Seteguk Inspirasi dari Empat ‘Umar

0
873

Mereka adalah para pahlawan mukmin sejati. Para sejarawan Islam mengabadikan semerbak sejarah perjuangan mereka dengan tinta emas kehidupan karena kontribusi jihad mereka yang begitu besar. Tanpa kenal lelah, putus asa, dan gentar atas musuh-musuh Islam pada masanya. Dan kini sosok-sosok melegenda tersebut tetap hidup dan menginspirasi walau sejatinya jasad dan ruh mereka telah tiada berpuluh-puluh tahun serta berabad-abad lamanya.

Dari sumur sejarah peradaban Islam yang heroik. Sejenak mari istirahat dan merenung. Untuk menghilangkan dahaga pada diri kita sebagai seorang muslim, yang haus akan inspirasi dari kehidupan mereka. Lalu, izinkan penulis memuraja’ah kisah mereka dalam tulisan yang singkat ini. Agar hikmah perjuangan mereka menjadi seteguk inspirasi bagi kita semua; kaum muslimin dimanapun berada untuk tetap istiqamah menegakkan dienul Islam ini hingga yaumul qiyamah kelak. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Siapakah mereka? Mereka adalah ‘Umar bin Al-Khaththab (Khulafaur Rasyidin ke-2), ‘Umar bin Abdul Aziz (Khalifah dari Bani Umayyah), ‘Umar Al-Mukhtar (Mujahid revolusi rakyat Libya) dan ‘Umar At-Tilmisani (Mursyid ‘Aam Al-Ikhwan Al-Muslimun ke-3).

‘Umar bin Al-Khaththab

Masa mudanya penuh dengan kejahiliahan. Ia adalah sosok yang sangat di hormati dan di segani oleh kaumnya; suku Quraisy. Hidupnya berkecukupan. Perangainya berwibawa, tegas dan pemberani.

Tapi atas kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dan berkat pinta doa sang Nabi; “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari kedua orang yang paling engkau cintai, dengan Abu Jahal atau ‘Umar bin Al-Khaththab.” (H.r. At-Tirmidzi) Alur cerita hidupnya pun berubah seketika. Dari sangat membenci menjadi sangat mencintai Islam.

Ketika masuk Islam beliau digelari Al-Faruq (pemisah antara yang haq dan batil). Fase dakwah Rasulullah pun bermetamorfosis dari fase sirriyah (secara rahasia) menjadi terang-terangan. Dan karenanya pemeluk Islam pun semakin bertambah pesat. Lalu, tentangnya Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Posisi kami menjadi kuat sejak ‘Umar masuk Islam.”

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah mengatakan kepada ‘Umar, “Demi jiwaku yang berada di genggamannya, sesungguhnya setan sama sekali tidak akan membiarkanmu berjalan di suatu jalan, melainkan dia akan berjalan di jalan selain jalan yang kamu lewati.” (H.r. Al-Bukhari)

Ketika menjabat sebagai khalifah beliau sangat adil kepada rakyatnya. Hidupnya pun penuh dengan kezuhudan. Dalam sebuah kesempatan seorang delegasi raja Romawi pernah melihat beliau sedang tertidur di bawah sebuah pohon tanpa pengawalan, lalu ia mengatakan, “Anda telah memerintah dengan adil, maka Anda merasa aman dan dapat tidur dengan nyenyak, wahai ‘Umar.”

‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Hisablah dirimu sebelum kamu sekalian dihisab dan timbanglah dirimu sebelum kamu sekalian ditimbang. Sebab, besok hisab akan lebih ringan bagi kamu kalau hari ini kamu menghisab dirimu. Dan bersiap-siaplah kamu sekalian menghadapi hari paling agung, dimana pada hari itu kamu dihadapkan kepada Tuhanmu, tiada satu pun dari keadaanmu yang tersembunyi bagi Allah.”

