INILAH Sang Pencerah!!

0
453

Ibnu Athaillah

Beliau adalah seorang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Abdul Kari bin Athaillah. Sedangkan nama Askandari dibelakang namanya adalah nama julukan karena beliau tokoh sufi yang berasal dari Iskandariyah. Beliau dilahirkan di Iskandariyah pada tahun 658 H. dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama.

Sebagai anak yang hidup dan dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat menjalankan agama, tentunya ilmu yang pertama dipelajari dan di dalami adalah dasar-dasar ilmu agama, baik itu yang diberikan oleh orang tuanya maupun yang diberikan neneknya, karena neneknya juga seorang tokoh sufi dari Iskadariyah. Diantara ilmu-ilmu agama yang pernah dipelajari, seperti ilmu Fiqh, Tafsir, Hadist, Tauhid dan ilmu alat lainnya.

Dengan dimilikinya dasar-dasar ilmu agama tersebut, membuat dirinya terlalu fanatik terhadap ilmu yang pernah dipelajari tersebut dan menolak terhadap ilmu tasawuf, beliau terlalu fanatik terhadap ilmu fiqh. Tetapi setelah beliau mengamalkan ilmu yang pernah dipelajari dan banyak bergaul dengan para ulama dan tokoh-tokoh sufi, akhirnya beliau mulai tertarik kepada ajaran tasawuf dan sekaligus mempelajarinya.

Konsep Tasawuf yang dipakai oleh Ibnu Athaillah banyak mengambil dari ajaran Sadzaliyah yang terhimpun dalam 5 azas antara lain: a). Taqwa kepada Allah secara lahir batin. b). Mengikuti As Sunnah dalam perkataan dan perbuatan. c). Menolak kekuasaan makhluk dalam penciptaan dan pengaturan. d). Ridha kepada Allah baik dalam keadaan sedikit maupun banyak. e). Selalu ingat dan bersama Allah baik dalam keadaan senang maupun susah.

 

Abu Yazid al-Busthami

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sulthanu  al-Auliya’, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thariqah Sadziliyah dan beberapa thariqah yang lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham.

Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. Setiap kali ibunya hendak menyuap makanan yang diragukan kehalalannya, ibunya sering berkata pada Abu Yazid (yang masih dalam kandungan), “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “ijinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru pun memberi izin.

Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thaifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.

Begitulah kisah singkat berkenaan dengan Abu Yazid. Sedangkan salah satu gagasannya atau konsepnya dalam tasawwuf adalah ma’rifatullah. Tentang makrifat ini pernah suatu ketika dia disuruh untuk mengambil sebuah kitab di jendela oleh gurunya. Lantas dia menjawab, “Jendela? Jendela yang mana?”. “Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”, sang guru bertanya. “Tidak”, jawab Abu Yazid, lalu berkata, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”. “Jika demikian, kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai “, kata si guru.

Di samong itu ada dua pokok ajaran Abu Yazid. Yaitu: pertama, al-Fana’ dan al-Baqa’, kedua, al-Ittihad. Maksud dari fana’ adalah hilangnya sifat tercela atau sifat basyariyyah yang lebih condong pada syahwat dan hawa nafsu, sementara yang dimaksud dengan baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat ilahiyyah (ketuhanan) dalam diri manusia. Melalui konsep ini Imam al-Busthami mau mengajarkan bagaimana manusia seharusnya dalam mengarungi samudera kehidupan, sehingga tidak melenceng dari jalan kesesatan. Sebab dengan melakukan hal ini, maka akan lenyaplah keinginan seseorang dari selain Allah, dalam arti yang dituju hanyalah Allah. Sementara yang dimaksud dengan al-ittihad adalah bersatunya manusia dengan Allah.

 

Jalaluddin al-Rumi

Nama aslinya adalah Muhammad Jalaluddin, tapi kemudian terkenal dengan sebutan maulana al-Rumi. Beliau lahir pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal 604 H/30 September 1207 di Balkh, yang pada saat itu masuk daerah khawarizm, Persia utara.

Dilihat dari nasabnya, nasab beliau bersambung pada khulafaurrasyidin. Dari jalur ayah bersambung dengan Abu Bakar al-Shiddiq. Sedangkan dari pihak ibu bersambung ke Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Beliau pun juga termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya menikah dengan putri raja Alauddin Muhammad Khawarizm Syah.

Dalam pendidikan, pada awalnya beliau dididik langsung oleh sang ayah, yang merupakan ulama besar. Kemudian, beliau dipasrahkan kepada murid dari ayahnya, yaitu, Sayyid Burhanuddin. Beliau belajar pada Sayyid Burhanuddin selama empat sampai lima tahun. Setelah itu beliau melakukan pengembaraan, sehingga bertemu dengan beberapa tokoh besar, di antaranya: Fariduddin al-Aththar, Syamsuddin al-Tibrizi, dan Muhammad Ibn Ali Ibn Malik Daad. Dan dari sanalah semangatnya semakin besar  untuk menjadi manusia terhormat.

Al-Rumi hidup di masa penghambaan pada akal dan panca idera sangat kuat, yakni di mana pengaruh Mu’tazilah sudah tersebar luas. Sehingga kebenaran hanya diukur dengan akal dan indera. Ketika menurut akal dan indera tidak benar, maka hal itu dianggap tidak benar. Al-Rumi menolak pada pemikiran ini. Menurut al-Rumi pemikiran seperti inilah yang akan melemahkan dan mengikis pada keimanan terhadap hal yang ghaib. Serta disebabkan oleh pemikiran inilah lalu kepercayaan kepada segala hakikat yang tidak kasat mata—yang diajarkan agama—akan makin terkikis.

Menurut al-Rumi tidak selamanya kebenaran itu disandarkan pada akal dan panca indera. Banyak keberan hakikat yang tidak bisa dinalar oleh akal dan tidak bisa diketahui oleh indera. Dan hal ini tidak bisa dikesampingkan. Oleh karenanya penggunaan akal dan indera disesuaikan dengan porsinya. Jangan sampai melampaui batas-batas yang ditentukan, karena hanya akan menimbulkan kerusakan.

Sumber Gambar: ibnuabbaskendari.wordpress.com

Tinggalkan Balasan