Isteriku bukan kekasihku
Kekasihku bukan isteriku
“Bukan” menjadi takdirku
Kata “jodoh” jangan ditambah “me” atau “di”. Jika ditambah keduanya, berarti itu upaya manusia. Sementara jodoh itu adalah hanya hak Tuhan. Artinya, jangan pernah menjodohkan atau dijodohkan, biarkan saja Tuhan menentukan jodoh itu. Jangan salahkan siapa jika ada yang menjodohkan atau dijodohkan lalu terjadi apa-apa, karena tindakan seperti itu melanggar hak Tuhan.
Perjodohan merupakan tindakan penyatuan dua anak manusia yang dilakukan oleh satu pihak, tanpa memperhatikan pihak lain (yang bersangkutan), dan dengan pemaksaan. Satu pihak adalah seorang wali yang menyatukan anaknya dengan akad nikah. Pihak lain adalah seorang anak yang menjadi obyek tindakan sepihak, yang menjadi korban pemaksaan, dan yang akan menjalani hubungan pernikahan tanpa diperhatikan perasaannya.
Akibat tindakan sepihak tersebut, seorang anak yang menjalani kehidupan rumah tangga merasa berat, bahkan sangat terpaksa. Ketika keterpaksaan menjadi beban dalam rumah tangga, maka hanya akan membuat seorang anak merasakan hampa, gersang, dan usang. Sedikit pun rasa bahagia tidak dapat dirasakan, justru penyesalan yang terus menyala. Kecuali seseorang yang memiliki hati istimewa.
Ada beberapa akibat kongkrit yang sering terjadi dari adanya perjodohan. Yaitu, belum siap menjalani bahtera rumah tangga, masih memiliki hubungan dengan kekasih lamanya, dan hubungan pernikahan tidak berlasngsung lama.
1. Belum siap menjalani bahtera rumah tangga
Sebab-sebab ketidaksiapan ini adalah: Pertama, belum pernah ada interaksi sebelumnya. Ini perjodohan orisinal alias tidak pernah ada pertemuan diantara keduanya, baru bertemu ketika setelah akad. Biasanya seseorang yang belum pernah berintraksi sebelumnya, dia hanya bisa menerka-nerka dan mencoba. Orang yang menerka dan mencoba lebih sering mengalami kesulitan.
Kedua, sulit beradaptasi. Namanya juga beru bertemu. Pasti ketika melakukan sesuatu dengan orang yang baru bertemu, -apalagi seseorang yang hadir di kehidupan rumah tangga- akan merasa serba kepikiran. Hal ini pun bila keduanya saling ada rasa suka. Jika tidak, pasti lebih sulit lagi.
Ketiga, ikatan yang tidak erat. Hal ini bisa sebelumnya sudah bertemu atau bahkan sudah ada interaksi, hanya saja salah satu atau keduanya tidak ada rasa suka. Masih mending jika hanya tidak ada rasa suka, khawatir terbalik menjadi rasa benci. Kehidupan keluarga yang diselimuti rasa benci, sungguh sangat berat melakukan apa-apa, apalagi melakukan hal-hal yang berkaitan khusus dalam kehidupan kelurga.
Ketiga alasan di atas sering dirasakan oleh banyak orang yang pernikahannya hasil perjodohan. Mereka masih belum siap menjalani pernikahan dengan orang yang baru dia kenal, belum dia sukai, apalagi belum dia cinta, dan apalagi dia benci. Rasanya memang sulit, jika harus menikahi seseorang sedangkan kita tidak ada perasaan cinta atau kecenderungan yang membuat kita ingin menikahinya, meskipun kriteria yang lain sudah terpenuhi.
Oleh sebab itu, kenapa Nabi suatu ketika menyuruh salah seorang sahabat melihat terlebih dahulu sebelum menikahi seorang wanita, karena tidak ada lain adalah untuk menumbuhkan perasaan yakin dan tak ada penyesalan setelahnya. Paling tidak ada rasa kecocokan yang membuat hatinya bisa menerima.
Artinya memiliki kecenderungan hati kepada sesorang yang akan dinikahi juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung pernikahan itu sendiri. Meskipun di sini bukan selalu bermakna rasa cinta, tapi memiliki alasan lain yang menguatkan untuk menikahi seseorang, seperti perasaan nyaman atau suka dan cocok dengan pasangan yang akan dinikahi memang hal yang penting.