Beliau menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Meriwayatkan 527 hadits dari Nabi. Dan wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H/643 M setelah sebelumnya ditikam dengan sebilah pisau dari arah belakang saat ia sedang menunaikan shalat shubuh oleh Abu Lu’lu Fairuz Al-Farisi Al-Majusi; pembantu Mughirah bin Syu’bah. Usia beliau ketika wafat yaitu 63 tahun, persis seperti usia Nabi & Abu Bakar saat meninggal.

‘Umar bin Abdul Aziz

‘Umar bin Abdul Aziz rahimahumullah lahir dari seorang ibu yang bernama Laila binti Ashim bin ‘Umar bin Al-Khaththab. Dari darah ibunya terwariskan kezuhudan dan keadilan memimpin seorang Al-Khaththab. Beliau berwajah tampan. Dan hidupnya berkecukupan.

Sebelum menjabat sebagai khalifah, beliau adalah seorang gubernur di Madinah pada masa khalifah Abdul Malik. Tersebab hal itu kehidupan beliau sedikit terwarnai oleh gaya khas kebanyakan pemimpin saat itu; berfoya-foya. Tapi semenjak ia diba’iat menjadi khalifah, kehidupannya drastis berubah; dari serba berkecukupan menjadi sangat sederhana.

Suatu ketika ‘Umar bin Abdul Aziz berbincang berduaan dengan istrinya. Beliau membuka pembicaraan, “Perbaikan dan reformasi dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas Negara.”

Istrinya langsung angkat kepala. “Tidak, ‘Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik bin Marwan.” ‘Umar terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi uang untuk membeli itu semua berasal dari kas Negara, Fatimah!” dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba ‘Umar bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan; kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir disini.” Fatimah terhenyak, kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. Ia memilih untuk terus bersama ‘Umar.

Karena keshalihannya dalam berislam, adilnya dalam memimpin, dan zuhudnya dalam kehidupan. Beliau begitu dicintai oleh rakyatnya. Disegani oleh para ‘ulama pada masanya. Dan wajarlah kemudian Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5.

Tentangnya Imam Adz-Dzahabi rahimahumullah mengatakan, “’Umar bin Abdul Aziz termasuk ahli ilmu diantara ‘ulama amilin dan khulafaur rasyidin.”

Beliau menjabat sebagai khalifah selama 2 tahun 5 bulan. Dua bulan lebih lama dari masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq. Waktu yang begitu singkat memang. Namun beliau mampu mewujudkan seluruh rakyatnya hidup dalam kemakmuran. Beliau wafat pada bulan Rajab 101 H/719 M. Usianya saat itu masih sangat muda; 39 tahun.

‘Umar Al-Mukhtar

Syaikh ‘Umar Al-Mukhtar memiliki keistimewaan semenjak masa kecilnya; jiwa kepemimpinan. Menginjak dewasa keistimewaannya semakin terasah. Ilmu dan wawasannya tentang Islam sangat luas. Shalat malam dan tilawatil qur’an adalah kebiasaan rutinnya. Lalu jadilah dia seseorang yang berjiwa rabbani. Dan karena sifat pemberaninya beliau dijuluki Singa Padang Pasir.

Orang-orang disekitarnya begitu menghormati dan mencintainya. Tersebab dia dikenal sebagai sosok yang dapat dipercaya, jujur dan berperilaku baik dalam berinteraksi dengan orang lain hingga para penduduk kabilahnya memanggil beliau dengan sebutan Sayyidi ‘Umar (Tuanku ‘Umar). Karenanya Al-Mukhtar sering ditugasi oleh gurunya; Sayyid Al-Mahdi As-Sanusi sebagai mediator untuk menyelesaikan dan mendamaikan berbagai konflik dan perseteruan yang terjadi antar kabilah. Alhasil, tidak satu pun dari tugas yang diamanatkan kepadanya yang mengalami kegagalan.

