Istri-istri Eyang Subur Otomatis “Tertalak”

0
946

Berita penolakan istri eyang subur

Atas alasan batin dan psikologis, para istri dan anak menolak dipisahkan dengan dengan Eyang Subur. Bahkan, mereka telah menunjuk seorang pengacara untuk menangani masalah tersebut.

Hal itu diungkap kuasa hukum Eyang Subur, Ramdan Alamsyah saat ditemui di Bilangan Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (25/4).

“Ketika kita ingin melepaskan tapi istri-istri ini tidak mau menerima secara batin dan psikologis. Mereka berontak tidak mau diceraikan termasuk anak-anaknya,” ungkapnya.

Diakui mereka telah membicarakan hal ini dengan keluarga besar saat sedang berkumpul. Namun para istri dan anak-anaknya mengutarakan keberatan atas perceraian tersebut.

“Ya malam itu kita adakan pertemuan. Antara mereka (para istri) dan anak-anaknya gak mau dipisahkan dengan suami atau bapak saya. Berbicaranya seperti itu,” paparnya.

Diteruskannya, Eyang Subur tetap akan mematuhi pernyataan MUI yang mengharuskan menceraikan istri kelima dan seterusnya. Meski bingung atas sikap para istri dan anak-anaknya, kliennya akan tetap mencari jalan keluar yang terbaik.

“Cukup membingungkan. Karena perpisahan ini bukan diinginkan oleh kedua belah pihak tapi keinginan pihak luar. Nantilah kita cari solusinya,” kata Ramdan.

Demikianlah berita yang dicantumkan oleh kapanlagi.com. dan memang permasalahan perintah menceraikan ini menjadi pembicaraan yang sering muncul seiring keputusn MUI setelah melalui investigasi bahwa Eyang Subur punya istri lebih dari empat. Maka dari itu, Eyang Subur hanya diperbolehkan beristri maksimal empat, tidak boleh lebih dari itu. Lalu muncul masalah karena ternyata istri-istri Eyang Subur tidak mau diceraikan.

Nah dari sini, muncul dua masalah. Pertama, apakah benar keputusan MUI yang menyuruh Eyang Subur untuk menceraikan isrinya?. Kedua, bagaimana hukum penolakan dari istri-istri Eyang Subur untuk dicerai?. Dua masalah ini yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Komentar Fiqh

Dalam salah satu ayat al-Qur’an, tercantum ayat berikut,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (QS. Al-Nisa’: 03)

Dalam ayar tersebut Allah mencantumkan bilangan-bilangan, satu, dua dan empat dengan menggunakan bentuk asal dari bilangan itu sendiri, melainkan menggunakan bentul dari bilangan tersebut. Matsna yang  merupakan udul dari itsnaini, tsulatsa udul dari tsalatsun, dan ruba’ udul dari arba’atun.

 Arti dari matsna adalah dua dua, tsulatsa tiga-tiga, dan ruba’a empat-empat. Oleh karenanya, kalau mau konsis dengan makna ini, maka seharusnya dalam islam seorang laki-laki tidak dibatasi denga menikahi empat wanita, melainkan diperbolehkan menikahi 19 wanita sekaligus. Dengan penjumlahan 2+2+3+3+3+4+4=19.

Hanya saja yang dimaksudkan itu tidak demikian, karena yang dimaksudkan Allah bukan makna udulnya, melainkan makna asalnya, yakni dua, tiga, atau empat. Hal ini terbukti dari penjelasan nabi yang tercantum dalam sunnah berikut ini,

أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- :« أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ »

“Sesungguhnya Ghilan Bin Tsalamah al-Tsaqafiy masuk islam dan dia punya 10 istri. Lalu nabi bilang padanya: Pertahankan empat istri dan ceraikan sisanya!”

Dalam sunnah yang lain disebutkan,

اَنَّ نَوْفَل بنْ مُعَاوِيَة أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ خَمْسُ نِسْوَةٍ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَم : ” أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ وَاحِدَةً “

“(diriwaytkan) bahwa Sesungguhnya Naufal Bin Mu’awiyah masuk Islam, sementara dia punya lima istri. Maka lalu Nabi mengatakan padanya: Pertahankan empat istri dan ceraikan satu”

Dua hadits ini menjadi penjelas dari apa yang tercantum dalam firman Allah di atas, dan ini memang merupakan salah satu fungsi sunnah bagi al-Qur’an.

Sebagai konskwensi batasan maksimal ini maka Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam salah satu kitabnya mengatakan,

فَلَوْ نَكَحَ الْحُرُ خمَسْاً مُرَتبَّاً بَطَل َفِي الخَامِسَةِ أَوْ فِي عَقْدٍ بَطَلَ في الْجَمِيْعِ

“Seandaiya ada seorang yang merdeka menikahi lima wanita secara berurutan maka pernikahan yang kelima batal atau menikah dalam satu akad sekaligus, maka batal semuanya”.

Pendapat ini hendak mengatakan bahwa pernikahan yan lebih dari empat hukunya batal. Mengingat jumlah maksimal dari istri adalah empat.

Kalau mengaitkan hal ini dengan kasus Eyang Subur, maka sudah jelas bahwa istri Eyang Subur yang kelima dan seterusnya pada dasarnya bukan istrinya karena pernikahannya tidak sah. Dengan demikian, Eyang Subur tak perlu mencaraikan istri-istrinya yang kelima dan seterusnya, karena memang mereka sejak awal bukan istri Eyang Subur. Dan tidak perlu adalagi penolakan dari istri Eyang Subur untuk dicerai, terlebih dari istri ke lima dan seterusnya, mengingat pernikahan mereka tidak sah. Sehigga tak perlu dicerai, karena perceraian itu baru ada kalau ada pernikahan sah.

Di samping itu, keputusan MUI pun yang menyuruh Eyang Subur untuk menceraikan istri-istrinya merupakan keputusan yang kurang tepat, bahasa kasarnya termasuk keputusan yang keliru. Hal ini berbeda dengan keputusan yang dilakukan oleh nabi yang menyuruh Ghilan Tsaqafiy untuk menceraikan istri-istrinya. Pertama, karena memang sebelumnya belum ada putusan hukum batasan istri. Kedua, Ghilan Tsaqafy itu sebelumnya bukan non muslim. Karena ada perbedaan inilah, maka keputusan dalam hadits tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus Eyang Subur.

Image: tribunnews

Tinggalkan Balasan