Tercipta Keindahan Dalam Perbedaan Madzhab

0
509

Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan, sebagai salah satu dari fitrah Sang Maha Kuasa. Termasuk perbedaan dalam masalah pemikiran atau pendapat. Misalnya ketika melihat pada awal abad 20[1] sebelum Indonesia merdeka, bisa dijumpai perdebatan sengit antara kaum tradisionalis dan para modernis, bahkan sampai saling mengkafirkan. Kaum modernis mengkritik kepercayaan dan ajaran yang telah lama dilakukan oleh kaum tradisionalis. Mereka menganggap hal itu adalah bid’ah, bukan ajaran asli Islam. Kepercayaan itu sudah terkontaminasi dengan kepercayaan masyarakat hindu dan pemeluk anemisme, yang mana mereka lebih dulu berada di bumi nusantara ini. Kritik paling keras adalah tentang hubungan orang mati dengan yang masih hidup.[2]

Sesungguhnya kalau ditelusuri lebih jauh, ketika nabi masih hidup juga terjadi perbedaan di kalangan para sahabat. Padahal ketika itu, mereka sangat dekat dengan sumber syari’at, yakni Nabi Muhammad. Mereka bisa menerima secara langsung penjelasan dari nabi terkait tentang keagamaan dan yang lainnya.

Namun ada yang beda antara perdebatan para sahabat ketika ada nabi dengan perdebatan ketika tidak ada nabi Bedanya, masalah yang diperdebatkan bisa cepat selesai, sebab ketika itu bisa langsung bertanya kepada nabi, yang tak lain sebagai sumber syari’at. Nabi pun bisa menjawab secara langsung kalau sudah diberi petunjuk sebelumnya oleh Allah, dan terkadang masih menunggu wahyu Allah.

Contoh kongkrit dari perbedaan antara sahabat bisa dilihat dalam redaksi hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الأَحْزَابِ « لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ نُصَلِّى حَتَّى نَأْتِيَهَا ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّى لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ . فَذُكِرَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Juwairiyah memberikan hadits kepada kami, dari Nāfi’, dari Ibnu Umar, berketa, “Nabi Muhammad saw. Bersabda kepada kami saat pulang dari peperangan ‘Jangan ada seorang pun yang shalat hingga sampai di Bani Quraiḍah. Lalu sebagian di antara mereka shalat ashar (sebelum sampai di Bani Quraiḍah). Sedangkan yang lain berkata ‘Kami tidak akan shalat hingga sampai di sana’. Sebagian yang lain berkata, ‘kami tetap shalat, bukan itu yang dimaksud dari kita’. Lalu diceritakan pada nabi, dan nabi tidak mencela kepada salah satu di antara mereka”.[3]

Bisa dipahami dari hadits tersebut bahwa kedua kelompok sahabat ini berbeda pendapat dalam memahami hadits. Sebagian dari mereka memahami secara tekstual, sehingga mereka tidak shalat, karena nabi memerintahkan mereka shalat ketika telah sampai di Bani Quraiḍah. Jadi walaupun matahari sudah hampir terbenam—sebagai pertanda waktu shalat aṣar habis—kalau tidak sampai di sana, mereka tetap tidak shalat. Sedangkan shahabat yang lain shalat ashar walaupun belum sampai di Bani Quraiḍah karena beralasan pada perintah secara umum, yaitu mengerjakan shalat di waktunya.[4]

Sikap nabi yang tidak mencela salah satu di antara mereka sebagai pertanda nabi melegitimasi sebuah perbedaan pendapat. Terlebih hal itu masih dalam taraf furu’iyyah yang tidak akan mengantarkan kekufuran. Ini juga sebagai bukti bahwa Islam menghargai usaha dari sebuah pemikiran. Makanya tidak ada yang disalahkan dalam sebuah pemikiran. Walaupun di sisi Allah salah, tapi  diberikan reward (balasan baik) berupa satu pahala. Nabi pernah bersabda,

إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ اِثْنَانِ ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وِاحِدٌ

Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka dia dapat dua pahala. Dan  apabila dia ijtihad tapi salah maka dapat satu pahala.[5]

Perbedaan pemikiran juga makin santer ketika Nabi Muhammad telah meninggal. Terlebih pada saat berkembangnya fiqh, yang terdikotomi menjadi beberapa madzhab. Saat ulama dari berbagai madzhab itu bertemu, mereka biasa saling menanyakan pendapat yang disertai argumentasinya, lalu mereka berdebat sampai ditemukan kata sepakat atau akan tetap berpegang pada pendapatnya sendiri saat tidak menemukan kata sepakat.[6]

Pada waktu itu setidaknya ada dua kutub madzhab yang berbeda, yaitu antara ahlu al-hadiṡ yang dikomando oleh Imam Malik dan ahlu al-ra′yi yang dikomando oleh Imam Abu Hanifah. Kalangan ahlu al-ra′yi selalu melandaskan pendapatnya pada nash. Mereka akan tidak akan berkomentar mengenai sebuah masalah ketika tidak ada nash yang menunjukkan pada masalah tersebut.[7] Mereka tidak akan beranjak pada nalar qiyas. Kelompok ini bisa dimaklumi ketika mendasarkan pendapatnya pada nash, sebab mereka hidup di Madinah yang disebut sebagai kota hadits. Di sana akan dengan mudah bisa dijumpai hadits, karena masyarakat madinah paling sering berkumpul dengan nabi, sehingga paling banyak menerima hadits. Maka tidak heran ketika Imam Malik juga menggunakan ‘urf penduduk madinah pertimbangan dalam hukum, karena dianggap sebagai representasi dari pemahaman mereka pada nash. Di samping itu, permasalahan-permasalahan baru tidak terlalu sering muncul di sana.

