“Urf dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam”
Selain merupakan konsekwensi dari prinsip mewujudkan maslahah, keniscayaan memperhatikan ‘urf juga mendapatkan penunjukan langsung dari nash, misalnya firman Allah:
خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ
Dan sebuah Hadits yang dimauqufkan kepada Ibnu Mas’ud:
مَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka baik menurut Allah dan sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka buruk pula menurut Allah.”
‘Urf dalam istilah ahli hukum Islam ialah hal-hal yang diketahui bersama dan dijalani bersama oleh manusia berupa ucapan, perbuatan atau ketiadaan berbuat.4[1] Pada umumnya mereka tidak membedakan ‘urf dengan adat, namun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ‘urf dan adat merupakan dua istilah yang berbeda mafhumnya tapi sama mâshadaqnya.5[2] Maksudnya ‘urf dan adat mempunyai akar kata yang berbeda, ‘urf berasal dari kata معرفة atau عرفان yang berarti pengetahuan. Sedangkan adat berasal dari kata معاودة yang berarti pengulang-ulangan, akan tetapi apa yang disebut ‘urf dalam waktu yang sama disebut adat dan apa yang disebut adat dalam waktu yang sama disebut ‘urf.
Ulama ushul membagi ‘urf kepada dua bagian; ‘urf qauli (berupa ucapan) seperti kata “Mutakallim” secara lughawi berarti orang yang berbicara, secara ‘urfi berarti orang yang ahli ilmu kalam dan ‘urf ‘amali (berupa perbuatan) seperti tradisi bai’ al- mu’atahah (jual beli tanpa ijab qabul). Baik yang qauli maupun yang ‘amali, ‘urf terbagi kepada ‘urf khâsh (‘urf yang berlaku di ruang lingkup yang sempit) dan ‘urf ‘âm (‘urf yang berlaku di ruang lingkup yang luas). Ditinjau dari segi absah tidaknya dalam pandangan syara’ ‘urf dibagi kepada ‘urf fâsid, yaitu ‘urf yang bertentangan dengan ketentuan nash atau salah satu kaidah Syari’at dan ‘urf shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash dan kaidah Syari’at. ‘urf yang disebut terakhir inilah yang bisa dijadikan dasar penetuan hukum, sedang ‘urf yang fâsid harus diubah dan dirombak.
Dunia ini banyak menyaksikan ‘urf dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan ‘urf terjadi karena perbedaan waktu, tempat dan kepentingan manusia. Hukum Islam yang dibangun di atas petimbangan ‘urf bisa berubah mengikuti perubahan urf itu sendiri. Memang unik, syari’at Islam yang punya misi merombak tradisi dan budaya manusia dalam waktu yang sama menjadikan tradisi itu sebagai salah satu acuannya di dalam menentukan hukum.
Kitab-kitab fiqh dari berbagai madzhabnya sarat dengan produk hukum yang dibangun di atas pertimbangan ‘urf, yang oleh karenanya mempunyai potensi untuk berubah bila ‘urf yang menjadi pertimbangannya sudah berubah. Menghadapi realitas seperti ini, kita tidak boleh terlalu takut, tapi juga tidak boleh terlalu berani, harus bijak, tanggap, tidak apriori, tidak liberal, tetapi tidak konservatif, tidak terlalu cair yang sebentar-sebentar mau mengubah hukum dan tidak terlalu beku yang selalu pasang badan untuk menghadang setiap perubahan dengan dalih untuk menjaga kemurnian Islam. Sikap kaku seperti ini, meski dengan niatan yang baik belum tentu memberi manfaat, malah justru bisa membawa mudlarat dan mencoreng keindahan Agama itu sendiri. Barang kali ada gunanya, penulis kemukakan komentar para ulama tentang persoalan ini sebagai berikut :
Komentar al-Qarafi :
ان إجراء الاحكام التي مدركها العوائد مع تغير تلك العوائد خلاف الإجماع وجهالة في الدين.6[3]
“Tetap memberlakukan hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi, sementara tradisi itu sudah berubah adalah menyalahi ijma’ dan merupakan kebodohan dalam Agama.”
Komentar dari Ibnu al-Qayyim :
والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضيين.7[4]
“Sikap jumud dengan terus bertahan dengan nukilan-nukilan adalah kesesatan dalam Agama dan ketidakfahaman terhdap maksud tujuan ulama kaum muslimin dan para salaf zaman lalu.”
Komentar dari Ibnu Abidin :
ليس للمفتي الجمود على المنقول في كتب ظاهر الرواية من غير مراعاة الزمان واهله والا يضيع حقوقا كثيرة ويكون ضرره اعظم من نفعه[5]8.
“Mufti tidak boleh beku dengan (hanya menerima) apa yang dinukil di dalam kitab-kitab dhahir al-Riwayah, tanpa memperhatikan zaman dan manusia zaman itu. Kalau ini terjadi, maka akan banyak hak yang ia korbankan dan mudlaratnya lebih besar dari manfaatnya”.
