Berdakwah Dengan Lisan, Bukan Dengan Pentungan

0
1122

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[1]

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”[2]

 Nabi Muhammad diutus untuk membawa misi rahmatan li al-ʻalāmin, maka menjadi sangat cocok saat misi tersebut dibarengi dengan petunjuk Allah terhadap Nabi tentang bagaimana tatacara berdakwah yang benar, sehingga tujuan yang diinginkan bisa terwujud. Hal ini menjadi sangat penting, karena tujuan yang baik bisa saja tidak bisa terwujud kalau cara yang dugunakan untuk mencapainya tidak baik. Dan dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana tatacara berdakwah serta bagaimana ketika orang yang didakwahi ternyata tidak langsung percaya dengan apa yang disampaikan nabi. Cara berdakwah yang diinginkan Allah dan diridhai-Nya adalah melalui tiga cara, yaitu dengan الْحِكْمَةِ, الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ dan المجادلة.

Arti kata الْحِكْمَةِ menurut al-Baidhawy dan Sayyid Thanthawi adalah perkataan atau ungkapan yang jelas dan tepat sehingga pesan yang hendak disampaikan bisa ditangkap dengan baik oleh penerima pesan, dalam arti tidak ada lagi sesuatu yang tidak jelas.[3] Termasuk dakwah dengan hikmah menurut al-Saʻadiy adalah berdakwa dengan ilmu dan dimulai dari yang paling penting sehingga akan mudah dipahami dan diterima.[4] Sementara menurut Ibnu Kaṡīr dengan merujuk pendapatnya Ibnu Jarīr, yang dimaksud denga kata الْحِكْمَةِ adalah Qur’an dan Hadis.[5]

Namun sesungguhnya kedua pendapat tersebut tidak bertentangan, sebab keduanya bisa dipadukan. Pendapat pertama diposisikan sebagai cara. Sedangkan pendapat yang kedua diposisikan sebagai isi pesan yang perlu disampaikan. Dengan demikian kata الْحِكْمَةِ bisa bermakna menyampaikan pesan yang tercantum dalam Qur’an dan Hadis dengan ungkapan bahasa yang jelas sehingga akan memberi pemahaman secara utuh dan sedikit menutup peluang tidak ada cara untuk membantahnya.

Selanjutnya perlu memahami cara yang kedua, yakni الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ. sama dengan kata الْحِكْمَةِ, para mufassir juga berbeda dalam memaknai kata الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ. Menurut al-Baghawiy maksud dari kata tersebut adalah mengajak menuju Allah dengan menyampaikan pesan-pesan yang berisi bujukan (targhīb) dan ancaman (tarhīb).[6] Motivasi atau dalam arti membujuk seseorang dengan pesan-pesan yang akan membuat orang yang diajak mau menerima ajakan, misalnya ganjaran dari Allah berupa kebahagian dunia akhirat. Sedangkan tarhīb dengan menyampaikan pesan yang berisi ancaman Allah pada orang-orang yang kufur. Misalnya menyampaikan tentang bahwa yang menerima ajakan akan diberi pahala yang setimpal berupa surga, sementara yang mengingkari ajakan maka akan mendapat siksa di neraka. Pendapat tersebut sama dengan apa yang disampaikan al-Khāzin.[7]Menurut ulama yang lain, kata الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ bermakna menyampaikan dengan lemah lembut tanpa ada celaan dan kata-kata kasar.[8]

Ketika memperhatikan dua pendapat di atas, maka pada dasarnya tidak ada pertentangan antara keduanya. Bahkan saling melengkapi. Dalam arti pendapat pertama terkait dengan apa saja yang perlu disampaikan. Sementara pendapat kedua berhubungan dengan langkah konkrit untuk menyampaikan pesan itu. Dari sini maka bisa disimpulkan bahwa maksud dari الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ adalah menyampaikan targīb dan tarhīb dengan cara yang lemah lembut tanpa disertai penghinaan atau tutur kata yang kasar. Hal ini menjadi penting karena cara itu bisa memberikan dampak yang baik untuk mewujudkan tujuan yang dimaksud dari sebuah dakwah.

Sedangkan cara yang ketiga adalah berdebat dengan baik. Dalam arti ketika dakwah yang disampaikan ternyata menuntut adanya perdebatan, maka perdebatan tersebut tetap harus dilakukan dengan cara yang baik pula.[9] Dengan begini tentu akan membuat penerima dakwah lebih bisa menerima, karena menggunakan cara-cara yang santun.

Setelah menjelaskan tatacara berdakwah, Allah menegaskan tentang kapasitas nabi Muhammad yang hanya sebagai penyampai ajaran Islam. Berkenaan dengan diterima atau tidak itu menjadi urusan Allah, karena Allah lah yang tau siapa saja dari hamba-Nya yang akan menerima ajakan nabi dan siapa saja yang menolaknya.

Dari paparan di atas, menunjukkan betapa Islam sangat santun dalam menyampaikan syi’arnya. Tujuannya tentu tak lain agar tujuan hendak dicapai—berupa diterimanya ajaran Islam—bisa terpenuhi dengan baik. Dan untuk mencapai tujuan yang baik harus menggunakan cara-cara yang baik pula, sehinngga tidak mengotori baiknya tujuan yang hendak dicapai. Oleh karenanya, dakwah dengan kekerasan itu sudah harus dihindari, sebab hal itu bukan akan menarik simpati seseorang untuk masuk atau teguh dalam Islam melainkan hanya membuat mereka lari ketakutan. Ini lalu bertentangan dengan semangat dakwah itu sendiri yang memiliki makna “mengajak”. Maka yang perlu diingat, bahwa dakwah itu harus didasari oleh cinta, bukan oleh kebencian.



[1] QS. Al-Nahl: 125

[2] Departemen Agama RI, h.282

[3] Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah Bin Umar Bin Muhammad al-Syairazi al-Baydhawiy, Anwāru al-Tanzīl wa Asrāru al-Taʻwīl, (Maktabah Syamilah), j.3, h.393; Muhammad Sayyid Tanthawiy, Tafsīr Wasīṭ, (Maktabah Syamilah), j.1, h.2583

[4] Abdurrahman Bin Nashir Bin Abdillah al-Sa’adiy, Taisīru al-Karīm al-Rahmān fi Tafsīri Kalīm al-Mannān, (Maktabah Syamilah). J.1, h.452

[5] Abu al-Fida’ Isma’il Bin Umar Bin Katsir al-Qursyiy al-Damisyqiy, Tafsīru al-Qur’ān al-ʻAẓim, (Maktabah Syamilah), j.4, h.613

[6] Abu Muhammad Husain Bin Mas’ud al-Baghawi, Maʻālim al-Tanzīl, (Maktabah Syamilah), j.5, h.52

[7] ‘Ilauddin Bin Muhammad Bin Ibrāhim al-Khāzin, Lubabu al-Tanzīl fi Maʻāni al-Taʻwīl, (Maktabah Syamilah), j.4, h.224

[8] Abū Hafṣ Sirājuddin al-Hanbāliy al-Damisyqi al-Nu’māniy, al-Lubab fi ʻUlūm al-Qur’ān, (Maktabah Syamilah), j.1, h.220

[9] Nāṣiruddin Abu Sa’id Abdullah Bin Umar Bin Muhammad al-Syairazi al-Baydhawiy, j.3, h.393

Tinggalkan Balasan