Ketika berada di Mesir. Melalui pengawasan badan intelijen Italia beliau ditawari sebuah rumah mewah di Kota Benghazi atau Al-Marj. Dengan syarat beliau harus menanggalkan baju kepemimpinan jihadnya di Jabal Al-Akhdar. Atau beliau harus tunduk terhadap aturan penjajah di negaranya. Dengan tegas beliau menolak seraya mengatakan, “Sungguh aku bukanlah makanan yang mudah ditelan bagi siapa saja yang menginginkannya. Bagaimanapun usaha seseorang untuk mengubah keyakinanku, pandangan, dan arah pemikiranku, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan menggagalkannya.”

‘Umar Mukhtar mengakhiri pembicaraannya dengan beberapa ungkapan abadinya, dimana ia menegaskan bahwa penangkapan dan posisiku yang telah menjadi tawanan perang Italia hanya sebagai pelaksanaan dari kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan bahwasanya sekarang ia telah menjadi tawanan di tangan pemerintah kolonial. Dialah Allah, satu-satunya Dzat yang menguasai segala sesuatu. Kepada pihak Italia, ia mengatakan, “Adapun kalian, maka kalian sekarang telah menawanku dan kalian berhak memperlakukan sesuka hati. Hendaklah kalian ketahui bahwa aku tidak akan pernah sedikit pun menyerah kepada kalian dengan suka rela.”

Tentangnya Kennet Holombo; wartawan dari Denmark mengatakan, “Aku pernah mewawancarai seorang tentara Italia, dan aku mendengar pendapatnya tentang sosok ‘Umar Mukhtar.” Tentara itu mengatakan, “Kita berperang laksana melawan pasukan jin yang dipimpin oleh seorang sosok yang bernama ‘Umar Mukhtar. Dia adalah seorang kakek tua yang sudah menginjak umur 70-an tahun. Namun itu semua tidak sedikitpun mengurangi kewibawaannya. Dia memimpin pasukan dari satu tempat ke tempat lain. Dan ketika kita memprediksi ia berada di suatu tempat tertentu, maka kitapun bersiap untuk menangkapnya. Dan ternyata tertangkaplah dia sehingga sontak kabar menyebar.”

Ketika dia digiring menuju tiang gantungan, dia membaca firman Allah, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya.” (Q.s. Al-Fajr [89]: 27-28)

Beliau wafat ditiang gantungan pada tahun 1931 M di Kota Benghazi. Usianya saat itu hampir mendekati 90 tahun.

‘Umar At-Tilmisani

            Sebelum masuk dalam jama’ah dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun, beliau adalah seorang pemuda yang gemar berburu. Beberapa tempat di manca negara; Afrika, Amerika, Kanada, Asia Tengah, Eropa Timur, dan lainnya pernah beliau jelajahi hanya karena kegemarannya tersebut. Selain itu beliau juga seorang pecinta binatang. Karena rasa cintanya, areal rumah pribadinya yang hampir satu hektar dipenuhi dengan binatang peliharannya.

Suatu ketika, saat beliau sedang bermain dengan binatang-binatang peliharaannya. Datanglah sekelompok pemuda dakwah mendatanginya dalam kerangka rekrutmen dakwah. Tak sekedar berbincang tentang dakwah, mereka pun ikut menyoal masalah binatang. Dan diakhir perbincangan inilah takdir Allah itu terjadi. Ya, ‘Umar At-Tilmisani bergabung dengan dunia dakwah yang dibawa oleh kafilah Al-Ikhwan Al-Muslimun. Setelah beliau mendengar perkataan mereka, “Seandainya kegemaran memelihara binatang ini dialihkan kepada memelihara manusia mungkin itu akan jauh lebih bermanfaat. Sebab manusia muslim yang memerlukan pendidikan jauh lebih banyak dan lebih penting dari binatang-binatang ini.”

Ketika menjabat sebagai Mursyid ‘Aam kehidupan beliau menjadi sangat sederhana. “Diantara nostalgia, bukan untuk membanggakan, bahwa banyak di kalangan orang-orang Mesir dan orang-orang yang mengunjungi rumahku. Padahal rumah itu sangat sederhana. Perabotnya sudah ada sejak tahun 1926 M hingga ada sebagian orang yang prihatin atas hal tersebut,” begitu kenang beliau.

