Realitas di Masyarakat
Sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat bahwa memberlangsungkan pesta pernikahan adalah salah satu ajaran Islam. Bahkan untuk di Indonesia, pesta pernikahan tidak hanya sekedar sebuah ajaran adiluhung agama, tetapi sudah menjadi kearifan lokal trans nasional yang sudah turun-temurun diwariskan secara massif dan sudah mengakar kuat. Realitas ini menunjukkan bahwa budaya lokal telah ikut ambil bagian dalam menyuseskan momentum ini.
Berjuta suku, ras, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia serta ditopang oleh luas wilayah yang tebentang dari sabang sampai merauke, telah membuka kran kemajemukan model pesta pernikahan. Di satu sisi, ini merupakan daya tarik tersendiri bagi anak negeri. Di sisi yang lain, kemajukan bentuk hajatan pernikahan ini juga menyisakan banyak persoalan yang kompleks. Krisis moral telah menyulap pesta yang agung ini kehilangan esensinya. Kode etik serta norma agama yang seharusnya menjadi pedoman hidup di dalam segala lini kehidupan lenyap dimakan zaman. Pesta pernikahan yang seharusnya sebagai ajang untuk mendulang barokah kini ternodai lantaran perayaannya penuh dengan praktik kemaksiatan.
Setiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri dalam merayakan momentum indah pernikahan ini. Misalkan di pulau Lombok, tradisi yang berlaku di sana adalah sepasang pengantin diarak beramai-ramai menuju rumah mempelai wanita. Arak-arakan ini diramaikan dengan aneka tetabuhan alat musik dan kesenian khas sukunya. Mereka menyebutnya dengan istilah Nyongkolan. Nyongkolan dilakukan bertujuan agar warga setempat mengetahui bahwa pasangan tersebut sudah sah menjadi suami istri. Saat melakukan arak-arakan, pasangan pengantin ditemani oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, atau pemuka adat beserta sanak saudara berjalan mengelilingi desa menuju rumah mempelai perempuan. Arak-arakan atau nyongkolan ini biasanya dilakukan setelah melakukan kwade di rumah pengantin pria.
Untuk memeriahkan pesta pernikahan di pulau seribu masjid ini, yang mengikuti iring-iringan baik laki-laki maupun perempuan dilengkapi dengan busana khas masing-masing. Untuk perempuan disebut kebayak yang notabenenya masih belum maksimal untuk menutupi aurat. Laki-laki juga demikian, mereka mempunyai baju adat tersendiri yang dinamai baju godek nungke’ dilengkapi dengan ikat kepala. Parahnya lagi, laki-laki dan perempuan bercampur baur (ikhtilat) satu sama lain.
Di samping itu, merata di seluruh daerah, saat para tamu tumpah ruah, sang pengantin dipajang di hadapan undangan. Pengantin dirias indah, duduk di singgasana dengan latar dekorasi yang memukau. Seraya menikmati nikmatnya hidangan, terkadang alunan konser musik indah dengan penyayi yang seksi dan goyang super dahsyat melengkapi gemerlap setiap acara resepsi.
Pembaca yang budiman, uraian di atas adalah sekilas tentang realitas adat istiadat masyarakat nusantara yang perlu dikaji kembali, apakah sudah layak untuk diwariskan, ataukah tidak. Apakah semua yang telah terjadi sesuai dengan ajaran adiluhung agama Islam? Temukan jawabanya pada pembahasan kali ini.
Komentar Fiqh
Dalam termonologi fiqh, pesta pernikahan disebut dengan istilah walimah al-urs. Secara khusus, istilah walimah al-urs bermakna hidangan makanan ketika perkawinan atau setiap sajian menu makanan yang disuguhkan untuk para tamu undangan dan lainnya[i]. Kata walimah al-urs semakna dengan az–Zifāf yang bermakna pesta pernikahan. Sebab suguhan menu makanan saat itu sangat identik dengan pesta pernikahan.
