Scott Lynch, Anak Pendeta yang Mendapatkan Hidayah

0
564

Lebih dari dua dekade Scott Lynch mencari kebenaran hakiki. Pada akhir pencariannya ia menemukan Islam. Komunikasi intensif dengan sang Pencipta  melalui kewajiban shalat lima waktu menjadi pertimbangan Lynch.

Selama dua dekade, Lynch hanya memahami Muslim memiliki karakteristik berperawakan gelap, rambut hitam, berjenggot, menetap di Timur Tengah dan Asia. Seorang Muslim hanya mengenakan pakaian sederhana dan serba tertutup.

“Saya merasa cukup aneh ketika terbiasa dengan penampilan warga AS yang berambut pirang, bermata biru, beragama Kristen. Namun, umat Islam begitu beragam,” kata dia seperti dikutipOnislam.net, Jumat (28/6).

Semasa remaja, beberapa kali Lynch berpindah tempat tinggal. Di mana ia tinggal, Lynch tidak menemukan keberagaman. Latar belakang keluarga Lynch cukup dengan gereja. Ia sendiri merupakan anak seorang pendeta.

“Ayah seorang pendeta. Anda bisa bayangkan bagaimana tradisi Kristen mewarnai kehidupan saya. Setiap akhir pekan, saya rutin beribadah di gereja,” kenang dia,

Lynch dibesarkan dalam pemahaman Yesus sebagai anak Tuhan. Namun, dirinya seolah menolak pemahaman itu. Akantetapi rasa takut kepada orang tuanya membuat ia harus menerima pemahaman itu. “Saya meyakini kisah Yesus itu tidak masuk akal,” kata dia.

Ia merasa aneh ketika sosok Yesus itu akan menyelamatkan setiap orang yang percaya kepadanya. Pertanyaan pun muncul, bagaimana orang-orang sebelum kedatangan Yesus. “Saya diam-diam mulai mempertanyakan masalah ini,” kata dia.

Kendati mempertanyakan, Lynch tidak memperlihatkan apa yang ia rasakan kepada orang tuanya. Lynch hanya bisa menahan dalam hati. Di saat bersamaan, orang tuanya terus menerus meminta anaknya itu menerima kehadiran Yesus.

Selama lima tahun ke depan, Lynch terus berpura-pura. Ia memang hadiri kajian Injil. Namun, ia tidak pernah terpikir mempelajarinya. Lulus SMA, Lnych mendapatkan momentum. Ia niatkan diri pada satu hal penting yakni kebebasan mempelajari agama lain.

Hal yang pertama dilakukannya, ia pelajari ajaran Katolik Roma. Tapi itu tidak lama. Lnych kembali melanjutkan pencariannya. Untuk mempermudah niatannya itu, Lynch mempelajari agama Yahudi. Ia tertarik mendalami bahasa Ibrani. Saat itu, ia belajar bersama seorang rabi. Lagi-lagi, Lynch merasa buntu dengan tradisi Yahudi.

Barulah, ia menilik Islam. Pertemuan ini memang tidak sengaja. Saat itu, ia mengambil kelas Lembaga dan Tradisi Islam. Di kelas itu, ia berinteraksi dengan Muslim. Satu kesan yang ia dapat, Islam mengajarkan kesederhanaan dan rendah hati. Tak lama, ia mulai memberanikan diri mendatangi masjid. Di masjid, Lynch mulai menemukan kecocokan dengan apa yang dipikirkan tentang konsep Ketuhanan.

“Saya tahu ada satu Allah, tapi siapa dia, dimana dia,” tanyanya.

Memasuki dunia kerja, kecocokan itu berlanjut. Lynch menyimpulkan Islam memiliki dasar keyakinan yang kuat  tentang Ketuhanan. Islam menyatakan Tuhan itu satu, Tuhan itu melalui utusan-Nya coba menyampaikan hal tersebut. Islam itu merupakan pedoman hidup manusia.

“Saat itu, saya mulai tertarik untuk bertanya lebih jauh tentang Islam,” kata dia,

Suatu waktu, Lynch beremu dengan pria Muslim bernama Hani. Kepadanya, Lynch banyak bertanya tentang Islam dan Muslim. Oleh Hani, ia diberikan Alquran. Ketika membaca, ia merasa terkejut. Alquran banyak bercerita tentang Kristen dan Yahudi. “Tuhan apakah Engkau menginginkanku bangun pagi dan menyembah-Mu. Setelah begitu yakin, saya memutuskan mengucapkan syahadat,” kata dia.

Usai mengucapkan syahadat, Lynch berpikir apa yang akan ia katakan kepada keluarga dan rekan kerjanya. Itu terjadi selama berbulan-bulan, tapi Lynch berusaha tenang menghadapi masalah tersebut.

“Saya coba lupakan itu, dengan mulai mendalami ajaran Islam. Disini saya siap mengambil langkah berikutnya,” kenang dia.

Pada Januari 2001, Hani mengundang Lynch mengunjungi Islamic Center Fort Collins, Colorado.Berada di sana, Lynch seolah dipanggil melakukan sesuatu. Apa yang ia rasakan coba diutarakan pada Hani. Oleh temannya itu, ia disarankan membaca Alquran dan mulai mempelajari tata cara shalat.

“Jujur saya sedikit gugup,” kata dia.

Tak terasa, setahun sudah Lynch menjadi Muslim. Selama itu, Lynch merasakan kemajuan, kemunduran dan keraguan. Kondisi itu ia coba pahami sebagai satu upaya menjadi Muslim yang kaffah. “Saya ini manusia biasa, tentu Allah memahami kelemahan saya itu. Yang pasti, dalam hati, saya telah bekerja keras mengikut jalan-Nya,” kata dia. (Republika)

 

Tinggalkan Balasan