Ali bin Abi Tholib ra. pernah berkata bahwa ada empat perbuatan yang berat dilakukan oleh seseorang. yaitu memberi maaf ketika dalam kondisi marah, berderma sekalipun dalam kefakiran, menghindar kemaksiatan tatkala sendirian, dan berkata benar dihadapan orang yang ditakuti atau orang yang diharapkan.
Pertama, al’afwu ‘indal ghadhab, memberi maaf ketika dalam keadaan emosi. Memberikan maaf bukanlah hal yang mudah terlebih ketika dalam keadaan emosi. Untuk itu Rasulullah saw. Memberikan solusi yang pernah beliau ajarkan kepada para sahabat agar mengambil berwudhu untuk meredamkan marah. Karena marah merupakan bentuk lain dari api syaitan yang menyala-nyala, dan api itu hanya bisa dikalahkan oleh air wudhu.
عَنْ جَدِّي عَطِيَّةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ .
“Rosulullah saw bersabda: sesungguhnya sifat marah itu dari syaitan, dan syaitan itu diciptakan dari api, sementara api hanya bisa dipadamkan oleh air, oleh karena itu jika diantara kalian sedang dalam keadaan marah, maka berwudu’lah.[1]
kondisi manusia ketika marah memang sulit sekali mengendalikan diri, oleh karena itu jika seseorang dalam keadaan marah masih bisa memberikan maaf kepada orang lain, maka sungguh itulah amal yang berat. Oleh karena itu, dalam hadist dijelaskan Allah swt menjamin siapapun yang dapat mengendalikan emosi dan amarahnya selamat dari siksaan api neraka:
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ اللهُ عَنْهُ عَذَابَهُ” أخرجه الطبراني
“Dari Anas ra., Rosulullah saw. bersabda: Barang siapa yang mampu mengendalikan amarahnya, maka Allah swt. akan mengendalikan (menjauhkan ) siksa-Nya. (HR. Al-Thobari)[2]
Kedua, al juudi fil ‘usroh, pemurah dan dermawan ketika kondisi ‘saku’ (keuangan) sedang sempit atau tidak mapan. Menjadi dermawan bukanlah perkara gampang, apalagi berlaku dermawan ketika kondisi keuangan sangat menipis. Oleh karena itu Allah swt. memposisikan orang dermawan sangat dekat dengan-Nya. dalam sebuah hadits diterangkan:
عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنْ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنْ الْجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنْ النَّاسِ
“Dari abu Khuroiroh ra., Rosulullah saw. bersabda: orang yang dermawan dekat dengan Allah swt, dekat dengan surga, dekat dengan manusia.[3]
Hadits ini bukanlah sekedar hadits motifasi, tetapi merupakan petunjuk dan rambu-rambu bagi siapapun yang ingin memposisikan diri dekat dengan Allah swt, maka hendaklah ia menjadi orang yang dermawan dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi longgar, lebih-lebih dalam kondisi sesak.
Katiga, al-iffah fil khulwah, menghindarkan diri dari tindakan haram dalam keadaan sepi tanpa ada siapapun yang melihatnya. Ini merupakan ujian akan keikhlasan seseorang dalam beramal. Bahwa untuk melakukan ataupun menghindari dosa seseorang tidak perlu memperhatikan orang di lingkungannya. Karena jika seseorang melakukan sesuatu (amal) karena orang lain akan disebut riya, dan jika meninggalkan sesuatu karena orang lain menjadi syirik. Sebagaimana diungkapkan oleh Fudhoil Ibnu Iyadh:
قَالَ السَّيِّدُ الْجَلِيْلُ فُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رضي الله تعالى عنه : تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ ، وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ والإخلاص أن يعافيك الله منهما
Fudhoil bin Ibnu Iyadh ra. berkata: tidak melakukan sesuatu karena manusia adalah riya, sementara melakukan sesuatu karena manusia adalah syirik, dan hanya dengan ikhlas Allah swt menyelamatkanmu dari dua hal itu.[4]
Dan keempat, qaulul haq liman yahofuhu au yajuruhu, berkata benar di depan orang yang ditakuti atau diharapkan. Jelas sekali yang terakhir ini berhubungan dengan kejujuran. Karena kebanyakan orang berbicara menyesuaikan atau melihat siapa yang diajak bicara. Seringkali orang akan membicarakan hal-hal yang disukai lawan bicaranya, apalagi jika lawan bicara tersebut adalah orang yang ditakuti karena hubungan kerja atau hubungan keluarga. Dengan kata lain amal terberat ke eempat ini merupakan usaha meghindarkan diri dari kebiasaan menjilat. Baik menjilat kepada atasan atau kepada orang yang diharapkan. Pembahasan keempat ini sesuai dengan peribahasa:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ لِي رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: “قُلِ الْحَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا” صححه ابن حبان
Dari Abu dzar ra., Rosulullah pernah berkata kepadaku: Katakanlah kebenaran waluapun pahit adanya.[5]
Walhasil, ada satu pesan yang dapat penulis petik dari empat nasehat mulia yang disampaikan sayyidina Ali ra. diatas, yaitu melawan diri sendiri. Melawan ego, melawan beban, melawan nafsu dan melawan rasa ketakutan yang ada dalam diri kita, sehingga setiap tindakan kita tidak tertendensi oleh apapun, tidak melihat dalam situasi dan kondisi yang terjadi, mengerjakannya dengan tanpa ada beban. Wallahu a’lam
[1] Ibnu al-Mundzir, Al-Awsath li Ibni al-Mundzir, jld. 1, hal. 189.
[2] Muhammad bin Ismail al-Amiri al-Kahlani al-Son`aniy, Subulu al-Salam, jid. 4, hal. 199.
[3] Syaikh Abi Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Khotib al-`Umairiy al-Tibriziy, Misykatu al-Mashobih, jld. 6, hal. 583
[4] Al-Damiriy, Hayatu al-Hayawanu al-Kubro, jld 1, hal. 131
[5] Muhammad bin Ismail al-Amiri al-Kahlani al-Son`aniy, Subulu al-Salam, jid. 3, hal. 33.
Sumber Gambar: kesesatanbioenergicenter.blogspot