Menurut kalangan Syafi’iyah, walimah dilakukan ketika adanya kegembiraan; seperti nikah, khitan, kelahiran dan lainnya. Hanya saja kalau kata walimah diucapkan secara mutlak, maka mengarah pada walimah nikah atau lebih dikenal dengan walimahh urs. Sementara untuk walimah-walimah yang lain, memiliki istilah-istilah tersendiri. Walimah khitan disebut ‘a’dzar’, untuk kelahiran anak disebut ‘aqiqah’, walimah ketika perempuan telah melahirkan disebut ‘khars’, sedangkan ‘naqi’ah’ merupakan istilah walimah untuk orang yang baru datang dari bepergian, walimah untuk membuat bangunan disebut ‘wakirah’, yang diadakan karena musibah ‘wadhimah’. Sementara walimah yang dilakukan tanpa sebab disebut ‘makdubah’[ii].
Hukum mengadakan walimah al-‘urs menurut mayoritas ulama adalah sunnah muakkad. Kesunnahan ini disarikan dari beberapa hadits Nabi Muhammad r yang berisi anjuran pada setiap muslim untuk mengadakan walimah. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika Rasulallah r bertemu dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau mencium bau harum dari tubuh Abdurrahman. Lalu Beliau bertanya, “Ada apa kok kamu harum sekali hari ini?” “Saya baru saja menikah dengan maskawin emas seberat biji kurma” Jawab Abdurrahman. Rasulallah r kemudian bersabda :
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاة بَاركَ الله لَكَ
“Semoga Allah I memberkatimu. Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing”
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum walimah adalah sunnah, sebab amr (perintah) dalam hadist ini menghendaki nadb (sunnah) bukan wujub. Alasannya, karena ada qarinah (tanda) yang memalingkannya dari makna wujub ke makna nadb, yaitu bahwa walimah hanya terkait dengan timbulnya kebahagiaan, bukan kebutuhan yang bersifat primer (daruriyah). Sehingga perintah yang ada dalam hadits tersebut termasuk perintah yang tidak tegas. Namun ada juga ulama yang mengatakan bahwa walimah adalah wajib dengan melihat zahirnya amr, yang mana pada dasarnya setiap amr menunjuk pada makna wujub (al-amru lil wujub)[iii].
Waktu pelaksanaan walimah bisa dilakukan ketika akad atau setelah akad dengan batas waktu yang tidak tertentu sesuai dengan adat istiadat di setiap daerah. Sedangkan hukum menghadiri (ijabāh) walimah adalah wajib. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
مَنْ دَعَي إِلَى وَلِيْمَةٍ فَلَمْ يَأْتِهَا فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
Barang siapa diundang ke walimah (selamatan) kemudian dia tidak menghadirinya, maka dia telah maksiat kepada Allah I dan Rasul-Nya. (HR. Imam Muslim)
Ada banyak hikmah disyari’atkannya walimah. Di antaranya: Sebagai sarana untuk menampakkan pernikahan pada orang banyak sehingga tidak terjadi fitnah di antara kedua mempelai, menyambung tali silaturrahmi antar keluarga maupun dengan yang lain, sebagai wahana untuk berderma pada para fuqara dan masakin, sebagai wahana untuk mensyukuri segala nikmat dan karunia-Nya. Selain itu, walimah juga sebagai ajang untuk menggerakkan hati para pemuda-pemudi—yang sudah dianggap pantas untuk menikah—agar segara memberlangsungkan akad nikah yang serupa.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan peristiwa bersejarah dalam hidup seseorang. Bagi para pengantin baru, pernikahan adalah awal kisah untuk merajut cinta kasih dan membuka gerbang hidup baru guna membentuk generasi penerus. Maka tidak mengherankan ketika pernikahan disambut dengan penuh kebahagiaan, terutama oleh kedua mempelai.
