Michael Barradine Terkesan Panggilan Azan

0
415

Michael Barradine telah melakukan pengembaraan spritual lebih dari 30 tahun. Ia memulainya dari mempelajari Katolik, Agnostik hingga akhirnya Islam menjadi pelabuhan terakhirnya. “Hanya dalam Islam, saya menemukan jawaban atas semua pertanyaan saya,” ungkapnya seperti dikutip onislam.net, Senin (27/5).

Perjalanan spiritual Barradine dimulai ketika ia menempuh pendidikan S3 di Universitas Arizona. Di sana, ia pelajari studi Timur Tengah dan sejarah kerajaan Inggris.  Sebelum itu, ia lebih dekat dengan tradisi Kristen. Ini disebabkan karena ia bersekolah di Kodaikanal Internasional School.

Namun, orang tuanya yang seorang pimpinan California-Texas Oil Company (Caltex) membuat ia kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Bahrain merupakan negara pertama yang ia singgahi. Lalu berlanjut ke India.

Di India, Barradine mendalami ajaran Kristen, karena ia bersekolah di sekolah Kristen. Selesai sekolah, ia merasa tertarik dengan Kristen sehingga ia mendalami ajaran itu dengan memasuki sekolah Notre Dame Internasional School, Roma.

“Di kota ini, saya mempelajari lebih lanjut tentang Kristen. Saya belajar dengan uskup secara langsung,” kata dia.

Selama di Roma, Barradine begitu terpesona dengan iman Katolik. Ia pun berencana menjadi seorang Imam. Namun, di antara sekian negara tempat yang ia singgahi Bahrain merupakan yang paling berkesan. Di sana ia mendengar panggilan azan dan melihat Muslim melaksanakan

“Ini membuatku begitu terkesan. Saya suka mendengarnnya,” kata dia.

Kesan itu rupanya sangat mendalam. Barradine pun coba untuk mencari tahu tentang ajaran Islam. Itu yang kemudian ia dapatkan ketika ke AS. Di sana, ia melahap literatur tentang Islam, termasuk Alquran. Selanjutnya, Barradine mulai mempelajari bahasa Arab. Bahasa ini dianggap penting olehnya lantaran membuka jembatan informasi yang lebih luas soal Islam.

“Sepanjang musim panas di AS, saya banyak berbicara dengan Muslim. Kesimpulan yang saya dapat, agama saya sekarang ini sama seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” kata dia.

Seiring perjalanan waktu, banyak yang menanyakan dirinya mengapa tidak menjadi Muslim. Namun, Barradine tidak memiliki jawabannya.  “Saat itu, saya hanya terkesan dengan fakta keaslian Alquran. Berbeda dengan Injil,” kata dia.

Akhir musim panas,  satu keputusan besar diambilnya. Tidak mudah memang, karena Barradine lebih memilih untuk lebih dahulu meyakinkan hatinya 100 persen sebelum mengucapkan syahadat. Momentum itu akhirnya datang.

“Di hadapan ratusan orang, saya ucapkan syahadat. Banyak yang memelukku. Saya pun menangis,” kata dia.

Seketika itu, Barradine mengubah namanya menjadi Muhammad Asad. Nama ini dipilih karena harapannya agar menjadi Muslim yang baik. Nama itu juga mencerminkan perubahan kepribadian dirinya sejak menerima Islam.

Tak butuh waktu lama,bagi Barradine untuk segera berdakwah. Ia mulai menjadi pembicara tentang Islam di gereja, sinagoga dan lainnya. Ia juga mulai mengajar bahasa Arab. Beberapa tahun kemudian, ia pergi haji.

“Sekarang saya menulis sebuah buku tentang Sejarah Islam dan Muslim di Era Modern,” tutupnya. (Republika)

Tinggalkan Balasan