Suami yang Tak Sayang Dianggap Nusyuz

0
572

Pernikahan secara sederhana bisa diartikan ikatan dua anak manusia. Ikatan tersebut dieratkan dengan cinta, mawaddah, dan rahmah, dan amanat Allah.[1] Kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat. Kalaupun yang terakhir raib, masih ada amanah, yaitu tuntutan untuk memperlakukan pasangan dengan baik.

Namun demikian, meskipun tali temali cukup kuat, tidak menjamin perjalanan pernikahan mulus dan lancar. Mestilah sesekali mengalami rintangan, mulai dari yang paling biasa hingga yang menyebabkan kandasnya pernikahan. Hambatan inilah yang disebut dengan pertengkaran.

Pertengkaran suami istri dapat saja dipicu oleh sekadar rasa bosan satu terhadap yang lain; atau oleh karena masing-masing tidak memenuhi hak pasangannya; dan bisa pula karena masalah remeh temeh. Apapun pemicu pertengkeran itu, bisa jadi menyebabkan pasangan berkeberatan memenuhi kewajibannya. Ketika salah satu tugas tidak dipenuhi, maka berarti ada suatu pembangkangan, tidak taat.

Kelalain secara sengaja salah satu pasangan terhadap kewajibannya ini dinamakan dengan nusyuz. Secara leksikal nusyuz terambil dari kata ‘al-nasyz’ yang bermakna ‘tempat tinggi’. Benang merah yang menghubungkan dengan ketidakpatuhan/kedurhakaan dengan makna dasar tersebut adalah manasaat salah satu pihak mengabaikan tugasnya berarti dia telah menaikkan dirinya ke tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya atau memposisikan diri lebih tinggi dari yang lain.

Secara istilah, nusyuz dikenal sebagai kebencian salah satu pihak terhadap pasangannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Manshur al-Lughawi dan Fakh al-Razi. Pendat lain menyebutkan bahwa nusyuz adalah suatu kondisi yang menggambarkan kedurhakaan, kebencian, atau penentangan suami atau isteri terhadap pasangannya. Namun demikian, penentangan terhadap sesuatu yang tidak wajib dipatuhi tidak dapat digolongkan nusyusz seperti si istri yang menuntut sesuatu yang luar kemampuan suami, maka penentangan suami tidak termasuk nusyuz.[2]

Dengan demikian, perlu diketahui tentang apa saja yang termasuk perbuatan nusyuz dari pihak suami. Nusyuz suami dinyatakan dalam ayat 128 surah al-Nisa’ sebagaimana berikut:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak tidak acuhi suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. an-Nisa’ :128).

Riwayat yang menjelaskan latarbelakang ayat ini diturunkan, ketika Saudah Binti Zam`ah merasa bimbang karena Rasulullah saw. akan menceraikannya, lantas dia berkata kepada Baginda saw., “Janganlah ceraikan saya, tetap jadikan saya (sebagai isteri), dan berikanlah satu hari giliran saya kepada Siti Aisyah”. Rasulullah saw. menerima tawaran tersebut lalu ayat tersebut diturunkan.[3]

Riwayat lain memaparkan pula tentang latar belakang turunnya ayat tersebut, bahwa alasan seorang suami tidak senang kepada istrinya disebabkan karena sudah tua renta. Oleh sebab itu, suami hendak menceraikannya, namun si istri berkata, “Jangan ceraikan aku, berikan aku giliran jika saja engkau berkehendak”.[4]

Dalam Tafsir al-Baghawi, kata nusyuzan dalam ayat di atas diatfsirkan kebencian. Dalam kitab yang sama, al-Kalbi memberi maksud dari  nusyuzan adalah meninggal tempat tidur istri.[5] Pengarang kitab Tafsir Fakhru ar-Razi mengatakan, yang dimaksud nusyuz dalam ayat tersebut adalah kasar dalam berbicara dan bersikap.[6]  Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha menafsiri kata nusyuz dalam ayat tersebut, adalah meninggikan diri dan bersikap sombong dan hal-hal yang sekonsekwensi dengan keduanya seperti cara bergaul yang buruk.[7]

Syaikh Abi Qasim menjelaskan tentang nusyus suami dengan bersikap kasar semisal mencegah dirinya untuk tidak bersebadan, tidak memberi memberi nafkah, tidak berbagi kasih sayang, dan menyakiti istri dengan mencaci maki atau memukul.[8] Penjelasan ini seredaksi dan semakna dengan apa yang diaparkan oleh Muhammad Yusuf asy-Syahid bi Abi Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya al-Barul Muhith.[9] Pun demikian sama dengan penafsiran Sa’id Hawwa.[10]

Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan suami yang nusyuz adalah tidak melaksanakan hak-hak istrinya, seperti tidak bergaul dengan cara yang baik, tidak memberikan giliran, dan tidak memberi nafkah.[11]

M. Quraish Shihab menafsiri ayat tersebut, dan jika seorang istri khawatir (menduga) dengan adanya tanda-tanda akan nusyuz keangkuhan yang mengakibatkan ia meremehkan istrinya dan menghalangi hak-haknya.[12] Dr. Mustafa al-Khin menganggap suami nusyuz apabila pengabaian dan keengganan berlaku di dipihak suami dengan dia tidak menunaikan giliran, tidak memberi nafkah, bertindak kasar dengan perkataan atau perbuatan.[13]

Kesimpulan

Dari paparan di atas, perbuatan nusuz dari pihak suami dapa disimpulkan sebagai berikut:

  1. Meninggal tempat tidur istri (Enggan memenuhi kebutuhan biologis istri)
  2. Kasar dalam berbicara dan bersikap
  3. Bersikap sombong seperti cara bergaul yang buruk
  4. Tidak memberi memberi nafkah
  5. Tidak berbagi kasih sayang
  6. Menyakiti istri dengan mencaci maki atau memukul
  7. Tidak memberikan giliran (Bagi suami yang berpoligami)

(img: l3.yimg)


[1]  Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudlu’ atas Pelbagai Persoalan Umat), hal: 208, Bandung: Mizan, 2004 M.

[2]  Al-Muhaddzab hal: 69, juz: II. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, hal: 171, juz: V.

[3] Musnad at-Thayalisi, Maktabah Syamilah, kata kunci خشيت سودة

[4] Ibnu Abi Syaibah, Maktabah Samilah, kata kunci فاراد ان يطلقها

[5] Imam Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Tafsir al-Baghawi, Jilid I, hlm. 388

[6] Imam Muhammad al-Razi Fakhruddin, Fakhru ar-Razi, Jilid VI, hlm. 66

[7] Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Jilid V, hlm. 359

[8] Syaikh Abi Qasim Mahmud bin Umar az-Zmakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysyaf, Juz I, hlm. 524

[9] Muhammad bin Yusuf  asy-Syahid bi Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahru al-Muhith, Juz,III, hlm. 379

[10] Sa’id Hawwa, al-Asas fi Tafsir, Jilid II, hlm. 1194

[11] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, Juz II, hlm. 129

[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, hlm. 604

[13] Mustafa al-Khin dan Dr. Mustafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji 2;105

Tinggalkan Balasan