Untuk memberikan kesan mendalam di sepanjang hidup, dirasa perlu menyelenggarakan pesta untuk merayakan pernikahan. Walaupun demikian adanya, bukan berarti pesta pernikahan diselenggarakan secara bebas tanpa ada batasan. Sehingga pesta yang seharusnya membawa berkah malah membawa petaka disebabkan pelaksanaannya yang jauh dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh shahibul hajah agar pesta yang dilaksanakan tidak kehilangan esensinya atau tidak melampaui batas-batas syari’at. Pertama, pelaksanaan walimah tidak perlu berhari-hari. “Kalau bisa dilaksanakan secara singkat dan hemat, kenapa harus lama-lama dan boros”. Dalam sebuah hadits disebutkan:
الْوَلِيمَةُ أَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ
”Walimah hari pertama adalah benar, hari kedua ma’ruf, dan hari ketika riya’ dan sum’ah” (HR. Imam Turmudzi)
Hadits nabi ini ingin mengungkapkan kenyataan di masyarakat bahwa pelaksanaan walimah yang berhari-hari pasti didasarkan pada riya’ dan sum’ah, sehingga perlu dihindari. Kekayaan yang berlimpah ruah dan tingginya status sosial di masyarakat bukanlah alasan untuk melakukan pesta pernikahan secara mewah dan berhari-hari. Di samping itu, perayaan berhari-hari hanya akan menimbulkan israf karena makin banyak biaya yang akan dihabiskan. Padahal para ulama mewanti-wanti agar jangan terlalu berlebihan karena hanya akan menimbulkan mubāhah (bangga diri) dan isrāf (berlebihan) yang secara jelas dilarang dalam Islam[iv].
Kedua, Undangan harus merata pada semua keluarga, tetangga, masyarakat sekitar, teman dan kerabat kerja serta kaya maupun miskin. Makanya tidak boleh hanya mengundang orang kaya dalam resepsi pernikahan, sementara orang miskin tidak diundang. Rasulallah r bersabda :
بِئْسَ الطّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إلَيهِ الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ
”Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang di sana orang kaya diundang, dan orang miskin tidak[v]” (HR. Imam Muslim)
Berdasarkan hadits ini, para ulama menegaskan bahwa seseorang tidak wajib untuk menghadiri walimah, jika yang diundang hanya orang kaya saja.
Ketiga, walimah tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk pamer kacantikan, perhiasan, dan keindahan (tabarruj) di hadapan halayak umum. Allah I berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّة
“Dan janganlah kalian memamerkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh orang perempuan-perempuan jahiliyah” (QS. al-Ahzab [33] :33)
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini dengan, ”janganlah kalian menampakkan perhiasan dan keindahan kalian kepada laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan-perempuan pada masa jahiliyah, sebelum Islam datang”[vi]
Dalam ayat yang lain, Allah I berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya kecuali yang biasa nampak daripadanya” (QS. an-Nur [24] : 31)
Yang dimaksud dengan kalimat “yang biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan anggota tubuh yang tidak bisa dihindari oleh perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain keduanya tidak boleh untuk ditampakkan. Larangan ayat ini bersifat umum, mencakup siapapun orangnya, dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun tidak boleh untuk menampakkan aurat selain wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul yang berbunyi :
وَعُمُوْمُ الأَشْخَاصِ يَسْتَلْزِمُ عُمُوْمَ الأَحْوَالِ وَالأَزْمِنَةِ وَالْبِقَاعِ
“Keumuman beberapa orang berkonsekwensi terhadap keumuman kondisi, waktu, dan tempat”[vii]
Berdasarkan kedua ayat di atas, memajang pengantin pada saat pesta pernikahan tidak bisa dibenarkan[viii]. Sama halnya dengan mengarak pengantin mengelilingi desa seraya menampakkan aurat dan kecantikan yang disaksikan jutaan pasang mata.
Akan tetapi keharaman dua kasus di atas (kwade dan nyogkolan) tidak berlaku secara mutlak, sebab keharamanya dikarenakan adanya tabarruj dan mempertontonkan aurat serta bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bisa menimbulkan fitnah. Kalau semunya tidak ada, maka hukum kwade dan nyongkolan sah-sah saja.