Beliau pun melanjutkan kisahnya, “Sebagian teman tercinta diluar ingin membelikan saya sebuah rumah di tempat yang saya pilih sesuka saya dan dengan perabot yang saya senangi. Tetapi saya menolaknya. Karena saya merasa senang dengan keadaan saya ini.”

Sebagian orang bertanya kepada supir yang menyertai Syaikh ‘Umar At-Tilmisani pada saat kunjungan ke Emirat atas undangan kementerian kebudayaan. Supir itu berkata, “Saya pernah menyertai para tokoh dan menteri, tetapi saya belum pernah melihat orang seperti ini dalam akhlak, tawadhu’, rasa malu, menjaga diri, zuhud, dan rasa empatinya. Beliau naik disebelahku padahal para tokoh dan orang penting biasa duduk di belakang. Tetapi ia tawadhu’. Beliau menenalkan dirinya kepadaku dan bertanya kepadaku tentang keluargaku, anak-anakku dan keadaan kami dengan lemah lembut dan kasih sayang. Beliau membawaku bersamanya dan mendudukkanku di sampingnya dalam setiap hidangan makan.”

Beliau pernah berkata, “Saya sangat pemalu kepada wanita. Saya tidak bisa memandang wajah wanita.” Pada suatu hari saya berada di sebuah hotel di Kota Komo, Italia. Saya telah membuat janji di salon hotel untuk cukur. Setelah masuk, saya tidak melihat kecuali wanita. Lalu saya bertanya, “Siapa yang akan mencukur?” Mereka menunjuk seorang gadis.

Saya berkata: Apakah tidak ada lelaki?

Mereka menjawab: Tidak.

Saya berkata: Tidak ada lelaki, tidak jadi cukur.

 

Orang-orang hotel kemudian membicarakan peristiwa ini. Tetapi saya memuji Allah karena saya tidak bermaksiat kepadaNya di negeri orang-orang permissif.

 

Syaikh ‘Umar At-Tilmisani wafat di Mesir pada hari Rabu, 13 Ramadhan 1406 H/22 Mei 1986 M dalam usia 82 tahun. Lebih dari setengah juta umat Islam dari berbagai negara turut mengantarkan jenazahnya.

Seteguk Inspirasi

Setelah membaca tulisan diatas. Sejenak, mari kita rehat. Menghela nafas. Lalu merenungi kisah penuh hikmah mereka. Sungguh betapa Maha Kuasa Allah ‘Azza wa Jalla mencipta para pembela agamaNya. Ya, mereka adalah orang-orang pilihan dari yang terpilih. Para pejuang di jalan cinta untuk menegakkan risalahNya.

Pribadi-pribadi mereka sungguh menakjubkan. Dengan cahaya keshalihan nan memesona. Sabar menghadapi berbagai ujian. Tawadhu’ dalam bersikap. Zuhud dalam menjalani hidup. Adil dalam memimpin. Tegas dalam berprinsip. Bijak dalam mengambil keputusan. Tak gentar dalam medan perang. Dan tak mudah putus asa ketika dakwahnya mengalami banyak hambatan.

Untuk kita semua ummat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, para penerus risalah yang dibawanya. Semoga kisah-kisah menyejarah mereka mampu memberikan kita inspirasi. Yang dengannya, energi keshalihan kita semakin bertambah dan bisa di rasakan oleh banyak orang. Karena sungguh risalah ini adalah untuk semesta alam.

Bila ada yang tak terkenan dan mengganjal di hati mohon diluruskan. Karena itu murni kesalahan saya pribadi, tersebab masih faqirnya ‘ilmu yang saya miliki. Sepenuh cinta selamat menyaksamai tulisan saya yang sederhana ini. Semoga yang menulis dan membaca mendapat ridhaNya. Amin…

Oleh: R. Setiawan

Image: citrawidiastuti.wordpress

Tinggalkan Balasan