Sedangkan kalangan ahlu al-Ra’yi berpusat di Baghdad, sebuah kota yang kala itu bisa disebut metropolitan. Disebut ahlu al-ra’yi karena kelompok ini terkadang menggunakan nalar fikir, dengan menggunakan qiyas. Mereka menggunakan jalur qiyas bukan hendak mau mengenyampingkan nash, tetapi ini terjadi karena mereka sangat selektif dalam mengambil hadits.[8] Mereka tidak mau dengan mudah mengambil dan menggunakan hadits yang telah diterima, kerena hawatir tidak benar-benar datang dari nabi, hawatir dengan makin banyaknya para penyebar hadits palsu. Sementara perkembangan terus terjadi dan banyak sekali permasalahan baru. Tentu hal ini menuntut mereka tetap memutuskan, maka salah satu alternatif yang mereka guanakan adalah nalar qiyas.[9]

Selain terdikotomi pada dua madzhab di atas, ada empat madzhab besar yang terus berkembang sampai sekarang, yaitu Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyah, dan Hanafiyyah. Antar madzhab pun seringkali terjadi perbedaan. Sangat jarang mereka akan satu pendapat pada sebuah masalah. Konskwensi logis dari perbedaan ini, mereka sering mengkritik satu dengan yang lain. Baik secara lisan, maupun tulisan. Maka tidak perlu heran kalau Imam Syafi’I dalam kitab al-Um menulis bab khusus penolakan beliau pada Muhammad Bin Hasan, yang tak lain sebagai gurunya.[10]

Perbedaan yang terjadi bukan hanya antar madzhab, dalam sebuah madzhab pun berbeda. Seperti perbedaan pendapat dalam madzhab Syafi’iiyah, sehingga seringkali tertulis kata wa al-Aṣaḥḥu, wa al-Adhḥar, wa al-Masyhūr, qīla, dan lain sebagainya.[11] Bahkan antara pendiri madzhab dan pengikutnya pun kadang berbeda. Misalnya antara Imam Syafi’iy dengan Imam Nawawi dalam masalah siwak di siang hari bagi orang yang berpuasa.

Dengan adanya perbedaan seperti ini, kita yang masih belum sampai tingkatan mujtahid akan diuntungkan. Mengapa demikian?, sebab kita bisa memilih pendapat siapa saja yang cuku relevan untuk diterapkan di mana kita berada. Ketika kita beribadah misalnya, maka kita sangat cocok untuk mengikuti madzhab Syafi’iy. Namun dalam mu’amalah, untuk sekarang, lebih cocok mengikuti madzhab Hanafiy, karena tidak terlalu mempersulit dalam melakukan segala jenis transaksi. Jadi kalau tidak ada perbedaan maka kita akan kesulitan dalam menghadapi masalah. Oleh karenanya, mari kita syukuri perbedaan ini, dan jangan sampai keindahan perbedaan ini dicemari oleh egoisme.



[1] Antara tahun 1912-1926

[2] Dalam masalah ini, bagi kaum tradisionalis, orang yang meninggal masih  ada hubungan dengan yang masih hidup, sehingga doa atau pahal amal baik masih bisa sampai pada yang telah meninggal. Maka tidak heran kalau ‘selametan’ dan tahlil dilakukan oleh kaum tradisionalis. Hal demikian ini oleh kaum modern dianggap sebagai kepercayaan lokal, bukan ajaran Islam. Contoh lainnya adalah pelafatan niat. Menurut kaum modernis tidak perlu, karena tidak ada nash yang menunjukkan hal tersebut, tapi menurut kaum tradisionalis perlu, dan ijma’ lah yang menjadi dasarnya. Lihat Martin van Bruinessen, NU (Tradisi, Relasi-relasi kuasa, Pencarian wacana baru), (Yogyakarta: LKiS), 24

[3] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Buhkhari, Ṣaḥiḥ Bukhāriy, (Maktabah Syamilah 7G), j.4, h.87

[4] Al-Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al-Asqalaniy, Fathu al-Bāriy, (Maktabah Syamilah 7G), j.7, h.27.

[5] Ibnu Baṭṭah al-Abkary, al-Ibānatu al-Kubra li al-Ibnu Baṭṭaḥ, (Maktabah Syamilah 7G), j.2, h.213.

[6] Muhammad Musthafa Syalbiy, al-Madkhal fi al-Ta’rīf bi al-Fiqh al-Islāmy wa Qawā’id al-Milkiyyah wa al-‘Uqūd fīhi, (Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyyah), 132.

[7] Ibid., 126-127

[8] Dr. Abu Yazid, M.A., LL.M, Membangun Islam Tengah (Refleksi Dua Dekade Ma’had Aly Situbondo), (Yogyakarta: LKiS), 61

[9] Muhammad Musthafa Syalbiy, al-Madkhal fi al-Ta’rif bi al-Fiqh al-Islamy wa Qawa’id al-Milkiyyah wa al-Uqud fihi …,. 128

[10] Muhammad Bin Idris al-Syafi’iy, al-Um, (Maktabah Syamilah 7G), j.7, h.323

[11] Istilah-istilah ini akan banyak dijumpai di dalam kitab-kitab Syafi’iyyah. Kata-kata itu sebagai tanda bahwa terjadi perbedaa pendapat.

Sumber Gambar: blog.stikom.edu

Tinggalkan Balasan