Cara Nabi Mengomentari Status Facebook

0
669

Facebook merupakan media yang memberi peluang bagi orang-orang untuk menunjukkan kemampuannya, baik kemampuan berpose dengan memajang foto-fotonya atau pun kemampuannya mengolah kata-kata yang membuat orang lain tertarik, termotivasi, dan kagum, dengan status-status dan komentarrnya.

 Namun tidak semua status dan komentar mereka membuat yang membaca tertarik, termotivasi, dan kagum, justru sebaliknya, diantara status dan komentar yang terpampang di facebook ada sebagian yang mencaci, menghujat, melecehkan, menghina, bahkan mengancam. Status dan kemontar tersebuat ada yang ditujukan kepada temannya sendiri, orang lain, atau rivalnya. Bahkan, agama (Islam) pun menjadi obyek status-status dan komentar yang tidak pantas itu.

 Beberapa hari yang lalu, penulis mendapatkan akun facebook dari teman. Yang memiliki akun facebook itu membuat status yang isinya melecehkan Islam. Mulai melecehkan umat Islam, ajaran Islam, bahkan membinatangkan the chosen person shallallahu alaihi wasallam. Yang memiliki akun facebook itu besar kemungkinan bukan orang muslim. Seorang muslin tidak akan pernah membuat kata-kata yang isi melecehkan agamanya sendiri.

 Tentu, umat Islam yang membaca status itu, wajahnya panas luar biasa, hatinya serasa dibakar, kepalanya seakan dipukul dengan palu godamsakit, sakit sekali. Sehingga, komentar-kemontar yang mengiringi di bawah status itu, 99% membalas dengan kata-kata yang juga menghina, mengecam, bahkan mengancam. Mungkin komentar-kementar tersebut sebagai bukti rasa sakit hati dan tidak terima agama dan Nabi Muhammad dilecehkan. Sesakit apapun hati kita, harus kah kita membalas dengan kata-kata yang tidak pantas? Seharusnya tidak perlu, kawan.

 Sekali lagi tidak kawan!!!

Bukan ini yang diinginkan Rosul terhadap umatnya, bukan saling mencaci maki, mencemooh, dan membalas hinaan dengan yang lebih parah. Rosul memberikan contoh bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah yaitu berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.

Sepintas ada kenikmatan yang kita dapat ketika membalas hujatan dengan hal yg sama.

Bangga karena memiliki pembendaharaan kata yang lebih “jahat” untuk menghujat balik.

Puas karena emosi yang berkumpul pada satu titik telah  tersalurkan dengan hinaan yang lebih binatang.

Menang karena kuantitas komentor melebihi  harga permen tamarine yang hanya 100,-

Tapi, ada hal yang tidak kita sadari

Tidakkah kita berfikir, kepuasan mereka adalah luapan  emosi dari pihak muslim?

Tidakkah kita berfikir, hujatan dari muslim yang tertera jelas di kolom komentar memberikan bukti bahwa Islam agama yang tak bermoral.. bukan agama rahmatan lil alamin,, seperti yang dituduhkan mereka???

Tidakkah kita berfikir,  merespon dengan hujatan yang serupa bukan malah membungkam mulut  mereka?

Tidakkah kita berfikir, hujatan balik dari kita adalah kayu bakar yang memantik semangat mereka untuk tetap eksis mencemooh Islam?

Tidakkah kita berfikir, hujatan balik ini adalah pameran dari tubuh2 muslim yang  bertelanjang bulat, memamerkan aibaib   secara gratis kepada musuh Islam ?

Halhal ini yang tak boleh kita lupakan,

Mereka  ingin dilihat dan diperhatikan, serta ingin mendapat respon yang “nakal” dari kaum muslim. Dengan membalas mereka, apa bedanya kita dengan mereka yang tidak punya etika dalam bertutur sapa?

Wahai sobat,

Perlulah kita menoleh kembali  ke era Rasulullah SAW, untuk mengikuti  figur yang layak dijadikan cerminan dalam bertingkah.

Suatu riwayat : ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada hari peperangan Uhud?” Beliau menjawab: “Aku telah mengalami berbagai peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku: “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki jika kamu menghendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!” Beliau menjawab: “Tidak, justru aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).

Bukan hanya sekali saja Nabi dihina. Bahkan ada seorang wanita tua yang berani mencerca Nabi. Setiap kali Nabi melintas muka rumahnya, kala itu pula si wanita meludahkan air liurnya, “cuh,cuh,cuh.” Peristiwa itu berulangkali terjadi, bahkan hampir setiap hari.

Suatu kali, ketika Nabi lewat di depan rumahnya, si wanita tadi tak lagi meludahinya. Bahkan, batang hidungnya saja tak kelihatan pula. Nabi pun menjadi “kangen” akan air ludah si wanita tadi. Karena penasaran, Nabi lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau, dimanakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?”

Orang yang ditanya menjadi heran, kenapa Nabi justru menanyakan, penasaran, dan tak sebaliknya merasa kegirangan. Namun, si Fulan tak ambil peduli, oleh karenanya ia segera menjawab pertanyaan Nabi, “Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa si wanita yang biasa melidahimu sudah beberapa hari terbaring sakit?” Mendengar jawaban itu Nabi mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk ibadah di depan Ka’bah, bermunajat kepada Allah Pemberi Rahmah.

Sekembalinya dari ibadah, Nabi mampir menjenguk wanita peludah. Ketika tahu, bahwa Nabi, orang yang tiap hari dia ludahi, justru menjenguknya, si wanita menangis dalam hati. “Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan menitikan air mata haru bahagia, si wanita bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”

NABI MENJAWAB, “AKU YAKIN, ENGKAU MELUDAHIKU KARENA ENGKAU BELUM TAHU TENTANG KEBENARANKU. JIKA ENGKAU MENGETAHUINYA, AKU YAKIN ENGKAU TAK AKAN LAGI MELAKUKANNYA.”

Mendengar ucapan bijak dari manusia utusan Allah swt ini, si wanita menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Lantas, setelah mengatur nafas akhirnya ia dapat bicara lepas, “Wahai Muhammad mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Lantas si wanita mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Subhanallahh

Allahumma shalli ‘ala Muhammad…

Cobalah perhatikan dialog yang panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi besar Muhammad. Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri mereka.

Sungguh, respon Rasul yang lemah lembut terhadap hujatan dan cemohan seharusnya membuat kita malu dengan argumen  tak layakterlontar dari lisan Muslim.

Cara paling baik adalah diam, tak perlu menggubris cercaan mereka. Toh, pada akhirnya mereka akan mengalami kebosanan karena umpan mereka tak diminati.

(author: YiieZz Jember, img: amazonaws)

Tinggalkan Balasan