[Cerpen] Menjadi Cahaya dalam Gelap

0
1353
Aku teringat terhadap firman Allah di dalam al-Quran yang memerintahkan kita untuk menjaga diri sendiri dan keluarga dari kobaran api neraka. Setiap aku mendengar firman tersebut, jantungku selalu berdetak lebih kencang, hatiku penuh kekhawatiran, dan perasaanku bercampur iba. Aku khawatir tidak bisa menjaga mereka. Orang-orang yang tidak beriman diancam dengan siksaan yang pedih di akhirat. Sedangkan orang yang mukmin, di akhirat nanti akan mendapatkan surga, yang sering digambarkan di dalam al-Quran sebagai tempat yang penuh dengan keindahan.

Ketika malam tiba, ku nikmati keindahan langit di halaman rumahku. Di sebuah lorong yang gelap, terlihat asap rokok mengepul dari seorang pria yang sedang asyik bercanda dengan gadis muda. Mereka sedang asyik di sebuah warung-remang-remang. Dari arah selatan, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki bertopeng yang mencoba menganiaya mereka berdua dan langsung menjambret tas dan uang yang dibawa oleh pria dan gadis tersebut. “Sungguh bejat perilaku warga di kampung ini,” ucap hatiku. Dalam pikiranku sempat muncul pertanyaan, “Bagaimana caranya mengubah kebiasaan jelek penduduk kampung ini?”. Pertanyaan itu ku simpan baik-baik di dalam pikiranku, berharap suatu hari bisa mendapatkan jawabannya.

Masjid dan musollah yang kelihatan megah hanya dijadikan sebagai tempat istirahat para pekerja yang telah kelelahan. Aku tidak pernah melihat ada warga yang sholat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan ramadhan, termasuk keluargaku. Mereka sudah jauh dari syari`at Islam. Mestinya di kampung ini ada seorang pahlawan yang bisa membimbing masyarakat menuju jalan yang lurus.

Berawal dari kegelisahanku itu, aku mencoba menyusuri kota-kota yang dihuni oleh para ulama`. Ku berjalan kaki menuju ke arah barat, berharap mendapat petunjuk Allah agar bisa mendapat tempat yang cocok untuk mendalami ajaran islam.

Di sebuah masjid jami`, aku melihat beberapa pemuda mengenakan kopyah, sarung, dan baju yang serba putih. Di mimbar masjid ada seorang paruh baya sedang bertausiyah tentang islam. Di pertengahan tausiyahnya ada seorang pemuda mengacungkan tangan dan menyampaikan sebuah pertanyaan seputar pembahasan. Tanpa waktu panjang, orang yang bertausiyah tadi langsung menjawab pertanyaan tersebut.

Aku tertarik untuk bergabung dengan mereka. Semua mata hadirin mengarah kepadaku. Mungkin karena wajahku baru tampak. Ku minta izin agar mereka merekomendasikan agar aku bisa bergabung di majlis tersebut. “Majelis ini untuk kalangan umum, disediakan bagi orang-orang yang ingin mendalami islam”, respon orang yang ada di mimbar itu.

Keinginanku untuk belajar islam akhirnya menjadi kenyataan. Di majelis ini aku dibimbing untuk belajar al-Qur an, hadist, fikih, tauhid, akhlak dan kitab-kitab berwarna kuning karangan ulama-ulama salaf. Aku diajari cara ibadah yang benar, keyakinan yang shohih dan akhlak al-karimah.

Setelah sepuluh tahun aku menuntut ilmu, aku kembali lagi ke kampung halaman untuk menyebarkan ilmuku kepada semua warga. Sebelum hal itu ku lakukan, aku teringat pada sejarah Nabi Muhammad yang menyebarkan islam dengan penuh kesabaran. Beliau pada awalnya berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Baru setelah itu menyebarkan secara terang-terangan kepada semua masyarakat Arab. Aku ingin mengikuti jejaknya. Oleh karena itu, terlebih dahulu ku ajak ayah dan ibuku untuk sholat yang notabenenya mereka sudah islam sejak lahir. Tapi, sayangnya mereka belum mengerti tentang islam.

“Ayah, ibu, dalam islam kita diperintahkan untuk shalat,” ucapku dengan halus.

“Kalau gak shalat emangnya kenapa?” Tanya ayahku.

“Dosa, Pak”.

“Aku tak peduli kau mau mengatakan dosa atau apa, aku gak mau sholat, malas, sholat sendiri saja kau, sok alim aja”, ungkapnya sambil menampakkan sifat keras kepalanya dan langsung membalikkan badannya menuju kamar.

“Nak, kamu yang sabar, ya!” Kata ibuku sambil mengelus kepalaku.

“Tapi ibu sholat, ya!” Pintaku dengan penuh harapan.

“Aku akan sholat, tapi ajari aku dulu.”

“Pasti, Bu. Itu memang tanggung jawaku.”

