Sang Proklamator tampak berkaos putih membaca buku
diterangi beberapa cahaya, entah lilin entah hati
Berkali-kali kulirik wajahnya, tidak benar-benar berseri-seri
Kemudian, sambil memandang ke arah jauh, ia menegurku
“Ada apa malam-malam kau ke sini?”
“Baca puisi,” jawabku gugup
“Baca puisi? Puisi apa? Sendirian?”
“Benar. Saya bersama teman-teman penyair yang lain hendak membacakan puisi menolak korupsi.”
Beliau diam, terus diam
memandang ke arah jauh, sangat jauh…
ke arah gunung, sawah, sungai, sumur, lautan
untaian zamrud nusantara
yang diperebutkan
yang dipertengkarkan
yang terus diintai dan dikuras diam-diam
Ada putih menebal di rambutnya, entah kabut entah uban
Ia masih diam, terus diam
memandang ke arah jauh, sangat jauh…
ke wajah-wajah legam orang Papua
ke dada-dada kerontang orang Maluku
ke bising mimpi-mimpi orang Sulawesi
ke hati-hati sunyi orang Kalimantan
ke mata-mata kosong orang Sumatera
ke kaki-kaki pecah orang Madura
ke tangan-tangan tak berdaya orang Nusa Tenggara
Selebihnya, ia menoleh ke tubuh-tubuh kalah
di sepanjang pulau Jawa dan Dewata
terjepit gedung-gedung megah
terlindas kendaraan-kendaraan mewah
membusuk dalam timbunan kertas-kertas rongsokan
kasus-kasus korupsi yang tak henti-henti
makan cawat dan minum air keruh kutang
dari perempuan-perempuan simpanan
petinggi negeri
Kemudian, tiba-tiba…
“Jangan kau kira aku mati
Aku bersama leluhur-leluhurmu yang lain
lebih dari sekedar membaca puisi
untuk menyelamatkan negeri ini”
Aku terdiam, sangat diam
berusaha karam
berusaha paham
Zainul Walid. Puisi yang sempat ditulis di Makam Bung Karno, Blitar, saat Road Show I Antologi Puisi Menolak Korupsi bersama 100 penyair Indonesia, 18 Mei 2013.