Misteri di Balik Timbangan dan Takaran

0
1213

Berbicara tentang menimbang dan menakar, erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi telah ada sejak dulu, hanya saja istilah ekonomi masih belum dikenal dan belum menjadi disiplin ilmu tersendiri.  Jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang lain, seperti kedokteran, hukum, dsb. kegiatan ekonomilah yang pertama kali terlahir, Karena Keberadaannya lahir serentak dengan terbitnya matahari kemanusiaan, yaitu puluhan ribu tahun yang silam. Keberadaannya juga telah dirasakan sangat penting sejak nabi Adam as. diturunkan ke bumi bersama istrinya. Kebutuhan mereka akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal telah memaksa mereka untuk bergumul dan bergaul dengan masalah-masalah ekonomi.    [1]

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan terlepas dari kegiatan ekonomi, karena dipundak mereka ada beban nafkah yang harus ia berikan kepada istri, anak, dan kerabatnya. Sehingga untuk memenuhi hal itu manusia harus berinteraksi dengan orang lain.

Dalam mencapai tujuan, manusia yang satu dengan yang lain memiliki cara sendiri-sendiri. Sebagian dari mereka memilih untuk bercocok tanam (bertani), memproduksi barang, dan ada pula yang lebih asyik berdagang (berniaga). Semua cara ini baik dan mulia jika dilakukan sesuai prosedural yang ada. Landasan tiga cara ini adalah sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang pekerjaan apa yang paling utama dilakukan, kemudian Nabi menjawab; pekerjaan seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur.

Tiga cara di atas menjadi prioritas dalam kegiatan ekonomi karena ketiga-tiganya kerap kali menjadi pilihan utama ulama-ulama terdahulu, bahkan Nabi dan sahabatnya tercatat sebagai pelaku utamanya. Nabi sukses dalam berdagang, Abu Bakar  ra. menjalankan usaha perdagangan pakaian, Umar ra. memiliki bisnis perdagangan jagung dan Utsman ra. juga memiliki usaha perdagangan pakaian[2]. Hal ini menunjukkan bahwa generasi islam tidak kekurangan figur dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam perdagangan.

Mengingat keberadaannya yang telah berabad-abad, kegiatan ekonomi sarat dengan peristiwa-peristiwa yang bernuansa sejarah. Keberadaannya telah banyak diwarnai peradaban dari masa ke masa sehingga, tahun demi tahun format dari kegiatan ekonomi selalu mengalami perubahan. Hal ini memberikan perhatian khusus kepada kita untuk selalu menelaah sejarah-sejarah umat terdahulu dalam kegiatan ekonomi yang mereka jalankan.

Sejarah kelam penduduk Madinah dan kaum Nabi Syuib as, tercatat sebagai sejarah yang patut dijadikan sebuah pelajaran dan sebagai peringatan terhadap umat-umat berikutnya. Allah telah membinasakan mereka akibat tindakannya yang sok dalam hal menimbang dan menakar. Mereka menganggap dirinya sebagai yang berkuasa dan berbuat semena-mena tanpa memerhatikan hak orang lain. Jika mereka menimbang mereka mengurangi timbangan dan takarannya, dan ketika berada diposisi pembeli, mereka meminta  agar takaran dan timbangannya dipenuhi. Tentu ini tindakan yang merugikan salah satu pihak.

Timbangan dan takaran adalah dua hal yang harus diperhatikan oleh penjual demi kepuasan pembeli. Pembeli akan merasa puas jika dalam transaksi yang ia lakukan transparan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Salah satu bentuk ketransparanan adalah penjual tidak mengurangi timbangan atau takarannya. Maka dari itu, Nabi bersabda “Sesungguhnya kalian diserahi dua perkara yang telah mencelakakan umat-umat terdahulu”,  Ini menunjukkan bahwa sejak awal Nabi telah mewanti-wanti kepada meraka (para penjual) bahwa kebanyakan umat-umat sebelumnya celaka sebab dua perkara itu yakni timbangan dan takaran. (al-Jami’ al-Shohih Sunan al-Turmudzi, juz 3 hal 217).

Dari saking pentingnya memperhatikan timbangan dan takaran, Allah menyinggungnya ± 4 kali di dalam Al-Qur’an. Berikut firman Allah dalam ayat al-Isra’, ayat 35 yang artinya Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” , surat al-An’am ayat 152 yang artinya Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”, surat al-Rahman ayat 9 yang artinya “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”, dan surat al-Muthoffifin ayat 1-4 yang artinya “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”

Berulang-ulangnya penjelasan di dalam Al-Qur’an tentang suatu persoalan menunjukkan tingkat keseriusan dari persoalan tersebut. Dalam hal timbangan dan takaran, Allah sebut berkali-kali dalam firman-Nya. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah sangat serius dalam mengatur hubungan antara sesama. Karena jika tidak demikian, tentu dalam transaksi ada salah satu pihak yang dirugikan dan hal ini tidak diharapkan oleh syari’at. Nabi bersabda, bahwa akad jual beli harus dilaksanakan atas dasar suka rela. Maka dari itu, konsep dasar dalam bertransaksi harus ada kerelaan antara penjual dan pembeli dan tidak menimbulkan spekulasi (ketidak jelasan) dalam transaksi.

Realita yang terjadi di masyarakat kini keadaannya sangat memprihatinkan. Ada sebagian dari mereka yang terbiasa mengurangi atau mengubah timbangan dan takarannya dari bentuk yang normal. Demi keuntungan yang cukup besar dan menjanjikan, mereka rela menerobos rel-rel syari’at yang telah ditetapkan. Mereka sama sekali tidak memperhatikan kepuasan dan kekecewan pembeli. Padahal dalam transaksi, penjual dan pembeli sama-sama mempunyai hak yang harus dipenuhi satu sama lain.

Secara sosial, kondisi penjualan semacam ini akan mengantarkan terhadap ketidakharmonisan antara penjual dan pembeli. Pembeli ogah untuk kembali membeli barang-barangnya. Memang, selama pembeli tidak tahu terhadap apa yang dilakukan oleh penjual tidak akan menjadi masalah. Tetapi ingat, pembeli tidak semuanya bodoh yang bisa dikibuli terus menerus. Pada saatnya nanti mereka akan komplain. Mereka akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah diperlakukan kepada dirinya. Intinya, jika perdagangan semacam ini diterusberlangsungkan maka bukan keuntunganlah yang akan diraup tetapi kehancuranlah yang telah menunggu.

Sementara jika ditinjau dari aspek hukum, tentu penjualan semacam ini tidak dibenarkan oleh syari’at. Apapun alasannya, kalau diantara hak penjual dan pembeli tidak terpenuhi maka suatu transaksi dinyatakan tidak sah.

Sebagai tindakan preventif, penjual setidaknya tidak terlalu mengedepankan keuntungan yang besar, karena dibalik itu semua ada hal yang lebih penting diperhatikan yaitu kepuasan pembeli. Pedagang yang sukses bukanlah pedagang yang banyak mengambil keuntungan tetapi pedagang yang bisa membuat pembeli merasa puas. Wallahua’lam….

Oleh: Hafidz Wahyudi,  mahasiswa fakultas tarbiyah IAI Ibrahimy dan Mahasantri Marhalah ula Sukorejo Situbondo Jatim, Img: tribunnews.


[1] Suherman, Pengantar Teori Ekonomi , Raja Walipress, Jakarta, 2005, hal 3

[2] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2004, hal 49

Tinggalkan Balasan