Alhamdulillah, akhirnya ibuku mau menerima ajakanku untuk mengerjakan sholat. Sejak saat itu, setiap pagi dan sore, ku ajari ibuku gerakan-gerakan sholat, doa-doanya serta cara berniat. “Allahu akbar”, ibuku mencoba membaca takbir. “Bismillahirrahmanirrahim”, ku bacakan awal surat al­-Fatihah untuknya. Setelah dua minggu belajar, akhirnya ibu bisa mempraktekkannya dengan sempurna.

Ibuku telah memulai kehidupan barunya. Aku menemukan teman untuk sholat berjama`ah. Setiap tiba waktu sholat, ku kumandangkan adzan dengan pelan-pelan dan ku lanjutkan iqomah untuk memulai sholat. Di belakangku , ibu siap untuk menjadi seorang makmum. Setiap selesai sholat aku merasakan sebuah kedamaian dan ketenangan.

Ketika ada beberapa aktivitas keluarga yang harus ditunda karena bertepatan dengan waktu sholat, ayahku mulai marah-marah.

“Nak! Kenapa kau ajari ibumu sholat? Kamu tahu gak, setiap aku mau makan siang dan malam, aku harus menyiapkan sendiri, tanpa ditemani seorangpun. Itu semua karena kau dan ibumu sibuk mengerjakan sholat. Aku tak mau tahu, pokoknya mulai besok kamu harus berhenti mengajari ibumu sholat.”

Aku hanya terdiam seribu kata. “Ya, Allah berikanlah petunjuk kepada ayahku ini”. Doaku dalam hati.

“Sudah, Pak. Jangan memarahinya.” Ibuku mendatangi kami dan mencoba mendinginkan suasana.

“Ya sudah, terserahI”. Kata ayahku dengan wajah yang merah padam. Lantas ayah meninggalkan kami berdua.

Aku belum mampu meluluhkan hati ayahku yang sekeras batu. Ku coba meminta ibuku agar mengajaknya dengan bijak dan menasehatinya dengan mau`idzatul hasanah. Akan tetapi hasilnya nihil. Ayahku tetap berpegang teguh kepada pendiriannya. Aku sempat bersedih karena tidak mampu mengajaknya untuk beribadah kepada Allah. Kesedihanku terobati ketika aku teringat kepada Nabi Muhammad yang tidak berhasil mengajak Abu Tholib untuk masuk islam, Nabi Nuh yang gagal menyelamatkan anaknya dari kesesatan dan Nabi Ibrahim yang tidak mampu membuat ayahnya meninggalkan berhala. Aku sadar bahwa Allah tidaklah memberi petunjukNya kepada orang yang kita senangi, tetapi petunjukNya diberikan kepada yang Dia kehendaki.

Hari berganti malam, malampun berganti siang. Ibuku yang selalu setia mendengarkan penjelasanku tentang islam, telah banyak mengerti tentang masalah akidah, ibadah dan akhlak. Dia telah mampu menghafal Aqoid al-Khomsin (kumpulan sifat-sifat Allah dan RasulNya yang berjumlah lima puluh). Akhlaknya kepada sesama maupun kepada Allah sudah mulai membaik. Dia telah mampu menjalin komunikasi kepada para tetangga dekat.

“Ibu, coba pengetahuan ibu tentang sholat dan semua yang kuajarkan disebarkan kepada ibu-ibu warga.” Pintaku pada ibu.

“Bagi warga yang laki-laki, biar aku yang bereaks,i” ucapku meyakinkannya.

“Demi untuk menyebarkan agama islam, menghidupkan agama Allah, meninggikan kalimatNya, aku siap berjuang,” kata ibu dengan penuh semangat.

Di tengah masyarakat yang awam, keras kepala dan mau menang sendiri, aku dan ibuku berjuang untuk menjaga mereka agar tidak tenggelam ke dalam jurang kesesatan. Kami berdua mengajak mereka sholat serta mengajari tatacaranya yang benar. Seperti yang kurasakan ketika mengajak keluarga, diantara merekapun ada yang menolak. Parahnya lagi ada yang mengancam dengan pembunuhan.

“Jika kau menggangguku, kupenggal lehermu”.

Seperti inilah kata-kata yang disampaikan oleh sebagian warga. Tapi, ancaman itu tidak memadamkan kobaran semangat yang telah mendarah daging di hatiku. Ini adalah sebuah perjuangan. Aku harus mengikuti jejak Rasulullah yang senantiasa menjaga keluarga dan warganya agar tidak terjerumus terhadap kesesatan.

Berkat petunjuk Allah akhirnya kampungku kelihatan lebih islami. Masjid dan musollah mulai terisi oleh warga yang hendak melakukan sholat. Perilaku mereka mulai baik dan ajaran islam mulai tampak berkembang.

Oleh : Ahmad Muzakki (Mahasiswa Fakultas Syari`ah jurusan AS Semester VIII IAI Ibrahimy Ponpes Salafiyah Syafi`iyah Situbondo Merangkap di Ma`had Aly Marhalah Ula), Img: AZSGVpHRnVE

Tinggalkan Balasan