Polwan Berjilbab; Antara UU, Agama, dan Hak Asasi

0
1019

Polwan berjilbab menurut Undang-undang

Mabes Polri meminta para polisi wanita (polwan) yang ingin berjilbab menunda keinginannya. Selama aturan dari Kapolri belum mencantumkan ketentuan berjilbab, maka niat tersebut tak diperkenankan.

Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Agus Rianto menjelaskan, peraturan seragam Polri tentunya tak bisa dilanggar oleh anggota Polri. “Ya ini masalahnya aturan, kalau belum sesuai aturan yang tidak diperkenankan,”ujarnya, Selasa (11/6).

Sebatas belum ada peraturan maka aksi Polwan yang nekat untuk tetap berjilbab malah secara terpaksa dapat terkategorikan sebagai pelanggaran.

Oleh karena itu, Agus meminta polwan untuk mengikuti aturan sebelum ada aturan baru diberlakukan untuk menghindari kemungkinan buruk yang ada. Pasalnya, kata dia, penggunaan seragam sesuai ketentuan yang berlaku juga bagian dari taat pada instruksi pimpinan,

Agus menekankan, seragam jilbab tak tertuang dalam Keputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS  polisi. Terkecuali, untuk polwan yang bertugas di Nangroe Aceh Darussalam.

Akan tetapi, kelak bila dalam peraturan itu disebutkan polwan diperkenankan berjilbab, maka baru boleh dilakukan. Oleh karena itu, Agus meminta agar polwan yang ingin melegalkan jilbab untuk menyalurkan aspirasinya dalam koridor aturan yang berlaku.

“Jadi ya mohon sekali untuk diperhatikan,  kepada semua (polwan) dengan kedewasaannya diharapkan mau memahami dan menaati setiap perintah dan instruksi pimpinan serta ketentuan yang berlaku, bukan tidak diperbolehkan, nanti biar aturan yang bicara,” ujar perwira menengah melati tiga ini. (Repubika)

Perempuan berjilbab menurut Agama (hukum Islam)

تفسير ابن كثير – (ج 6 / ص 44)

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ …(ألنور/31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka… (QS. An-Nur: 31)

Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Muqatil bin Hayan (dalam Tafsir Ibnu Katsir) dia berkata: “Telah sampai berita kepada kami dan Allah Maha Tahu bahwa Jabir bin Abdullah Al-Anshari telah menceritakan bahwa Asma binti Murtsid tengah berada ditempatnya di Bani Haritsah. Tiba-tiba banyak wanita menemuinya tanpa menutup aurat dengan rapi sehingga tampaklah gelang-gelang kaki mereka, dada, dan kepang rambutnya. Asma berguman : Alangkah buruknya hal ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini”

Diriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu anha pernah berkata: “Semoga Allah merahmati wanita Muhajirin yang pertama yang tatkala Allah menurunkan ayat: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedada mereka. Mereka lantas merobek kain tak berjahit (muruth) yang mereka kenakan itu, lalu mereka berkerudung dengannya (dalam riwayat lain disebutkan: Lalu mereka pun merobek sarung-sarung mereka dari pinggir kemudian mereka berkerudung dengannya”. Hadits Riwayat Bukhari (II:182 dan VIII:397) dan Abu Dawud dan Al-Hakim (IV/194)

Sedangkan riwayat dari Ibnu Abi Hatim lebih sempurna dengan sanadnya dari Shafiyah binti Syaibah yang mengatakan: “Tatkala kami berada disamping Aisyah yang menyebutkan keutamaan wanita suku Quraisy, lalu Aisyah berkata: Sesungguhnya kaum wanita suku Quraisy itu memiliki satu keutamaan. Dan, aku demi Allah tiada melihat yang lebih utama daripada wanita-wanita Anshar dan yang lebih membenarkan terhadap Kitabullah maupun keimanan terhadap Al-Qur’an. Tatkala diturunkan surat An-Nuur ayat 31, maka para lelaki mereka (kaum Anshar) langsung kembali pulang menuju mereka untuk membacakan apa yang baru saja diturunkan oleh Allah atas mereka , seorang laki-laki membacakan ayat tersebut kepada istrinya, putrinya, saudarinya serta kerabatnya. Tak seorang wanita pun dari mereka melainkan lantas bangkit untuk mengambil kain yang biasa dikenakan lalu digunakan untuk menutupi kepala (menjadikannya kerudung) dalam rangka membenarkan dan mengimani apa yang telah diturunkan Allah dari Kitab-Nya. Lalu pada pagi harinya dibelakang Rasulullah (menunaikan shalat shubuh) mereka mengenakan tutup kepala (kerudung) seakan-akan diatas kepala mereka itu terdapat burung gagak”

Juga firman Allah ta’aala dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا  [الأحزاب/59]

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Allah menyuruh Rasulullah agar dia menyuruh wanita-wanita mukmin , istri-istri ,dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah dan budak-budak perempuan. Jilbab berarti selendang/kain panjang yang lebih besar dari pada kerudung. Demikian menurut Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, dan sebagainya. Kalau sekarang jilbab itu seperti kain panjang. Al-Jauhari berkata,”Jilbab ialah kain yang dapat dilipatkan”.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ummu Salamah dia berkata: “Setelah ayat diatas turun, maka kaum wanita Anshar keluar rumah dan seolah-olah dikepala mereka terdapat sarang burung gagak. Merekapun mengenakan baju hitam”

