Membangun Manusia Bermoral Versi Imam Al-Ghazali

1
918

Suatu hari, imam al-Ghazali mengisi kuliah. Murid-muridnya mengitarinya. Lalu, beliau bertanya kepada murid-muridnya:Apa yang paling dekat dengan kita di dunia ini?” Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, sahabat, kerabat, tetangga dan sebagainya. Al-Gazhali membenarkan semua jawaban itu. “Tetapi, yang paling dekat dengan kita di dunia ini adalah kematian sebab Tuhan telah berjanji bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati”.

Semenjak makluk yang disebut manusia sadar akan kemanusiaannya, mati menjadi persoalan. Apa sebabnya? Pertama, karena hal itu pasti akan dialaminya. Cepat atau lambat, setiap jiwa pasti akan mati, soalnya hanya waktu. Kedua, mati soal ghaib, yang menurut peristilahan Islam masuk dalam katagori ghaib hakiki. Apa hakikat mati? Apa yang akan terjadi setelah mati? Bagaimana nasib manusia setelah mati? Karena mati berkaitan dengan nasib setiap individu, maka ia jadi persoalan setiap manusia.

Hanya saja, karena biasanya orang sibuk dan asyik memperjuangkan nasib yang lansung dihadapinya, ia lupa memikirkan soal yang menyangkut nasibnya nanti, setelah mati. Disamping itu, soal tersebut mengendap di bawah alam sadar, sehingga ia jarang muncul dalam alam kesadaran. Dengan mengingat mati orang akan berhati-hati dalam bertindak karena setelah kematian ada masa dimana manusia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia.

 

Kedua, al-Gazhali bertanya: Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab Negara Cina, bulan, matahari, bintang-bintang dan sebagainya. Al-Ghazali membenarkan semua jawaban muridnya. “Tapi, yang paling jauh dari kita adalah masa lalu kita. Bagaimanapun, apapun kendaraan yang kita pakai, tetap tidak akan sanggup kembali kemasa lalu. Karenanya, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan amalan yang akan menjadi bekal kita kelak”.

Masa lalu, hal yang telah lampau atau kita sering menyebutnya dengan istilah “pengalaman”, sepatutnya menjadi pelajaran bagi kehidupan kita untuk melangkah kedepan. Baik-buruk, bahagia-sengsara, dan untung-rugi yang telah kita alami semuanya itu mempunyai mamfaat bagi kehidupan kita saat ini, di sini dan nanti. Tetapi merupakan suatu kerugian yang besar apabila orang terlena dengan masa lalu, dengan kesuksesan yang pernah dia raih atau dengan penderitaan yang pernah dia dapatkan. Banyak orang, perusahaan, bisnis, organisasi, dan negara yang bangkrut menjadi bubar kerena mereka terlena dengan kegagalan atau kesuksesan di masa lalu.

Ketiga, al-Gazhali meneruskan pertanyaannya: Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, matahari, dan sebagainya. Semua jawaban itu dibenarkan oleh al-Gazhali. “Tapi, yang paling besar dari apa yang ada di dunia ini adalah hawa nafsu. Maka, berhati-hatilah dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka”. Ketika manusia telah dikuasai oleh hawa nafsu, maka sifat kemanusiaanya menjadi hilang, dia menjadi seperti hewan. Yang dipikirkan hanya dirinya, tak peduli apa yang dilakukannya merugikan atau merampas hak orang lain.

Keempat, al-Gazhali bertanya, Apa yang paling berat di dunia ini?” Muridnya ada yang menjawab baja, besi, batu besar, gajah, dan sebagainya. Al-Gazhali berkata”, Semua jawaban hampir benar, namun yang paling berat adalah memegang amanah. Gunung, bintang binatang dan malaikat sekalipun tidak mampu memikul amanah ketika Allah meminta mereka menjadi khalifah di dunia. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah itu. Tuhan pun mengatakan manusia itu adalah makluk yag bodoh, sehingga banyak dari mereka masuk neraka karena tidak sanggup memegang amanahnya.

Kelima, pertanyaan al-Gazhali berikutnya: Apa yang paling ringan di dunia ini? ada yang menjawab kapas, angin, debu, daun-daunan, dan sebagainya. Kata Imam al-Ghazali, “semuanya benar, namun yag paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan shalat”. Betapa banyak umat Islam saat ini yang tidak melaksanakan shalat. Dan yang melaksakannya, tidak pula melaksakan seluruh ibadah. Pelaksanaan shalat membeku menjadi tradisi. Mereka melaksanakannya tampa mengerti dan menghayati. Karena itu tidak lahir kesadaran dari ibadat itu. Tampa kesadaran kemauan tidak terbentuk. Manakala kemauan Islam untuk menciptakan kehidupan yang salam tidak ada dalam diri, tak mungkinlah memancar iman dan amal saleh dalam perbuatan.

Keenam, pertanyaan terakhir al-Ghazali: “Apakah yang paling tajam di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. “Benar, tapi yang paling tajam adalah lidah manusia. Karena lidahnya, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. Bahkan tidak sedikit permusuhan dan pertumpahan darah terjadi karena fitnah lidah”. Lidah memang tak bertulang, segala ucapan bisa keluar darinya, baik-buruk, hinaan-pujian, fitnah, dan lain sebagainya. Orang yang sering menggunakan lidahnya untuk berbohong, mencela dan perkataan buruk lainnya akan dimusuhi dan dijauhi oleh teman-teman dan lingkungannya.

Melihat fenomena masyarakat Indonesia saat ini sepatutnya apa yang disampaikan oleh al-Ghazali perlu kita perhatikan dan renungkan. Semoga bermamfaat. (Img: 3KiRaC8KRRQ)

Oleh: Teuku Saifullah, Peneliti di Farabi Institute IAIN Walisongo Semarang

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan