Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, demikianlah nama lengkap Imam al-Ghazali. Beliau dilahirkan di Kota Thus pada tahun 450 H/1058 M. Sebelum kelahirannya, daerah tersebut banyak melahirkan pribadi-pribadi ternama seperti penyair Firdawsi (w. 1025) dan negarawan Nidham al-Mulk. Lingkungan pertama yang membentuk kesadaran al-Ghazali adalah lingkungan keluarga sendiri. Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thus[i].
Pengembaraan al-Ghazali dalam mengarungi luasnya samudera ilmu dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, al-Ghazali pergi ke Jurjan untuk menimba ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Pada usia 19 atau 20 tahun, al-Ghazali mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam al-Haramain yang dikenal dengan nama Imam al-Juwaini. Beliau belajar dengan penuh kesungguhan, sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fiqih madzhab Syafi’i, fiqh khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, dan hikmah.
Dengan kehebatan yang dimiliki al-Ghazali, membuat Imam Juwaini menjadi kagum. Kehebatan al-Ghazali lalu makin tampak ketika al-Ghazali menulis sebuah karya yaitu, al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul, yang membahas tentang metodologi dan teori hukum Islam. Karena kecerdasannya ini, beliau diangkat sebagai asisten al-Juwaini dan terus mengajar di Naisabur hingga al-Juwaini wafat pada 1085.
Sepeninggal al-Juwainy, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para sarjana. Di sisnilah ia berjumpa dengan Nidham al-Mulk, seorang perdana menteri yang sangat perhatian dalam pengembangan keilmuan. Tentu kehadiran al-Ghazali disambut baik oleh wazir ini dan beliau disuruh untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyyah yang didirikan pada tahun 1065 M. Sudah bisa dipastikan bahwa karena kedalaman ilmunya, semua pelajar mengakui kehebatan dan keunggulan beliau. Dengan demikian, jadilah al-Ghazali sebagai Imam di wilayah Khurasan ketika itu. Ia tinggal di kota Mua’skar hingga berumur 34 tahun. Melihat kepiawaian al-Ghazali dalam bidang fiqh, teologi, dan filsafat, maka Nidham al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar teologi dan rektor di Madarasah Nidhamiyyah. Pengangkatan ini terjadi pada 484 H/1091 M. Jadi saat menjadi guru besar (professor) al-Ghazali baru berusia 34 tahun[ii].
Selama tinggal di Baghdad, al-Ghazali meniti karir akademiknya hingga mencapai kesuksesan, dan mengantarkannya menjadi sosok atau tokoh terkenal di seantero Irak. Dalam waktu yang sama, secara otodidak, ia memperdalam filsafat dan menulis beberapa buku. Dalam tempo kurang dari dua tahun, ia sudah menguasi filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah oleh para filsuf Muslim (falasifah) semisal al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037), Ibn Miskawayh (936-1030), dan al-Ikhwan as-Shafa[iii].
Penguasaannya di bidang filsafat ini dibuktikannya dengan peluncuran karyanya, Maqashid al-Falasifah. Buku ini berisikan uraian tentang logika, metafisika, dan fisika. Kemampuannya di bidang ini diselaraskan dengan misi penguasa dan ulama, yakni mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggap berbahaya bagi agama. Oleh karena itu, ia menulis karya keduanya di bidang filsafat juga, yaitu Tahafut al-Falasifah. Sekalipun karya kedua ini dimaksudkan untuk menunjukkan berbagai kesesatan atau inkoherensi dalam filsafat itu sendiri. Namun, menarik untuk dicermati bahwa kritik al-Ghazali terhadap filsafat ini pada saat yang sama, sebenarnya ikut memperkenalkan filsafat kepada masyarakat. Sebab, al-Ghazali menjelaskannya secara rinci kepada mereka yang bukan filsuf[iv].
Walaupun al-Ghazali tampak banyak mencurahkan perhatiannya pada filsafat, ia masih tetap mendalami bidang fiqh dan kalam, dan menghasilkan pula karya-karya yang sangat berkualitas, baik di bidang fiqh seperti al-Wajiz, al-Wasit, al-Basit, maupun di bidang kalam seperti al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dengan demikian al-Ghazali merupakan sosok intelektual yang menguasai banyak disiplin keilmuan. Di samping itu beliau juga dekat dengan penguasa. Sehingga wajar jika ia sangat cepat meningkat popularitasnya. Pada saat-saat inilah beliau mencapai puncak karirinya.