Umumnya jilbab ini dikenakan oleh kaum wanita manakala ia keluar rumah. Ini seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani (Bukhari & Muslim) dan juga oleh perawi lainnya dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu’anha bahwa ia berkata: “Rasulullah shalallahu alaihi wasslam memerintahkan kami agar keluar pada hari Idul Fitri maupun Idul Adha , baik para gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang haidh maupun wanita-wanita pingitan. Wanita-wanita yang haidh tetap meninggalkan shalat namun mereka dapat menyaksikan kebaikan (mendengarkan nasehat) dan dakwah kaum muslimin. Aku bertanya: Ya, Rasulullah, salah seorang dari kami ada yang tidak memiliki jilbab? Beliau menjawab: Kalau begitu hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya(agar ia keluar dengan berjilbab)! (Hadits Shahih mutafaq alaih)

Syaikh Anwar Al-Kasymiri dalam kitabnya”Faidhul Bari” (I:388) berkaitan dengan hadits ini mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah dan ia tidak boleh keluar jika tidak mengenakan jilbab”

Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya yag berjudul Fiqh Prioritas menyatakan, mengenakan jilbab merupakan kewajiban yang beradasarkan nahs qath’i (dalil yang memiliki penunjukan satu hukum yang tidak bisa diarahkan pada hokum yang lain). Oleh sebab itu, bagi yang melarang berjilbab dihukumi kafir, sebab dia sudah menentang hukum yang dijelaskan dengan nash qaht’i.

Perempuan berjilab menurut Hak Asasi Manusia

Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan pelarangan penggunaan jilbab bagi polisi wanita (polwan) muslim bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Lantaran setiap orang berhak menggunakan hal-hal yang berkaitan dengan agamanya masing-masing.

“Penggunaan jilbab itu berkaitan dengan keyakinan yang dianut oleh sebuah agama. Jika penggunaan jilbab terhadap polwan dilarang, maka itu sudah melanggar HAM karena berkaitan dengan keyakinan,” kata Laila di Jakarta, Sabtu (8/6).

Namun, Laila menyampaikan kalau belum ada aturannya yang jelas soal pelarangan penggunaan jilbab, sebaiknya tidak usah berandai-andai. Pada prinsipnya menggunakan jilbab merupakan hak setiap perempuan yang ingin memakainya.

Keinginan polwan muslim memakai jilbab, menurut Laila, perlu dihormati dan dihargai. Semua orang memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya.

Anggota Komisi VIII Fraksi Golkar, TB Ace Hasan Syadzily menyayangkan sikap Polri melarang polwan mengenakan jilbab. Menurut Hasan, larangan ini sama saja dengan tidak menghargai hak asasi seseorang.

“Saya menyayangkan jika penggunaan jilbab bagi calon polisi dilarang,” kata Hasan kepada Republika di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/6).

Hasan percaya, jilbab tidak akan mengganggu kinerja para polwan di lapangan. Buktinya, banyak olahragawan yang bisa berprestasi dengan leluasa meski mengenakan jilbab.

Ia pun meminta kapolri untuk segera mengklarifikasi kebijakan larangan menggunakan jilbab. Jangan sampai kebijakan ini menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Demokrat, Inggrid Kansil menambahkan, mengenakan jilbab merupakan hak setiap muslimah. Polri sebaiknya tidak kaku menerapkan aturan larangan berjilbab yang telah berlaku sejak lama.

“Sebuah aturan itu sifatnya adaptable atau disesuaikan dengan perkembangan zaman,” katanya.

Inggrid mengatakan Polri sebaiknya mengkaji kembali larangan mengenakan jilbab untuk para polwan. Karena meski pun seragam berkaitan dengan aturan institusi, namun hal itu tidak mesti membuat Polri melanggar hak berpakaian para polwan yang ingin berjilbab.

“Saya kira harus ada jalan keluar yang baik,” ujarnya.

Apalagi, tambah dia, ini merupakan isu yang sensitif. Inggrid percaya Polri mampu memberi pejelasan yang baik kepada masyarakat.

Kesimpulan

Dari tiga poin pembahasan di atas, sudah jelas polwan brjilbab memiliki dasar yang kuat. Dari sisi Agama tentu sangat tegas memberi hukum, bahwa seorang perempuan diwajibkan berjilbab. Dari sisi hukum HAM, sebagai soerang muslimah yang iffah tentu ingin menjaga dirinya dengan cara melaksanakan perintah Agamanya itu.

Jadi, bagi pihak terkait (Polri) ketika memutuskan suatu masalah jangan hanya berpedoman pada satu ketentuan hukum saja, melainkan harus mempertimbangkan ketentuan hukum yang lain. Sebab, setiap orang dalam menjalani kehidupannya pasti tidak lepas dari berbagai hukum, khususnya di Indonesia. Bagi seorang muslim seumpanya, dia memiliki beban untuk menjalani ajarannya dan sebagai manusia dia berhak melaksanakan apa yang menjadi kehendak yang sesuai Agamanya.

Polri sebaiknya tidak kaku menerapkan aturan larangan berjilbab yang telah berlaku sejak lama.

 

Tinggalkan Balasan