(Telaah Kritis terhadap Keabsahan ‘Urf sebagai Dasar Pengambilan Keputusan Hukum)
Oleh: KH. Afifuddin Muhajir
Penulis adalah Katib Syuriah PBNU, aktif mengajar sebagai dosen di Ma’had Aly Situbondo dan Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo.
Hukum Islam menempati posisi diantara syari’at wadh’iyah (aturan produk manusia) dan syari’at samawiyah (ketentuan-ketentuan Agama samawi) sebelum Islam. Syari’at samawiyah selain Islam secara umum berwatak tegas, tegar dan konstan. Ini sangat logis dan masuk akal, karena Agama-Agama itu dikhususkan kepada suatu komunitas tertentu disuatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Jadi bersifat lokal dan temporal. Yang tidak masuk akal ialah bila ketagasan dan ketegaran itu berubah menjadi kekakuan dan kebekuan yang melampaui batas ketika menghadapi perkembangan zaman dan persoalan-persoalan baru, seperti kemajuan ilmu pengetahuan, sistematisasi ilmiyah dan kebebasan berfikir.
Bahwa ketegasan dan ketegaran syari’at menjelma menjadi kebekuan dan kekakuan bahkan kekerasan benar-benar telah menjadi fakta sejarah. Sebagai salah satu buktinya, penulis kemukakan disini reaksi keras dalam bentuk kutukan dan hukuman dari dewan Gereja Romawi kepada Copernicus, seorang astronomer besar abad 16 (tahun 1530 M) gara-gara salah satu teorinya di bidang astronomi yang dianggap bertentangan dengan Agama Kristen, yaitu bahwa bumi ini bergerak dan berputar mengelilingi porosnya dari Barat ke Timur.1[1]
Kebalikan dari itu adalah syari’at wadh’iyah. Sebagai aturan dan ketentuan yang murni produk pemikiran manusia, syari’at wadh’iyah memiliki kelenturan dan elastisitas yang tidak terbatas; gampang berubah, ditambah dan dikurangi. Bahkan undang-undang dasar yang merupakan induk aturan–aturan hukum tidak luput dari coretan pena Pemerintah yang sedang berkuasa atau dewan revolusi atau parlemen terpilih. Dampaknya rakyat tidak memiliki ketentraman hukum dan kepastian terhadap kaidah-kaidah hukum tertentu.
Syari’at Islam yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menjadi pegangan hidup bagi seluruh umat manusia di segala tempat dan waktu tampil dengan dua dimensi secara bersama-sama, yakni ketegaran dan kelenturan. Islam lahir dalam bentuknya yang sempurna dan tahapnya yang final. Hal ini dinyatakan di dalam al-Qur’an surah al- Mâidah ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu Agamamu dan telah kucukupkan kepadamu ni’matku dan telah kuridhoi Islam itu menjadi Agamamu”
Sempurna dan final disini bukan berarti tidak ada aktifitas lagi bagi kaum muslimin terkait persoalan syari’at Agamanya. Justru dibalik kesempurnaan dan finalitas Agama Islam bersembunyi fitalitas yang tidak ada habisnya dan aktifitas yang tidak ada akhirnya, suatu hal yang membuat perkembangan hukum Islam menjadi sangat semarak.
Dengan perpaduan antara sifat tegar dan lentur, syari’at Islam menjadi syari’at yang unik –ia bukan sesuatu yang cair yang mudah terhanyut dan bukan sesuatu yang beku yang selalu menentang arus. Ia adalah sesuatu dengan bergoyang yang penuh keseimbangan antara dua sifat tersebut.
Adanya perpaduan antara ketegaran dan kelenturan di dalam hukum Islam tidak bisa dipisahkan dari kebijakan al-Qur’an sebagai acuan utama syari’at Islam, yang tidak selalu memberikan aturan secara langsung melalui ayat-ayat juz’iyyah, melainkan sebagian besar ketentuan hukum Islam yang diyakini sangat syamil dan kamil acuan al-Qur’annya berupa ayat-ayat kulliyah (global). Sementara ayat-ayat yang masuk dalam kategori juz’iyyah tidak seluruhnya memberi aturan tegas dan pasti (قطعي الدلالة), akan tetapi banyak di antaranya yang membuka peluang adanya multi penafsiran (ظني الدلالة).
