Merana Ditinggal Jamaah

0
449

Para salafussalih memang orang-orang yang berpegang teguh dan berkomitmen penuh dalam menjalankan ajaran agamanya, terutama soal ibadah. Jangankan yang wajib, ibadah sunnah tak pernah alpa mereka kerjakan sebagaimana ibadah wajib. Tak ayal, jika ada satu ibadah saja yang tertinggal, mereka seolah tertimpa musibah yang sangat besar.

Dalam hal shalat berjamaah, misalnya. Mereka sangat intens mengerjakan salah satu syiar Islam tersebut. Semua berlomba-lomba untuk mendapatkan fadhīlah 27 derajat. Ketika terlewatkan, mereka sangat bersedih menyesali kelalaian yang telah mereka perbuat. Abdullah bin Umar ra suatu ketika tidak melaksanakan shalat isya’ berjamaah. Demi menambal kelalaiannya itu, beliau melakukan shalat sunnah semalam suntuk hingga terbit fajar.

Yang musykil adalah kejadian yang dialami oleh Umar al-Qawārīry. Suatu malam ia kedatangan tamu dan sibuk melayani mereka. Setelah tamunya pulang, ia kemudian pergi menuju masjid. Ternyata, masjid sudah tutup. Jamaah masjid sudah selesai menggelar shalat jamaah isya’. Melihat ini, Umar al-Qawāriry kecewa. Ia pulang dengan hati sesak dan perasaan merana.

Di perjalanan pulang, ia teringat dengan sebuah hadits yang mengatakan bahwa pahala shalat jamaah adalah 27 derajat dibandingkan shalat sendirian. Sesampainya di rumah, ia pun melakukan shalat isya’ sebanyak 27 kali. Seusai melaksanakan shalat yang melelahkan tersebut, ia tidur.

Dalam tidurnya, ia bermimpi dirinya sedang menaiki kuda. Di depannya, ada sekelompok orang yang juga menunggangi kuda. Ia berusaha mengejar kelompok tersebut, namun tak kesampaian.

“Engkau takkan bisa menyusul kami.” Kata salah seorang di antara mereka kepada Umar.

“Mengapa begitu?” tanya Umar heran.

“Kami melakukan shalat isya’ berjamaah, sedangkan dirimu melakukannya sendiri.”

Seketika itu Umar terbangun dan benar-benar sedih.

(disarikan dari kitab Minah as-Saniyyah ‘alā al-Washiyyah al-Matbūliyyah karya Syeikh Abdul Wahhab as-Sya’rāny, h. 13).

Misteri Lima Jari

Sebut saja Udin Makmur, salah seorang santri asal kota Gandrung Banyuwangi . Di mata teman-temanya, dia termasuk santri yang terkenal kocak, humoris, dan rada-rada usil. Parasnya yang elok jelita membuat ia juga menjadi idola para santriwati.  Tidak hanya itu, pemuda setengah baya ini juga terkenal sangat ambisius dalam segala hal. Apapun yang menjadi keinginannya harus terpenuhi dalam waktu yang sesingkat-singkatnnya. Sehingga pada suatu hari, dia mempunyai hasrat yang sangat luar biasa, yakni ingin tahun kapan dia bakalan mati.

Untuk mewujudkan harapannya ini, berbagaimacam daya dan upaya dilakukan, namun semuanya tidak menuai hasil. Karena tak kunjung menemukan kejelasan, dia bermunajat minta petunjuk kepada Allah Swt. Sesaat kemudian dia terlelap. Dalam tidur pulasnya dia bermimpi bertemu dengan malaikat maut berwujud manusia biasa.

Tahu bahwa itu dalah malaikat maut. Di dalam mimpinya itu, Udin Makmur bertanya: “Kapan saya meninggal wahai malaikat Azrail?” Sembari melempar senyum sinis, sang Malaikat mengakat lima jari kanannya. Melihat jawaban Mailakat yang demikian, seketika itu juga Udin Makmur terjaga dari tidurnya. Penuh keheranan, dia merenung menapsiri makna mimpinya tersebut. Tanpa berpikir panjang, Udin Makmur sampai pada sebuah kesimpulan bahwa lima jari yang ditunjukkan oleh malaikat bermakna bahwa usianya tinggal lima hari lagi.

Sadar bahwa usianya tinggal lima hari, hari-harinya diisi dengan ibadah, istigfar, dan berzikir. Makan dan minum kini tak dihiraukan lagi, masuk madrasahpun enggan. Yang ada dalam pikirannya hanya mati. Hal ini tentu membuat teman-temannya yang lain merasa heran dengan perubahan sikap si Udin. Masjid dan Mushola adalah tempat ternyaman untuk bermunajat sepanjang waktu agar dia wafat dalam kondisi husnul khotimah.

Singkat cerita, di hari yang kelima sikap Udin semakin aneh, air mata tidak henti-hentinya bercucuran dari matanya. Satu persatu teman-teman dia datangi untuk minta maaf atas segala dosa dan khilaf. Melihat sikap udin yang semakin aneh ini, salah seorang santri melaporkannya kepada pak Kiai.

Udin pun dipanggil oleh sang Kiai, “Kamu kenapa Din kok kayak gitu” Tanya kiai dengan tegas. Dengan terbata-bata Udin menjawab, “Aaanu Kiai, Saya bermimpi kalau umur saya tinggal empat hari lagi” Kiai kembali bertanya kepada Udin, “Emang seperti apa mimpimu?” Udin juga menjawab lagi, “Saya bertemu dengan malaikat maut, dan saya bertanya kepadanya kapan saya akan mati. Dia menjawab dengan menunjukkan lima jarinya” “Ooooooo….! itu, kalau itu kamu salah Din” Ungkap kiai sembari melepas senyum.

Akhirnya Kiai menjelaskan bahwa makna dari mimpi itu adalah ada lima hal yang tidak diketahui oleh manusia kecuali Allah Swt Sendiri. Pertama adalah jodoh, kedua Ajal atau mati, ketiga adalah rizki, keempat adalah kelahiran, dan kelima adalah umur. Udin Makmur, “.….???????????????????????

 (Img: ustazidrissulaiman.)

Tinggalkan Balasan