil dalam segala keilmuan yang dulunya hanya didominasi oleh laki-laki. Juga banyak ilmu-ilmu yang sebainya memang lebih layak untuk dipelajari oleh perempuan, seperti ilmu kebidanan.
Diskrimanisi perempuan juga terjadi di masa Rasulullah, berikut ini salah satu kasus yang menunjukkan hal tersebut:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيكَ فِيهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللَّهُ فَقَالَ اجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا فَاجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ
“Ada seorang perempuan mendatangi nabi, lalu (ketika bertemu) ia berkata: ‘Ya Rasulullah, orang laki-laki pergi dengan membawa haditsmu. Oleh karena itu berilah kami kesempatan pada suatu hari untuk belajar ilmu yang telah diajarkan oleh Allah. Lalu nabi menjawab: ‘berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini’. Lalu mereka berkumpul (pada waktu yang sudah ditetapkan). Kemudian Rasulullah mendatangi mereka dan mengajari mereka ilmu yang sudah diketahui dari Allah”.[4]
Melihat kejadian ini menunjukkan bahwa sejak dulu perempuan seakan-akan tidak diberikan hak untuk mengenyam pendidikan. Namun Nabi Muhammad sebagai utusan Allah tidak membiarkan hal itu berlarut-larut. Beliau tidak ingin hanya laki-laki saja yang pintar, dengan diberikan hak untuk menerima pelajaran. Beliau juga mempersilahkan pada perempuan untuk mengenyam pendidikan. Hal itu terbukti dengan kesediaan beliau untuk meluangkan waktu demi mengajari mereka.
Bahkan istri nabi, Siti A’isyah r.a. terkenal dengan kecerdasannya. Beliau juga meriwayatkan banyak hadits. Karena kecerdasannya itulah ada ungkapan yang sebagian oleh ulama’ dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw.:[5]
خُذُوْا نِصْفَ دِيْنِكُمْ مِنْ هَذِهِ اْلحُمَيْرَاءِ يَعْنِى عَائِشَةَ
Ambillah setengah dari pengetahuan agama kalian dari al-Humaira’ (yakni A’isyah).
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Rahmatan li al-Alamin tidak pernah melarang perempuan untuk belajar. Bahkan belajar akan menjadi suatu kewajiban baginya, jika berkaitan dengan suatu hal yang wajib. Oleh karena itu, alasan bahwa perempuan nantinya hanya sebagai pelayan bagi suaminya dan hanya bekerja di dalam rumah saja tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan haknya untuk belajar. Terlebih Islam tidak hanya menempatkan perempuan hanya diam di rumah, melayani suami dan anak-anaknya. Melainkan juga bisa beraktifitas lain yang tentunya juga bermanfaat untuk keluarga atau agama.
[1] Suyuti, Abdul Ghani, Fakhrul Hasan al-Dahlawi, Syarah Sunan Ibnu Majah, I/20; Syarah Musnad Abi Hanifah, I/76
[2] Syarah Musnad Abi Hanifah, I/76
[3] Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 181.
[4] ‘Umdah al-Qari’, XXV/48; Syarah Ibnu Baththal, XIX/472; al-Jam’u bain al-shahihain, II/334
[5] Dr. Muhammad Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, 308
Sumber: pusrijurnalistikaward2.com