Mata kuliah teologi Islam di berbagai Universitas Jerman terbukti populer. Subyek ini baru diperkenalkan 3 tahun lalu, tapi sudah mampu mengubah lanskap agama di Jerman. Thomas Rachel dari Kementerian Pendidikan Jerman menilai perkembangan teologi Islam di kalangan akademisi sebagai sesuatu yang ‘bersejarah,’ apabila dibandingkan dengan kebangkitan teologi Kristen Protestan setelah gerakan Reformasi 500 tahun lalu. Demikian ujar Rachel dikutip laman dw.de.com
Rachel juga melihat bahwa mata kuliah teologi Islam di universitas-universitas Jerman digemari mahasiswa asing. Reinhard Schulze, pengajar agama Islam di Universitas Bern di Swiss, melaporkan bahwa mahasiswa Swiss, Prancis, dan Inggris secara spesifik mencari mata kuliah tersebut di Jerman. Beberapa koleganya bahkan mengatakan adanya minat dari para mahasiswa di negara-negara Muslim di Asia.
Katajan Amirpur dari Universitas Hamburg menganggap penyertaan mata kuliah Islam sebagai “masalah keadilan.”
Bülent Ucar, seorang pakar ajaran Islam dari Osnabrück, tak sungkan menyampaikan terima kasih kepada para politisi di tingkat federal dan negara bagian atas komitmen mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Tingkat optimisme dan pujian bagi politisi begitu tinggi, namun masih ada masalah terutama terkait cara pengorganisasian agama di Jerman. Tidak seperti gereja Kristen dan komunitas Yahudi, pengaturan resmi dalam hubungan pemerintah dengan komunitas Muslim baru dapat dijumpai di Bremen dan Hamburg.
Kebutuhan akan pelatihan akademis sudah lama dirasakan. Pemerintah Jerman memperkirakan 2.200 tenaga pengajar dibutuhkan untuk rencana pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Dan banyak di antara lebih dari 1.000 imam di Jerman yang belum pernah mendapatkan pelatihan akademis.
Dewan Sains dan Kemanusiaan Jerman mencetuskan teologi Muslim sebagai mata kuliah pada tahun 2010. Dewan tersebut, yang merupakan badan penasehat pemerintah terpenting dalam bidang pendidikan, mencermati bidang teologi di berbagai universitas Jerman selama 3 tahun, dan setelah melewati banyak diskusi barulah Islam muncul sebagai sebuah isu.
Pada akhirnya, Menteri Agama Jerman saat itu, Annette Schavan, mendirikan empat pusat teologi Islam di Münster/Osnabrück, Tübingen, Frankfurt/Giessen dan Nürnberg/Erlangen yang mulai beroperasi tahun 2010 dan 2011.
Ada banyak tantangan di area yang berbeda-beda. Salah satunya adalah konfrontasi dengan kalangan yang disebut akademisi sebagai “teolog praktisi” – pengkhotbah fundamentalis atau teolog yang belum pernah melewati pelatihan teologi secara formal.
Katajan Amirpur membentuk “Akademi Agama-Agama Dunia” di Hamburg, yang bertujuan mengajak Muslim menjalani pertukaran akademis dengan penganut Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Pakar lainnya menyebut adanya kebutuhan untuk membawa beragam cabang Islam untuk berdialog. Dan Mathias Rohe dari Universitas Erlangen mengangkat kesulitan mencari kandidat yang cocok untuk menjabat profesor dalam bidang teologi Islam. Itu masalah yang kini terpecahkan dengan adanya empat pusat teologi Islam. Rohe mengemukakan masalah lain, meski mengaku optimis. Yakni tidak memadainya keterampilan baik dalam bahasa Jerman maupun Arab.
Tidak hanya dari kalangan profesor dan politisi, suara seorang mahasiswa semester satu di Osnabrück juga didengar. Enes Erdogan menyebut mata kuliah teologi Islam sebagai “mimpi yang terwujud.” Di rumahnya di Berlin, ia harus “menghadapi banyak hal” akibat kurangnya pengetahuan mengenai agama: “Orang memberikan agama status yang amat tinggi, tapi mereka tidak tahu banyak tentang agama,” ungkapnya. Menurutnya itu adalah masalah identitas.
Sumber: hidayatullah