Pertunjukan musik dalam resepsi pernikahan
Sebagaimana yang telah disampaikan bahwa pesta pernikahan merupakan sarana untuk mempublikasikan adanya pernikahan, agar nantinya tidak terjadi kecurigaan dan fitnah, sebab dengan adanya walimah orang akan tahu bahwa kedua mempelai sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad r :
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِى الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan ini dan laksanakanlah pernikahan itu di masjid, serta tabuhlah rebana untuk itu”[ix] (HR. Imam Turmudzi)
Ada satu makna mendasar yang ditunjukkan oleh hadits ini yakni dalam memberlangsungkan akad pernikahan hendaknya mengadakan publikasi kepada halayak ramai. Maka tidak heran ketika nabi menganjurkan agar pelaksanaan akad nikah dilaksanakan di Masjid. Masjid menjadi pilihan nabi karena masjid merupakan tempat yang efektif untuk mengumumkan pernikahan. Sebab masjid adalah tempat berkumpulnya manusia. Terlebih di masa Nabi, dimana Masjid merupakan pusat kegiatan umat muslim[x].
Selanjutnya, ada yang masih menimbulkan tanda tanya. Kenapa nabi memerintahkan untuk bermain rebana? Bukankah memaikan alat musik dan nyanyian adalah sesuatu terlarang? Nah, dengan memandang hadits ini Imam turmuzi berkomentar bahwa memainkan alat musik untuk tujuan publikasi pernikahan boleh-boleh saja. Mengingat bahwa memainkan alat musik dianggap langkah yang cukup efektif untuk publikasi pernikahan, karena secara naluriah, setiap orang mempunyai kecendrungan untuk menikmati lantunan alat musik, sehingga musik merupakan sesuatu yang efisien untuk mengumpulkan orang ketika pesta pernikahan. Tentunya selama tidak ada faktor eksternal yang menjadikannya haram.
Dalam sebuah riwayat lain diceritakan bahwa pada suatu ketika Sayyidah ’Āisyah mengantar seorang pengantin perempuan bernama Fāri’ah binti As’ad ke rumah laki-laki yakni Nubait bin Jabir dari golongan Ansor. Nabi berkata,” wahai ’Āisyah tidakkah kalian membawa alat musik? Bukankah orang-orang Ansor senang bermain musik[xi]”
Imam turmuzi juga meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa suatu ketika Yahya bin Sulaiman mengabarkan kepada Muhammad bin Hātib bahwa dirinya telah menikahi dua orang perempuan yang salah satunya dimeriahkan oleh rebana, Muhammad bin Hātib y berkata, Rasulallah r bersabda[xii] :
فَصْلُ مَا بَيْنَ الحَلاَلِ وَ الحَرَامِ الدَفُّ وَالصَّوْتُ فِى النِّكَاحِ
”Yang memisahkan sesuatu antara barang haram dan halal adalah rebana dan lagu pada saat pernikahan” (HR. Imam Turmudzi)
Dalam menjawab masalah musik, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haram karena yang tercantum pada hadits itu hanyalah rebana. Sementara ulama yang lain mengatakan boleh, karena ulama ini memahami hadits tersebut secara kontekstual, tidak tekstual. Oleh karena itu penyebutan nabi pada rebana bukan lantas hanya memperbolehkan bermain musik dengan menggunakan rebana. Karena penyebutan rebana dalam hadits itu hanya karena memang rebana lah yang populer ketika itu. Alat-alat musik yang lain walaupun toh mungkin ada, tetapi tidak terlalu populer di kalangan masyarakat arab ketika itu. Terlebih pada masa nabi belum begitu banyak perkembangan, konstruksi, dan modifikasi instrumen musik sebagaimana yang kita jumpai di abad modern ini.
Dalam tinjauan sejarah, perkembangan musik baru terjadi pada abad 16 M[xiii]. Tidak salah kalau kemudian pada masa Nabi Muhammad alat musik yang populer sebagai hiburan hanyalah rebana. Lagi pula penyebutan kata rebana dalam hadits belum tentun meniadakan kehalalan alat musik yang lain. Ibnu Arabi berkomentar: ”Andai saja ketika dua perempuan yang bernyayi sambil menabuh rebana di hadapan Rasulallah r itu ada yang membawa alat musik lain, seperti lute, seruling, dan kendang, niscaya alat-alat selain rebana itu masuk dalam kata rebana yang diperbolehkan[xiv]”.
