Format Pendidikan Keluarga Bermoral

0
793

Perbincangan masalah moral, akhir-akhir ini sangat marak diperbincangkan, baik dalam media massa, ataupun elektronik, bahkan berbagai penerbit telah menerbitkan buku-buku yang berisikan pentingnya pendidikan moral bagi bangsa. Kalau dipikir-pikir memang sangat ironi jika bangsa kita dicap sebagai bangsa yang tak bermoral atau tak berbudi pekerti.

Mengapa muncul stigma demikian, hal ini tidak lain karena kurangnya pendidikan moral dan kesadaran orang tua dalam membimbing putra-putrinya. Mereka (para orang tua) sibuk mengurusi urusan pribadi masing-masing, padahal pendidikan yang paling menyentuh dan mengena adalah pendidikan dari keluarga,

 Oleh karena itu tidak heran jika pendidikan keluarga disebut al-Madrasah al-Ula. Tentunya orang tua tidak akan rela atau tega membiarkan putra-putrinya terjerumus dalam hal yang buruk, terlebih-lebih hal itu dilarang oleh Agama. Untuk itu orang tua selaku pengemban amanat sebagai pendidik anak harus memiliki beberapa sifat terpuji yang bisa menjadikan panutan (uswah) bagi anak-anaknya :

  1. Bertanggung jawab, hendaknya orangtua memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam pendidikan anak, baik aspek keimanan, maupun tingkah laku kesehariannya, jasmani maupun ruhaninya, mental maupun sosialnya. Dengan memiliki sifat ini orang tua akan terdorong untuk mengawasi, memperhatikan dan mengarahkannya pada hal-hal yang mengandung nilai positif
  2. Bersikap lemah lembut,  seorang pendidik hendaknya bersikap lemah lembut (persuasif) dalam mendidik, dengan kelemah lembutan itu hati anak akan tergugah untuk mematuhi perintah dari sang pendidik, karena pada hakekatnya setiap jiwa menyukai kelamah lembutan, terlebih jiwa anak yang masih polos dan lugu. Sebaliknya mendidik dengan cara yang kasar sangat tidak efektif karena di samping membuat anak menjadi takut, juga dapat mempengaruhi psikogi anak itu sendiri, misal menjadi anak yang kurang percaya diri, minder, bahkan anak itu bisa memiliki jiwa pendendam. Berkaitan dengan sifat lemah lembut ini Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya. Dan tidaklah sifat lemah lembut itu tercabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk.” (HR. Muslim). Oleh karena itu, sifa lemah lembut ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau :”Bersikap lemah lembutlah, karena sesungguhnya Allah itu jika menghendaki kebaikan pada sebuah keluarg, maka Allah akan menunjukkan mereka kepada sifat lemah lembut ini.”(HR. Ahmad)
  3. Sabar, salah satu sifat yang tidak boleh tertinggal dalam diri seorang pendidik adalah sifat sabar, karena dalam proses pendidikan banyak terdapat tantangan, hambatan dan rintangan, baik dari diri pendidik sendiri maupun dari anak didik dan lingkungan sekitar. Menghadapi tantangan yang sedemikian komplek, orang tua tidak boleh putus asa dalam mendidik putra-putrinya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surat al-Imran ayat 200 : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”  juga dalam surat Yusuf ayat 86 : “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.  Kedua ayat diatas menegaskan kepada para orang tua (selaku pendidik) untuk tetap sabar dalam mengemban tanggung jawab sebagai pendidik putra-putrinya.
  4. Optimis dan Istiqamah, seorang pendidik tidk boleh gampang menyerah (pesimis) tapi hendaknya memiliki sifat optimis yang disertai dengan istiqamah (kontinyu), karena  disetiap kesulitan pasti ada kemudahan, dan disitulah pertolongan Alah swt datang, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Insyirah ayat 5-6 : “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan”. Ini merupakan motivasi bagi para pendidik untuk tidak putus asa (pesimis) untuk mengarahkan dan membimbing anak didiknya agar senantiasa berada dalam kebaikan dan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat.