Sebagai contoh, penulis kemukakan berikut ini beberapa produk hukum di dalam kitab-kitab fiqh yang dibangun di atas dasar ‘urf :
1. Di antara shighat jual beli murabahah ialah perkataan bâ’i’ : “بعتك بما قام علي” dengan shighat ijab seperti ini, maka musytari selain harus membayar harga mabî’, juga harus membayar semua beban biaya yang dikeluarkan oleh bâ’i’, seperti ongkos tukang takar, makelar, penjaga, pemutih kain, pencelup kain, dan semua pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan.9[6]
Mengomentari masalah ini, al-Qarafi berkata : “Rincian ini secara bahasa tidak dapat dipahami dari perkataan “بما قام علي”. Namun, jual beli ini bisa sah dengan menggunakan ibarat ini, kalau memang secara adat memberi pemahaman demikian, sehingga harga barang menjadi ma’lum. Dalam ‘urf zaman sekarang pemahaman seperti ini sudah tidak ada lagi, di pasar-pasar manusia sudah tidak lagi bertransaksi dengan menggunakan ibarat ini, sehingga harga barang tidak diketahui (majhul). Oleh karena itu, apa yang ada dalam kitab tentang sahnya jual beli tersebut tidak boleh difatwakan karena tradisinya sudah berubah.10[7]
2. Ulama Mutaakhkhirin dari kalangan Hanafiyah membolehkan pengajar al-Qur’an, imam shalat dan para muadzdzin memungut bayaran. Ini berbeda dengan pendapat ulama pendahulu mereka, yaitu Abu hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan yang sepakat tidak membolehkan hal tersebut. Perbedaan dalam soal ini antara Mutaqaddimin dan Mutaakhkhirin terjadi karena perbedaan ‘urf disebabkan perbedaan zaman. Di zaman Mutaqaddimin, para mu’allim, imam, dan muadzdzin mendapat kucuran rizqi dari negara yang cukup untuk kebutuhan hidup, sehingga mereka bisa berkonsentrasi melaksanakan wadhifah sebagai mu’allim, imam, dan muadzdzin. Sedangkan di zaman muataakhkhirin, kucuran rizqi seperti itu sudah tidak ada lagi, sehingga kalau memungut bayaran tidak dibolehkan dikahwatirkan tugas-tugas penting tersebut tidak ada yang melaksanakan.11[8]
3. Ada keterangan di dalam kitab “al-Mudawwanah” karangan Imam Malik begini ; “Bila seseorang berkata kepada isterinya yang sudah pernah didukhul, انت علي حرام atau خالية atau برية atau وهبتك لاهلك , maka terjadilah talak tiga meskipun dia tidak berniat talak tiga. Secara lughawi, shighat-shighat tersebut tidak menunjukkan arti talak, apalagi talak tiga, akan tetapi dalam ‘urf saat itu, lafadz-lafadz tersebut dikenal memiliki tiga makna ‘urfi, yaitu : pertama, lafadz tersebut bermakna insya’ bukan sebagai khabar. Kedua, makna lepasnya perlindungan terhadap perempuan sebgai isteri, ketiga, makna bilangan tiga. Dalam perkembangan berikutnya, ketiga makna urfi tersebut, terlepas semuanya dari lafadz-lafadz itu, sehingga yang tertinggal adalah makna lughawinya yang tidak punya konsekuensi apa-apa. Di dalam mengomentari masalah ini, al-Qarafi menyatakan bahwa pada masanya, orang-orang tidak lagi menggunakan shighat-shighat tersebut untuk keperluan talak dan tidak terdengar ada seseorang yang hendak mentalak isterinya menyatakan انت خالية atau وهبتك لاهلك. Namun al-Qarafi mengakui bahwa kata حرام dalam ‘urf di masanya tetap punya makna lepasnya perlindungan. Dengan demikian, lafadz ini menunjukkan talak satu.12[9]
4. Tentang zakat tanah pertanian yang disewakan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa beban kewajiban zakat pada tanah yang disewakan berada di atas pundak mu’jir (orang yang menyewakan), alasannya ialah bahwa zakat merupakan beban kepemilikan, sedang kepemilikan atas tanah di sini ada di tangan mu’jir. Namun kemudian, Abu yusuf dan muhammad bin Hasan memfatwakan pandangan yang berbeda. Menurut dua Imam ini, yang berkewajiban membayar zakat adalah musta’jir (orang yang menyewa), alasannya dua; pertama, bahwa ini lebih baik bagi kondisi zaman ketika itu, lebih banyak faedahnya, dan lebih manjur bagi pemberantasan kemiskinan. Kedua, bahwa zakat iu diambil dari tanaman, maka tidak bisa dipisahkan dari musta’jir sebagai pemilik tanaman.13[10]
Hukum Islam akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan situasi dan tradisi. Berikut ini penulis kemukakan beberapa contoh fiqh kontemporer yang perumusannya tidak terlepas dari pengaruh situasi dan tradisi masyarakat (‘urf) sebagai berikut;
1. Pada umumnya Fuqaha’ mewajibkan adanya ijab dan qabul di dalam setiap akad jual beli, alasannya ijab dan qabul merupakan satu-satunya qarinah yang mengindikasikan adanya taraddi (rela sama rela) yang dipandang sebagai prinsip yang tidak bisa ditawar dalam akad jual beli (إنما البيع عن تراض). Sekarang ini ada praktek jual beli dengan mengunakan koin. Dalam akad jual beli model ini yang ada hanya musytari, sementara bâ’i’ cukup diwakili alat elektronik, tempat memasukkan koin. Jika tindakan bâ’i’ dengan menyiapkan barang jualan berikut alat elektronik, tempat memasukkan koin, dan tindakan musytari dengan memasukkan koinnya ke dalam alat yang disiapkan oleh bâ’i’ telah menjadi ‘urf masyarakat, sekaligus menjadi qorinah yang mengindikasikan adanya taraddi dari kedua belah pihak maka jual beli model ini adalah sah.