Kalau mengikuti alur pendapat ulama ini maka semua alat musik adalah halal. Sedangkan terkait keharaman alat musik yang secara khusus disebutkan, lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan insidental (haram lighairihi), yaitu sering kali dijadikan sarana kemaksiatan. Seperti, bercampurbaurnya laki-laki dan perempuan, melalaikan kewajiban sebagai muslim, membuka aurat, mabuk-mabukan, dan ajang untuk mempertontonkan biduan dengan goyangan sensual nan erotis maka dalam kasus ini musik jelas haram[xv]. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan musik itu haram, namun apabila faktor-faktor ini hilang, maka musik dihukumi halal.
Intinya, boleh-boleh saja kita memeriahkan pesta pernikahan dengan menggelar konser musik atau dengan memainkan alat-alat musik tradisional agar semua orang dapat menyaksikan juga bahwa kedua mempelai benar-benar telah memberlangsungkan akad nikah. Tetapi kebolehan ini dengan catatan, jangan sampai pertunjukkan musik yang dilakukan sebagai wahana untuk mendatangkan kemaksiatan[xvi].
Walhasil, untuk mengakhiri pembahasan kali ini, menarik untuk mencantumkan apa yang pernah disampikan oleh Sayyid Sabik bahwa tehnis pelaksanaan walimah sepenuhnya diserahkan kepada adat istiadat yang berlaku di suatu daerah. Tetapi tetap harus memperhatikan kode etik yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, misalkan pernikahan bukanlah ajang untuk menampakkan kecantikan, membuka aurat, pamer diri, mengumbar nafsu birahi, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram serta berbagaimacam kemaksiatan lain sehingga pesta yang dilakukan tidak menyimpang jauh dari Sunnah Rasulallah r. [d] (Img: carapedia.)
[i] Sayyid Sābiq, Fiqhussunah (Dārul al-Fath : Bairut Lebanon) 2011, hal 158, juz II
[ii] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini, Kifāyatul Akhyār ()
[iii] Wahbah Zuhaily, Fiqhul Islamy wa Adillatuh (dar al-Fikr : Bairut Lebanon) 1989, hal. 125, juz VII, lihat juga Syarah Mumta’, hal. 139 juz XIX
[iv] Syarah Mumta’, hal 139, juz XXII
[v] Syarah Muslim, hal 90, juz IX
[vi] Tafsir al-Maraghi : hal. 22-24, juz VI
[vii] Abdurrahman bin Jadillah al-Banani, Hāsyiah al-‘Allāmah al-Banāni ala Syarh al-Jalāl al-Mahalli ala Matn Jam’ul Jawāmi’(Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 640 Juz I
[viii] Baca, Buletin Tanwirul Afkar edisi 63; Hentikan Kwade, jum’at ke-3, tanggal 19 Februari 1999.
[ix] Sunan Turmudzi, hal 296, juz II
[x] Sayyid Sābiq, Op.Cit., Hal 155.
[xi] al-Asqalani, Fathul Bāri…..,hal.282-283, Juz X
[xii] Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at Turmudzi (Baerut : Dar Fikr,1979 ) hal. 209, Juz IV
[xiii] Ensiklopedia Nasional Indonesia (PT. Cipta Adi Pustaka,1995)413-415 X
[xiv] Ibnu al-Arabi al-maliki, ‘Aridhatul Ahwadzi syarahu Shahih Turmuzi (Bairut Dar Fikr,tt), hal. 281, juz V
[xv] As-Syekh Ali Mahfudz, al-Ibda’ fi Madhari Ibdha’ (Bairut Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2002), hal.257-258, Yusuf al-Qhardawi, al-Halāl wa Haram fī Islām, hal.291, Abdul halim Mahmud Thimaz, al-Fiqhul Hanafi fi Tsaubihi al-Jadid (Damaskus : Dar al-Kalam, 2000), 107-110, Muhammad Syaltut, al-Fatāwā, hal. 411-414. Lihat juga, Buletin Tanwirul Afkar; Meniti lorong Ma’rifat Melalui Musik. Edisi 346 dan Buletin Tanwirul Afkar ; Pertunjukan Musik untuk dana Masjid, edisi 356
[xvi] Dr Musthafa Khin dan Dr. Musthofa Bugha, al-Fiqh al-Manhaji (Damaskus : Dār Qalam, 2009), Hal.91, Juz II.