Bersedekah Melalui Shalat Dhuha

0
781

Kesuksesan merupakan dambaan setiap orang. Tak heran, bila semuanya berlomba-lomba untuk meraihnya. Namun, kebanyakan orang lupa akan esensi di balik kesuksesan. Kesuksesan hanya dinilai dengan materi, berupa harta melimpah, mobil mewah, rumah bertingkat, dan sebagainya. Kesuksesan tidak akan memiliki arti arti apa-apa, jika tidak didasari dengan rasa syukur. Ending-nya, kesuksesan tidak akan membawa kebahagiaan, malah menyengsarakan.

Kebahagiaan bisa diraih melalui sedekah. Semisal membayar zakat, kaffarah puasa (bagi orang yang tidak mampu untuk memerdekakan budak dan berpuasa dua bulan berturut-turut) dengan memberikan makanan (sedekah) kepada orang-orang miskin, dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan upaya agama Islam untuk membimbing umatnya menuju mahligai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sedekah tidah hanya bersifat meteri, namun juga immateri. Nabi Muhammad Saw., memberikan salah satu alternatif cerdas dan efisien terkait sedekah dengan immateri. Beliau mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk melakukan shalat Dhuha. Shalat Dhuha adalah cerminan dari kecerdasan sesorang dalam hal sedekah.

Rasulullah Saw. bersabda, bahwa di setiap ruas anggota tubuhmu (360 ruas) membutuhkan sedekah. Maka setiap bacaan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir (darimu) bernilai sedekah. Memerintah dalam hal kebaikan bernilai sedekah. Mencegah dan melarang kemungkaran adalah tindakan yang bernilai sedekah. Hal itu semua bisa diperoleh  dengan melakukan shalat Dhuha (HR. Muslim). [Bughyah al-Mutathowwi’ fi Shalat al-Tathowwu’, juz I, hal. 35].

Sungguh indah ajaran Islam yang dibawa Nabi Penyejuk Jiwa, Muhammad Saw. Nabi memberikan alternatif agar sesorang selalu melaksanakan sedekah setiap harinya, shalat Dhuha. Shalat Dhuha sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan dalam kesempatan yang lain, Rasul berabda, bahwa hanya awwabin (orang yang kembali pada Allah) yang dapat menjaga shalat Dhuha.

Mengenai tatacara pelaksanaan shalat Dhuha, Nabi memberikan contoh kepada kita bahwa shalat Dhuha dapat dilakukan dengan dua roka’at, empat roka’at, enam roka’at dan delapan roka’at serta dua belas roka’at. Hal itu semua adalah opsi (pemilihan) yang diberikan oleh Kanjeng Nabi. Sekalipun demikian, tentunya yang paling banyak pahalanya adalah yang paling banyak melakukan kebaikan, dalam hal ini menambah jumlah roka’at. [Bughyah al-Mutathowwi’ fi Shalat al-Tathowwu’, juz I, hal. 36].

Sedangkan waktu pelaksanaan shalat dhuha ialah semenjak berakhirnya waktu yang dilarang (matahari mulai meninggi) sampai sebelum tergelincirnya matahari. Tetapi yang lebih utama adalah ketika udara sudah mulai memanas. [al-fiqh al-islami wa adillatuh, juz 2- hal 255]

Di sebagian tempat, kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan saat ini ada yang menerapkan pelaksanaan shalat dhuha dengan cara berjama’ah. Di samping sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Swt, mereka memberikan alasan, bahwa agar para peserta didiknya belajar disiplin dan tepat waktu dalam hal belajar, apalagi shalat. Sehingga Shalat Dhuha berjama’ah menjadi media untuk melatih kedisiplinan seseorang. Karena memang, shalat merupakan cerminan dari karakter dan tingkah laku. Kalau shalatnya baik dan bagus, maka dapat dipastikan orang tersebut mempunyai karakter dan tingkah laku yang baik. Karena memang hikmah dari shalat itu tiada lain agar tercegah dari perbuatan keji dan munkar.

Hal itu tidak menjadi masalah, senyampang tidak menjadikannya kebiasaan dan memiliki keyakinan, bahwa shalat Dhuha harus dilakukan secara berjama’ah karena shalat sunah boleh dilakukan dengan berjama’ah, sebagaimana yang dipaparkan Syekh Abu al-Qasim al-Aamidi dalam kitabnya Adab al-Masyyi Ila al-Sholah. Di samping itu juga, hal tersebut merupakan bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), sebagaimana yang telah dikatakan oleh sahabat Ibn ‘Umar ra. Suatu ketika sahabat Mujaahid masuk masjid bersama sahabat ‘Urwah bin Zubair. Kemudian Sayyidina ‘Abdullah bin ‘Umar duduk di ruang Sayyidah ‘Aisyah. Tiba-tiba sekelompok manusia shalat dhuha bersama di masjid. Kemudian kami menanyakan perihal shalat mereka. Beliau menjawab bahwa hal itu adalah bid’ah. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz VIII, hal. 22]

Sekalipun melakukan shalat Dhuha secara berjama’ah dibolehkan atau menurut Sayyidina Abdullah bin ‘Umar hal itu adalah bid’ah hasanah, lebih utama dilakukan secara sendiri atau tidak berjama’ah. Dengan memandang, bahwa shalat Dhuha merupakan perwujudan dari sedekah itu sendiri. Sedangkan sedekah (suunah) lebih utama untuk dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan lebih membuka pintu ikhlas di hati kita. Sebagaimana sabda Nabi Muahammad Saw., bahwa golongan yang dapat naungan dari Allah Swt. pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya adalah seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui perbuatan apa saja yang telah diperbuat oleh tangan yang kanan (artinya, secara sembunyi-sembunyi) (HR. Bukhari- Muslim). [Ittihaf al-Kiram bi Syarhi ‘Umdah al-Ahkam, juz II, hal. 8]

Kesimpulan dari semua itu, hendaklah kita senantiasa melakukan dan memperbanyak sedekah, terlebih yang bersifat materi. Karena menurut informasi al-Qur’an, ciri-ciri orang yang beriman adalah menafkahkan sebagian harta. Jika tidak memiliki harta sedikitpun untuk dinafkahkan, maka hendaknya melakukan sedekah yang bersifat immateri; shalat Dhuha.  Hendaknya yang semua kita lakukan diniati dan kembali pada Allah, bukan karena ingin dilihat dan dipuja orang. Dalam hal ini, Nabi bersabda: wal ‘amiluna halka illal mukhlisun (orang yang beramal itu sia-sia, terkecuali orang yang ikhlas). (Author: Tinta Qana’ah, Img: ytimg.com)

Tinggalkan Balasan