2. Dalam persoalan تعليل الأحكام , pada umumnya ulama ushul berkesimpulan bahwa hukum harus dikaitkan dengan ‘illat (مظنة) bukan dengan hikmah (مئنة). Atas dasar ini, maka semua kendaraan yang lalu dijalan raya harus berhenti ketika lampu merah yang ada di jalan raya dalam keadaan menyala, termasuk di saat-saat kondisi lalu lintas sangat lengang seperti ketika larut malam, karena wajib tidaknya kendaraan berhenti dikaitkan dengan menyala tidaknya lampu merah sebagai ‘illat, bukan dengan khawatir tidaknya terjadi tabrakan sebagai hikmah. Akan tetapi bila di suatu daerah berlaku sebuah ‘urf, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan penegak hukum bahwa semua kendaraan berjalan terus meski lampu merah sedang menyala pada saat waktu telah larut malam, maka sepanjang ‘urf berjalan seperti itu, para pengendara yang tidak mengikuti petunjuk lampu merah tersebut tidak boleh dihukum.
3. Banyak cara yang dilakukan orang untuk memenuhi keperluan hidupnya, diantaranya dengan meminjam sejumlah uang sambil menyerahkan sawah atau kebun sebagai jaminan. Pada umumya, pihak penerima gadai (مرتهن) memanfaatkan barang gadai itu atau mengambil hasilnya, ini dilakukan bukan karena ada syarat atau perjanjian antara penggadai (راهن) dan penerima gadai, melainkan karena telah menjadi tradisi. Kaidah fiqhiyah yang konon didukung oleh jumhur fuqaha’ menyatakan “ tradisi yang berlaku umum di suatu daerah tidak berstatus sama dengan syarat/ perjanjian”. Dengan demikian pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai adalah boleh,14[11] meskipun sesungguhnya sangat eksploitatif dan mencekik. Suatu hal mesti diperhatikan adalah adanya ‘urf lain yang tidak terpisah dengan’urf di atas. ‘urf ini berkenaan dengan pemahaman masyarakat tentang hutang piutang dan gadai. Masyarakat sekarang memahami pemberian pinjaman dengan suatu jaminan (sawah atau kebun) sebagai salah satu cara mendapatkan keuntungan, bukan sebagai sarana untuk membantu orang yang memerlukan pinjaman. Maka dengan realitas ini dan dengan adanya unsur eksploitasi yang mencekik, penulis berpendapat bahwa pemanfaatan barang gadai oleh murtahin tidak boleh.
4. Soal kepemimpinan perempuan, tentu tidak bisa disamakan antara ‘urf kerajaan Persi yang menjadi latar belakang (sabab al-wurud) munculnya hadits “لن يفلح قوم ولوا أمرهم إمرأة” dan ‘urf negara Indonesia yang berbentuk Republik. Seorang presiden di Republik ini tidak menjadi satu-satunya penentu kebijakan negara, berbeda dengan seorang Raja atau Ratu di suatu negara Kerajaan seperti Persi.
[1] Abd. Wahhab Khalaf, Ilmu UshulFiqh, hal. 89
[2] Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Nadharât fî ushûl al-fiqh, hal. 155.
[3] Al-Qarafi, al-Ihkam fî Tamyîz al- fatawa ‘an al- Ahkam, hal. 231.
[4] Ibn al-Qayyim, a’lam al-Muwaqqi’in, Juz, III, hal. 99.
[5] Ibn Abidin, Nasyr al-“urfi, Juz II, Hal. 113.
[6] Al-Nawawi, Minhaj al- Thalibin dalam syarah as-Syiraj al-Wahhaj, hal. 195
[7] Al-Qarafi, , al-Ihkam fî Tamyîz al- fatawa ‘an al- Ahkam, hal. 235.
[8] Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Nadharât fî ushûl al-fiqh, hal. 205
[9] Al-Qarafi, , al-Ihkam fî Tamyîz al- fatawa ‘an al- Ahkam, hal. 236.
[10] Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al- Fiqh al- Islamy, Juz II, Hal. 837.
[11] Al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nadhair, Hal. 67