MEKANISME PENAFSIRAN DAN PENJABARAN
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkategori kulliyah dan ayat-ayat juz’iyyah yang berkategori dhanniyah sudah barang tentu memerlukan penjabaran dan penafsiran. As-Sunnah sebagai acuan kedua syari’at Islam telah ditunjuk oleh al-Qur’an untuk menjadi penafsir dan penjabar utamanya, selain tugasnya untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam al-Qur’an. As-Sunnah sendiri ternyata mengikuti jejak al-Qur’an di dalam menampilkan Hadits-Haditsnya. Maksudnya nash-nash Hadits ada yang kulli di samping yang juz’iy dan ada yang dhanny disamping yang qath’iy. Nash-nash yang juz’iy qath’iy dari al-Qur’an dan As-Sunnah melahirkan hukum-hukum yang tegar dan tegas, sementara nash-nash yang kully dan dhanny menjadi sumber hukum-hukum yang lentur dan berpotensi untuk dikembangkan.
Nash-nash kully menjadi sumber utama lahirnya kelenturan dan semaraknya perkembangan hukum Islam bisa diklasifikasi sebagai berikut:
- Nash-nash mujmal, seperti ayat-ayat yang memberikan ketentuan langsung tentang suatu persoalan dengan tidak memberikan rincian tentang syarat, rukun dan tata caranya. Seperti ayat-ayat tentang shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Ayat-ayat seperti ini hanya As-Sunnah yang dapat menjelaskannya. Dan sejauh apa yang sudah dijelaskan oleh As-Sunnah, kaum muslimin telah bisa mengamalkannya.
- Nash-nash kully yang berisi penjelasan tentang keabsahan dan kehujjahan dalil- dalil cabang (أدلة فرعية), seperti nash-nash yang menjelaskan kehujjahan ijma’, qiyas, ‘urf dan sebagainya. Dengan kehadiran dalil-dalil sekunder (أدلة ثانوية) seperti ini hukum Islam mampu menembus dan menerobos segala macam perkembangan kehidupan di segala zaman dan tempat.
- Nash-nash kully yang berwujud qaidah-qaidah kulliyah, yakni patokan-patokan umum yang bisa menjadi acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah far’iyah yang tidak terbatas jumlahnya, seperti beberapa contoh dibawah ini:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam Agama” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang kecuali apa yang menjadi kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
إِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli harus atas dasar rela sama rela”
لَا ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh menyakiti/membahayakan diri sendiri dan orang lain”
- Nash-nash yang berisi penjelasan maqashid al-syari’ah.
Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang berisi penjelasan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam ada tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai, juga banyak ayat-ayat yang berisi pernyataan bahwa Islam adalah petunjuk, obat dan rahmat. Dari itu semua para ulama sampai pada sebuah kesimpulan bahwa syari’at Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan (مصلحة) bagi umat manusia, secara dhahir batin, dunia akhirat.
Maslahah pada asalnya berarti kebaikan dan keuntungan. Akan tetapi maslahah yang bisa dijadikan dasar penetapan hukum bukan semata apa yang menurut penilaian manusia baik dan menguntungkan. Tentang apa yang dimaksud maslahah disini, kita banyak mendapat penjelasan dari Fuqaha’ dan Ushuliyyun. Al-Ghazali di dalam al-Mustashfa menjelaskan bahwa maslahah adalah terpeliharanya tujuan syara’, yakni terpeliharanya Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka setiap hal yang menjamin terpeliharanya lima dasar pokok tersebut adalah maslahah dan setiap hal yang mendorong terabaikannya lima dasar tersebut adalah mafsadah, sedang menolaknya menjadi maslahah.2[2] Asy-Syathibi di dalam al-Muwafaqat mengatakan sebagai berikut:
Maslahah yang mu’tabarah ‘indassyar’i adalah maslahah yang menjadi pendorong tegak dan stabilnya kehidupan dunia untuk persiapan hidup di akhirat. Hal ini tentu hanya bisa diketahui dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk yang digariskan oleh syari’ yang mengetahui maslahah itu.3[3]
Dengan mempertimbangkan unsur maslahah atau mafsadah yang melekat dengan perbuatan manusia, dalam hal-hal tertentu kita dapat menentukan status hukum perbuatan itu, meski tanpa ada acuan langsung dari al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil-dalil lain.
Prinsip mewujudkan maslahah sebagai tujuan syari’at mengandung konsekwensi dan implikasi yang amat luas, karena di atas prinsip ini terbangun beberapa kaidah ushuliyah, yaitu kaidah istihsan, kaidah syadduz dzari’ah dan keharusan memperhatikan ‘urf (tradisi) manusia. Yang disebutkan terakhir ini kami jadikan fokus pembahasan dalam makalah sederhana ini.
(Img: kafoor)