Pada tahun 1095, al-Ghazali secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad. Dia meninggalkan posisi yang strategis akademik-politik yang sedemikian memuncak ini dengan segala popularitas yang menyertainya. Dia bahkan juga meninggalkan keluarga dan kemewahan menuju Damaskus untuk menjalani suatu kehidupan yang sama sekali lain dari kehidupan sebelumnya. Al-Ghazali menempuh sebuah kehidupan sebagai seorang sufi dan zuhud. Al-Ghazali menyadari ada perbedaan antara pengetahuan teoritis dan pengetahuan yang disadarinya. Baginya, satu-satunya cara untuk mencapai kebahagian nanti di akhirat, hanya terletak di jalan kaum Sufi. Untuk itu, menurutnya perlu usaha untuk meniadakan segala macam bentuk penyakit hati, seperti sombong, ketertarikan pada dunia, dan sebagainya. Lalu menghiasi hati dengan mengingat Tuhan secara terus menerus.
Oleh karena itu, kedudukan dan ketinggian jabatan yang beliau terima selama ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya[v].
Pada tahun 489 H, beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali lagi ke Damaskus untuk beri’tikaf di menara barat Masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di Masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Di sanalah karya yang paling fenomenal tercipta, yaitu kitab Ihya Ulumiddin. Selain itu, di sana beliau juga mengarang kitab Al Arba’in, Al Qisthas dan Mahakkun Nadzar.
Setelah sekian lama meninggalkan Nidhamiyyah, al-Ghazali lalu memutuskan untuk kembali mengajar di sana. Menurut pengakuannya sendiri, timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa ia harus keluar dari ‘uzlah (pengasingan diri), karena terjadi dekadensi moral di kalangan masyarakat. Bahkan sudah sampai menembus ulama, sehingga diperlukan penanganan yang serius untuk mengobatinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhr al-Mulk (putra Nidham al-Mulk), untuk mengajar lagi di Madrasah Nidhamiyyah Naisabur tersebut. Tentu saja, motivasi yang mendorongnya kali ini berbeda dari sebelumnya.
Hanya saja, di tempat ini pun al-Ghazali mengajar tidak terlalu lama, sebab ia merasa harus kembali ke tanah kehirannya, Thus. Di Thus inilah ia membangun sebuah madrasah untuk mengajar Sufisme dan Teologi serta membangun sebuah Khanaqah sebagai tempat praktikum para sufi yang berada di samping rumahnya. Kegiatan ini berjalan terus sampai akhirnya pada 14 Jumadil Akhir 505/19 Desember 1111, al-Ghazali wafat dalam usia 55 tahun, dan dimakamkan di daerah asalanya sendiri, yaitu Thusi.
Prestasi yang dimiliki oleh al-Ghazali, tentunya tidak akan lepas dari hal-hal negatif yang melingkupinya. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa al-Ghazali disanjung setinggi langit, berkat keahlian beliau pada semua bidang keilmuan. Ternyata, sosok al-Ghazali tetaplah ia sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kritikan dan sanggahan. Ada beberapa pemikir lain yang mengkritik pemikiran dan konsep-konsepnya, di antaranya.
Abu Bakar al-Tharthusyi al-Maliki (w. 520 H) menuduh al-Ghazali telah meninggalkan keilmuan menuju amal, dan menerjuni ilmu-ilmu batin dan hati serta bisikan-bisikan syetan. Kemudian ilmu-ilmu ini dicampur dengan pendapat para filosuf dan simbol-simbol al-Hallaj, sehingga al-Ghazali mencerca para ahli fiqh dan ilmu kalam. al-Tarthusyi mengatakan “al-Ghazali tidak akrab dengan ilmu-ilmu tasawwuf dan tidak mendalaminya.”[vi] (Img: aburedza)
[i] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman( Islamika: Yogjakarta 2004), hal 35
[ii] Sibawaihi, Op.Cit., hal 37
[iii] Ibid
[iv] Ibid, hal 38
[v] Abu Hamid al-Ghazali,Ihya’ Ulumiddin (Dar Kutub: Lebanon, 1989), hal 5
[vi] Yusuf al-Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran al-Ghazali( Risalah Gusti : Surabaya, 1997), hal 116