  5. Penyayang, rasa sayang akan menimbulkan suasana hangat dan akrab antara pendidik dan yang didik, bahkan kasih sayang adalah salah satu sifat yang berpengaruh pada pembinaan mental dan jiwa seorang anak, bila anak itu senantiasa diberi kasih sayang, ia akan merasa tentram, damai dan selalu berpikir positif, tapi sebaliknya apabila anak kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, ia akan tumbuh secara menyimpang di tengah-tengah masyarakat, merasa rendah di hadapan teman-temannya dan hidup bebas tanpa aturan.  Rasa kasih sayang ini tercermin dalam hadis Nabi saw : diriwayatkan dari Anas bin Malik ra : seorang wanita mendatangi ‘Aisyah ra, kemudian ‘Aisyah memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberi tiap-tiap anaknya satu butir kurma dan menyisakan satu butir untuk dirinya. Kedua anak itupun memakan kurma tersebut kemudian melihat kurma yang ada pada ibunya. Kemudian wanit itupun membelah dua kurma tadi lalu memberi masing-masing setengah kepada kedua anaknya. Taklama kemudian Rasulullah saw datang, lalu ‘Aisyah menceritakan hal itu pada Rasulullah saw. Maka Rasulullah bertanya pada ‘Aisyah : Apakah kamu takjub (heran) melihanya? Sungguh Allah telah merahmatinya karena kasih sayangya pada kedua anaknya” (HR. Bukhari). Hadis ini menjadi pelajaran berharga bahwa orang tua harus memiliki sifat kasih sayang kepada anaknya.
  6. Permudahlah jangan persulit, Rasullah saw menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa memberikan kemudahan dalam melakukan sesuatu, begitu juga halnya dengan mendidik anak. Maka hendaknya pendidik, terutama orang tua harus memberikan kemudahan terhadap apa yang akan dilakukan si anak selama hal tersebut tidak masuk dalam perkara yang haram dan melanggar koridor syariat. Rasulullah saw bersabda : “permudahlah, jangan membuat sulit dan berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian membuat orang lain lari.”(HR. Bukhari dan Muslim).
  7. Mampu menahan emosi, seorang pendidik yang baik, hendaknya mampu mengontrol diri dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mudah marah. Karena mampu mengontrol diri dari emosi membawa dampak positif bagi dirinya sendiri dan anaknya, karena marah itu datangnya dari syaithan. Sebaliknya jika pendidik gampang terpancing emosi dan mudah marah,maka hal ini akan membawa dampak negatif baik bagi diri pendidik maupun bagi anak didik. Anak memilki perasaan yang peka, mereka bisa membedakan mana kemarahan dan mana nasehat yang disertai dengan kasih sayang. Oleh karena itu, hendaknya para pendidik terutama orang tua harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menahan emosi (marah). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw dimintai nasehat beliau bersabda : “Jangan marah” orang itu mengulanginya lagi, namun beliau tetap mengatakan :”jangan marah”  dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda : seorang yang pemberani bukanlah orang yang menang dalam gulat (berkelahi) tetapi orang yang dapat mengontrol diri ketika marah (HR. Bukhari dan Muslim).
  8. Bersikap proporsional dalam memberikan nasehat, terkadang nasehat memang diperlukan, apalagi nasehat yang bisa memotivasi untuk berbuat kebaikan, tetapi hendaknya harus proporsional (sesuai kebutuhan), karena semakin banyak kita memberi nasehat kepada anak didik, maka semakin besar pula peluang kebosanan bagi anak didik, sehingga apa yang dinasehatkan akan masuk melalui telingan kanan dan keluar melalui telinga kiri, dengan kata lain, nasehat tersebut tidak memberikan efek pada anak didik itu. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa ketika Abdullah bin Mas’ud memberikan pelajaran seminggu sekali setiap hari kamis. Ada seorang murid yang mengusulkan untuk memberikan pelajaran setiap hari. Abdullah bin Mas’ud menjawab : ”sesungguhnya yang menghalangiku untuk melakukakanya karena aku tidak suka melihat kalian bosan, aku membatasi diri dalam memberikan nasehat kepada kalian sebagaimana Rasulullah saw memberikan batasan dalam memberikan nasehat kepada kami karena beliau khawatir kami akan bosan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari pemaparan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan keluarga sangat penting (urgen) dalam membentuk kepribadian anak. Wallahu a’lam bisshawab. (Img: googleusercontent)

Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta dan Mahasiswa FAI prodi Tafsir Hadits Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta

Tinggalkan Balasan