Pada umumnya, orang Indonesia mendapat tambahan gelar “Haji atau Hajah” di depan namanya setelah menunaikan rukun Islam yang terakhir. Tidak hanya bertambah dalam panggilan saja, tapi dalam penulisan legal formal seperti surat – surat penting dengan berbagai macam alasan, dilain untuk syiar Islam agar orang lain tertarik untuk menunaikan ibadah ini. Alasan lain, bagi mereka yang sudah merogoh kantong yang tebal untuk biaya perjalanan dan lainnya, sangat penting untuk menyematkan gelar “haji atau hajah” depan namanya, bahkan jika tak ada gelar, apa bedanya dengan sebelum berangkat haji, rugi donk !! (hihii)
Rupanya, pamungkas dari rukun Islam yang kelima sangat menarik minat orang untuk segera merealisasikan titah Sang Khaliq. Tidak hanya kalangan borjuis saja, tapi orang dengan gaji pas-pasan bisa bertandang ke Baitullah. Salah satu bukti konkret yakni produk terbaru perbankan yang semakin diminati oleh nasabah adalah Tabungan Haji dan Tabungan Haji Arafah. Patut kiranya untuk memberikan reward bagi mereka yang memiliki himmah untuk menyempurnakan arkan al islam dengan orientasi yang mulia yakni lillahi Ta’ala. Hanya saja, bangunan ini akan roboh, jika landasan yang dijadikan pijakan adalah sanjungan dari orang lain.
Penting bagi kita untuk mengetahui bahwa pada dasarnya amalan yang diharapkan padanya pahala di sisi Allah adalah amalan yang dilakukan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan harus disembunyikan. Tidak mengandung harapan untuk dipuji atau disanjung dan yang semisalnya, agar mendapatkan pahala di sisi Allah. Karena amalan yang diterima di sisi Allah, selain dia itu sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia juga ikhlas karena Allah. Dan diantara upaya seseorang untuk menjaga keikhlasan adalah tidak mengungkit-ungkitnya dan tidak menginginkan sanjungan dari orang lain.
Seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian, apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”, hal ini menunjukkan dia ada riya’ dan sum’ah pada hajinya. Maka menggelari dengan “Haji” ini membuka pintu-pintu riya’ dan sum’ah. Di mana seorang merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya ketika dia sudah haji, atau ingin diketahui bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan. Padahal, hanya Allah yang pantas sombong, dipuja, disembah dan diagung – agunkan, sesuai dengan salah satu gelarnya, al Mutakabbir (Yang Maha Besar). Nah, aneh kiranya, sebagai makhluk ciptaan-Nya kita mau menandingi sifat Allah yang satu ini. Selamanya tak kan pernah bisa !!
Haji itu kalah utama dibandingkan shalat, shalat jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa lebih utama dibandingkan haji. Akan tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji Syaiful, kenapa tidak dikatakan Shalat Syaiful atau Zakat Syaiful, padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini. Maka ini merupakan riya’, keinginan untuk dipuji atau ingin didengar. Maka sekali lagi hendaknya menggelari dengan gelar-gelar seperti ini, baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan. Karena ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali, justru bisa memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau kejelekan-kejelekan yg lain, kecuali dia bisa memback up dirinya sendiri untuk mengunggulkan niat penyematan gelar demi Allah.
Lagipula, jika kita menoleh ke zaman Rosulullah, tidak seorang pun dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun tabi’in (murid shahabat), tabi’ut tabi’in (murid dari murid shahabat) dan ulama-ulama Islam (yang menggunakan gelar tersebut). Kita tidak pernah mendengar Haji Abu Bakar Ash Shiddiq, Haji ‘Umar bin Khaththab, Haji ‘Ali bin Abi Thalib, Haji ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar Haji Imam Syafi’i, Haji Imam Ahmad. Bahkan selama ini, belum pernah didengar Haji Nabi Muhammad.
Nah, Nabi saja tidak bergelar haji, apalagi kita ??
Semoga kita masuk dalam golongan yang legowo dengan tidak menyematkan gelar haji di depan nama, baik bagi yang sudah naik haji ataupun yang masih dijanjikan Allah untuk mampir ke rumahNya (Baitullah),,Aminnn
Image: daftarhajiumroh