Ada sebagia orang tua ketika menjodohkan anaknya, mereka beralasan karena anaknya sudah berpendidikan, sudah sarjana dan juga sudah belajar di pesantren. Jadi menurut mereka, anak yang sudah bependidikan dan alumni pesantren, pasti sudah tau bagaimana menjalani kehidupan kelurga. Sehingga, meskipun belum tahu atau kenal ke pasangannya, anaknya dianggap bisa dengan ilmu pendidikan dan pesantrennya.
Pemikiran seperti itu memang benar. Namun ada hal lain yang harus dipikirkan juga. Meski anaknya sudah menjadi sarjana atau pun alumni pesantren, belum tentu salah satu atau keduanya menjalani kehidupan rumah tangga sesuai ilmu yang mereka ketahui. Sebab, menjalani kehidupan rumah tangga tidak hanya butuh ilmu dari sekolah atau pesantren, yang terpenting adalah kesiapan dan kesediaan hati untuk mengarungi rumah tangga. Kesiapan hati atau perasaan tidak ada ilmunya atau pendidikannya. Karena itu fitrah.
Tidak sedikit yang sudah sarjana dan alumni pesantren menjalani kehidupan rumah tangganya dengan tatanan hidup keluarga yang sering kali melenceng dari aturan agama; keduanya atau salah satunya tidak memenuhi hak pasangangannya dan lalai dari kewajibannya. Itu bukan berarti mereka tidak tahu, tapi karena memang tidak bersedia untuk melaksanaka apa-apa yang menjadi kewajibannya sebagai isteri atau suami. Alasannya kenapa tidak bersedia? Karena memang tidak cinta atau tidak ada rasa suka. Apa-apa yang ada di dalam rumah tangga harus berdasarkan kasih-sayang, paling tidak rasa suka.
2. Masih menjalin hubungan dengan kekasih lamanya
Akibat yang kedua ini sepertinya yang rawan terjadi. Hal ini terjadi bagi seseorang yang dijodohkan dan sebelumnya sudah memiliki kekasih. Meskipun seseorang itu sudah terikat hubungan pernikahan, dia masih ada hubungan (khusus) dengan orang yang dicintai itu. Tidak jarang di sela-sela kehidupan rumah tangganya menghubungi kekasihnya yang tidak menjadi jodohnya.
Hubungan tersebut biasanya dilakukan ketika pasangannya tidak ada di sampingnya (bisa pasangannya keluar atau dia yang keluar). Yang paling mungkin hubungan itu terjadi ketika dia memiliki masalah, baik pribadi atau keluarganya. Ketika dia memiliki masalah, tempat curhat yang tepat menurut dia adalah kekasihnya. Karena menurut dia yang mengerti dirinya adalah kekasihnya. Selain itu, hanya kepada orang yang dicintai bisa meluapkan apa yang dirasakannya.
Sebenarnya tidak hanya seseorang yang sebelumnya memiliki kekasih, yang tidak memiliki kekasih sebelum dijodohkan bisa juga berhubungan (khusus) dengan orang lain. hal ini terjadi bagi seseorang yang dijodohkan dan dia belum bisa mencintai atau pun menyukai pasangan halalnya. Sehingga, ketika dia butuh sesorang yang mengerti dirinya, yang bisa diajak komunikasi dengan nyaman dan asyik, mulailah dia menjalin hubungan khusus dengan orang lain. Jadilah dia memiliki kekasih gelap.
3. Hubungan Pernikahan tidak berlangsung lama
Akibat yang ketiga ini merupakan titik akhir dari akibat yang pertama dan kedua. Jika seseorang dijodohkan dan dia tidak siap menjalani kehidupan rumah tangganya, meski sudah terikat tali pernikahan, maka ketidaksiapan itu bisa berlangsung menjadi putusnya hubungan pernikahan. Seseorang yang dijodohkan sementara dia memiliki kekasih, dan dia tidak ingin lepas dari kekasihnya. Sehingga, meski dia sudah terikat dengan orang lain, dia masih melanjutkan hubungan itu dengan kekasihnya. Jika pasangannya tidak terima, maka berakhirlah hubungan pernikahan itu. (img: klimg)